Terancamnya kesehatan warga di pinggiran kali yang menggunakan air tercemar, ditambah Pemerintah yang tidak tegas, dan perusahaan nakal ada di baliknya.
Terancamnya kesehatan warga di pinggiran kali yang menggunakan air tercemar, ditambah Pemerintah yang tidak tegas, dan perusahaan nakal ada di baliknya.
***
Bekasi, Kebijakan.co.id – Suram. Ialah kata pertama yang pantas menggambarkan kondisi Kali Lemahabang (biasa disebut juga Cilemahabang) di Kabupaten Bekasi. Bertahun-tahun –terhitung sejak 2016— hingga saat ini (16/09/2023) sejauh pengamatan Jurnalis Kebijakan.co.id.
Masyarakat dibiarkan hidup berdampingan dengan limbah yang bau nan hitam pekat di salah satu kali –yang juga menjadi sumber kehidupan akan kebutuhan air— di daerah industri terbesar se-Asean. Perusahaan dan khususnya Pemerintah terkesan lepas tangan membiarkan limbah tersebut ada.
Sore hari (4/9/2023) dengan menggunakan sepeda motor, Jurnalis Kebijakan.co.id menyusuri jalan untuk pertama kalinya menuju Kali Lemahabang, dengan pemandangan yang timpang antara Grand Cikarang City –sebuah perumahan elite beserta jajaran ruko mewah— dan penduduk di sepanjang Kali Lemahabang, tampak seperti cuplikan film Parasite (2019) dengan kondisi yang persis berdampingan di Desa Karangraharja.
Bertemu dengan pemancing –yang memancing di air yang tercemar—, pemuda yang sedang mencuci sepeda motornya memanfaatkan air kali yang tercemar, beberapa masyarakat yang membersihkan diri menggunakan air yang tercemar, terlebih anak-anak yang berlarian di sepanjang jalan pinggir Kali Lemahabang. Pertanyaan yang muncul di benak pertama kali, mulai dari kapan Kali ini tercemar?
Bendung Kali Lemahabang (Adi/Kebijakan.co.id)
Mulai Tercemar
Jurnalis Kebijakan.co.id meilipir untuk membeli makan di sebuah warung, yang tampak airnya untuk mencuci piring, air tanah tersebut bercampur dengan limbah, walau masih terlihat bening. “Ini parahnya sudah 2 tahun terakhir,” cerita Ibu pemilik warung tersebut kepada Kebijakan.co.id (4/9/2023), “dulu sih pernah bersih, kalau itempun tidak lama, mulai parah pas covid-covid itu.” Ibu itu merupakan salah satu warga Desa Karangraharja yang tinggal di bantaran Kali Lemahabang.
Terkait dengan Kali yang sempat bersih, diceritakan juga oleh warga Desa Waluya, Rosiadi, yang sebelumnya juga tinggal di Desa Karangraharja selama 10 tahun.
Ia bercerita sembari melihat motor lalu lalang di samping Bendungan Kali Lemahabang. “Waktu dulu begini (tercemar), sempet didemo,” akhirnya, “sempat bersih pas waktu almarhum (Bupati Kabupaten Bekasi, Eka Supria Atmaja) masih hidup tuh, bersih itu, sampe ada seminggu, sampe bersih bener, nah setelah meninggal (di tahun 2021) (lalu) ganti (kepemimpinan), begini lagi (tercemar sampe sekarang),” cerita Rosiadi kepada Kebijakan.co.id (9/9/2023).
Jika dilihat lagi secara spasial, dari Google Earth mencatat Februari 2019 tidak tercemar dan berwarna coklat dan 2021 mulai menghitam (hijau kehitaman).
Dari keterangan Rosiadi dan keterbatasan Google Earth belum secara jelas menceritakan dan menampilkan awal mula tercemar. Untuk mencari tahu mulai dari kapan, Kebijakan.co.id mewawancarai Pengelola Bendungan Kali Lemahabang di bawah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, “Ini sejak saya dipindahkan ke sini (Bendungan Kali Lemahabang), tahun 2018,” Kata Andre, petugas Operator Kali Lemahabang kepada Kebijakan.co.id (12/09/2023).
Sampai-sampai dia bingung, “Kok bisa seperti ini ya?” kata Andre sambil menceritakan kondisi penempatan operator bendungan sebelumnya yang lebih jernih di Bendungan Walahar, Karawang.
Kekagetan ini juga datang dari atasannya yaitu Sahrudin, Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi –termasuk di dalamnya Kali Lemahabang— di bawah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi. Ia menyampaikan kekagetan tersebut kepada Kebijakan.co.id (15/09/2023) saat pertama kali berkunjung ke Kali Lemahabang setahun yang lalu, “waduh kok Kali hitam begini dibuat mandi, apa tidak gatel?” Sebelumnya Sahrudin ditugaskan di induk pengelola Kalimalang, yang tidak tercemar parah seperti Kali Lemahabang.
Selain kekagetan, Andre juga mengkonfirmasi terkait dengan kondisi tercemarnya Kali Lemahabang, yang sempat bersih, “Waktu itu sempat bersih selama dua minggu sampai seminggu, abis itu balik lagi, yang pas hujan, jadi bau lagi,” dan kondisi parah akhir-akhir ini, “Hanya baru akhir-akhir tahun ini kondisinya terjadi pencemaran yang lama, sebelumnya hanya beberapa kali (waktu),” ucapnya kepada Kebijakan.co.id.
Terkait limbah turun bersamaan dengan hujan, hal tersebut juga dikonfirmasi oleh warga sekitar, Siti dilansir dari Antara (14/6/2023), “Jadi baunya itu pas musim hujan. Jadi kalau hujan, sepertinya limbahnya dibuang.”
Selain Siti, dikonfirmasi juga oleh warga lainnya, Adih, dilansir dari Tribun Bekasi (4/10/2021), “Beberapa hari lalu kan hujan pas malam, nah mulai dari situ besok paginya sudah berbusa.”
Pola yang terjadi selain hujan, ialah ketika malam hari. Salah seorang warga Desa Karangasih, Dien mengatakan yang dilansir dari Tribun Bekasi (4/10/2021), “Itu malam (hari) saya liat sendiri, awalnya ya bersih warna hijau, terus airnya surut, lama-lama air warna hitam datang kecampur.”
Pola tersebut dikonfirmasi oleh Peneliti Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Ikbal (Dr. Ir. M.Eng), yang juga ahli dalam teknologi pengolahan air limbah anaerobik, ia menjelaskan kepada Kebijakan.co.id ketika ditemui di Puspiptek, Serpong (11/09/2023). Ia menjelaskan bahwasannya sungai mulai tercemar ketika hujan turun dan pada saat malam hari, “malam dia (industri nakal) buang (limbah), atau lagi hujan (limbah) di gelontorkan,” ceritanya terkait industri yang nakal saat membuang limbah.
Dari hal tersebut belum menjawab kapan pertama kali Kali Lemahabang mulai tercemar?
Pantauan Kebijakan.co.id terhadap pemberitaan yang ada, tercatat berita pertama tercemarnya Kali Lemahabang ialah pada bulan Januari, tahun 2017. Menurut Suwanda Halim, dikutip dari Antara (5/1/2017), selaku Supervisor Sungai dan Irigasi PJT II Lemahabang, mengatakan, “Bau menyengat dan warna hitam pada air itu, diketahui terjadi dalam beberapa bulan terakhir.” Berarti Kali Lemahabang tercatat tercemar sejak dari tahun 2016.
Untuk benar-benar memastikan sejak kapan tercemarnya, dugaan besar tersebut terdapat dalam data Dinas Lingkungan Kabupaten Bekasi. Kebijakan.co.id dalam hal ini sudah mengirim surat permohonan wawancara tertanggal 5 September 2023 untuk memverifikasi hal tersebut.
Apakah air di sungai berwarna yang tidak wajar (selain berwarna bening)?
Apakah air di sungai berbau (berbau tidak sedap)?
Apakah pernah melihat ikan-ikan atau binatang air lainnya mati dalam jumlah besar di sungai tersebut?
Apakah terjadi penurunan produksi hasil alam (seperti padi) atau penurunan hasil panen perikanan di wilayah sekitar sungai?
Apakah ada peningkatan keluhan kesehatan oleh masyarakat di sekitar sungai?
Sejak 2016, tercatat pencemaran limbah berwarna hitam pekat dan berbau tidak sedap, sama seperti saat Jurnalis Kebijakan.co.id berkunjung pertama kali ke Kali Lemahabang (4/9/2023).
“Ini kalau pegang tangan (dicelupin ke dalam Kali Lemahabang) itu baunya nggak ilang-ilang, sama kaya tangan dicelupin ke lumpur, harus dibilas dulu pake air bersih, kalau orang sini udah biasa,” cerita Rosiadi (9/9/2023) terkait kondisi airnya, sedangkan kondisi baunya, “Kalo orang-orang baru (pendatang), kecium bau banget, kalau kita (masyarakat) mah udah biasa di sini.”
Kondisi Anak Kali Lemahabang (Adi/Kebijakan.co.id)
Terkait kondisi air yang seperti ini, menurut Peneliti BRIN, Ikbal, menjelaskan kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023), “Untuk mengenal sungai tersebut tercemar sangat sangat mudah sekali dikenali dari warna airnya, yaitu hitam, butek (keruh), berbusa, dan berbau, sudah bisa dipastikan sungai tersebut tercemar, tanpa perlu kita melihat polutan dan tanpa perlu pengujian.”
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Peneliti ECOTON (Ecological Observation and Wetland Conservation), yang juga pelaku Ekspedisi Sungai Nusantara, Amiruddin Mutaqqin (S.T., M.Si.) yang menjelaskan kepada Kebijakan.co.id (7/9/2023), bahwa secara kasat mata, “air yang di duga mengalami pencemaran akan terlihat perubahan warna menjadi (hitam, merah, putih atau coklat).”
Sedangkan untuk bau yang tidak sedap, “menjadi indikator sungai sedang mengalami pencemaran, karena mikroorganisme pengurai di air tidak mampu menetralisir beban pencemaran yang masuk ke dalam sungai,” ungkap Amiruddin.
Secara kasat mata, terbukti bahwa Kali Lemahabang tercemar. Akan tetapi perlu adanya uji laboratorium untuk membuktikan bahwa Kali Lemahabang tercemar limbah. Di tahun 2019, Perum Jasa Tirta (PJT) II Lemahabang, Suwandi Halim, mengirimkan contoh air Kali Lemahabang kepada Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Bekasi untuk diuji di laboratorium, “Hasil uji lab positif tercemar,” ucap Suwandi dilansir dari Saluran8.com (2/1/2019).
Di tahun 2017 dilansirAntara (5/1/2017), Suwandi Halim juga pernah melakukan uji lab terhadap contoh air Kali Lemahabang di Laboratorium Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Bekasi, dari contoh air yang diuji terbukti mengandung logam, pewarna, dan juga bahan kimia.
Penyebab Tercemar
Setelah mengetahui bahwa sungai tersebut tercemar, lalu apa yang menyebabkan Kali Lemahabang tercemar limbah?
Dari beberapa keterangan narasumber, keseluruhannya hanya bersifat dugaan. Dugaan Andre, Operator Bendungan Kalilemahabang (12/09/2023), yang sudah bekerja di sana selama 5 tahun berjalan, ialah limbah tekstil. Hal tersebut juga diduga oleh Peneliti ECOTON, Amiruddin Mutaqqin (7/9/2023), yang melihat potongan video yang Kebijakan.co.id kirimkan, yaitu limbah tekstil (pakaian), ditambah limbah pabrik kertas.
Selain limbah tekstil, menurut dugaan warga sekitar, menurut Itas dilansir dari Antara(14/6/2023), menduga ini berasal dari limbah oli, “bau menyengat, sering juga bau oli.”
Menurut dugaan Peneliti BRIN, Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih, Ikbal (11/09/2023), yang melihat potongan video yang Kebijakan.co.id tunjukan, dengan melihat secara kasat mata, bahwa itu merupakan limbah organik padat (bahan yang dapat terurai) yang mengendap di dasar sungai, seperti sisa makanan industri, sisa pakaian industri –bukan logam, besi, atau sejenisnya— yang melebihi baku matu mikroorganisme di kali tersebut karena terjadi terus menerus.
Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi / Puspiptek, Serpong (Adi/Kebijakan.co.id)
Limbah organik yang mengendap di dasar sungai tersebut, lalu mengalami proses anaerob (penguraian karena tidak mendapatkan oksigen dari matahari yang tertutup hitam pekat warna sungai), dari proses tersebut, “sehingga menghasilkan gas-gas yang mengeluarkan bau, berupa senyawa asam organik berbentuk gelembung-gelembung,” ucap lulusan doktoral di negeri matahari terbit tersebut.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Peneliti ECOTON, Amiruddin Mutaqqin (7/9/2023), bahwa, “jumlah beban pencemaran jauh lebih besar dari pada mikroorganisme pengurai di dalam sungai.”
Apapun itu, yang pasti ini dihasilkan dari industri. Dugaan tersebut tentu sangat beralasan jika merujuk kepada data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, jumlah pertumbuhan industri besar hingga sedang di Kabupaten Bekasi meningkat dari tahun ke tahun antara 2003 hingga 2014. Di tahun 2003 tercatat terdapat industri besar hingga sedang berjumlah 740 naik signifikan di tahun 2014 sebanyak 1143 industri besar menengah hingga sedang.
Hal tersebut tentu mendukung klaim bahwa Cikarang merupakan kawasan industri terbesar se-Asean. Data lainnya yang mendukung tersebut, data kawasan industri yang dipublikasi oleh Kementerian Perindustrian, yang mencatat total kawasan industri di Kabupaten Bekasi sebesar 7000 Hektare.
Data tersebut diperkuat oleh keterangan Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi, Sahrudin, ia menyampaikan kepada Kebijakan.co.id (15/09/2023), bahwa “pas saya survei ke sana (hulu Kali Lemahabang), dari hulunya (daerah industri Jababeka dan sekitarnya) saja sudah hitam, ditambah sekarang musim kemarau panjang.”
Akan tetapi Sahrudin juga mengatakan, hal tersebut disebabkan karena jumlah debit air berkurang, “dari hulu biasanya 2 kubik (2000 liter per detik) dari hulu, sekarang cuma 400 liter (per detik), tidak seimbang dengan pembuangan masyarakat (dan industri), makanya sudah hitam dari hulu,” jelas pria yang baru 1 tahun dipindahkan sebagai Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi kepada Kebijakan.co.id.
Hal tersebut diperparah beban Kali Lemahabang, yang menurut Andre, petugas Operator Bendungan Kali Lemahabang kepada Kebijakan.co.id, “hampir seluruh industri di (Kabupaten) Bekasi, masuknya (limbah) ke Kali Lemahabang (Cikarang).”
Ditambah keterangan oleh Penjabat (PJ) Bupati Bekasi, Dani Ramdan, “Yang berizin (hanya) ada 13 perusahaan (saja di seluruh Kabupaten Bekasi), lainnya tidak. Maka dari itu, hasil yang berizin ini harus ada uji laboratoriumnya, karena dia harus ada IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah)-nya,” kata Dani saat dikonfirmasi, yang dilansir Tribun Bekasi (2/10/2021).
Hal tersebut dikatakan berdasar kepada rapat koordinasi yang dilakukan jajaran Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu), yang terdiri dari unsur Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, dan Polresta Bekasi. Dari rapat koordinasi tersebut, tercatat hanya 13 perusahaan saja yang mengantongi izin membuang limbah ke sungai.
Mengatasi Kali Tercemar ala Pemerintah
Dari penjelasan sebelumnya tercatat dari sejak tahun 2017, 6 tahun berjalan hingga saat ini, limbah di Kali Lemahabang belum kunjung ditangani secara serius oleh Pemerintah, terlebih kesadaran para Perusahaan. Yang dibuktikan dengan masih hitamnya Kali Lemahabang hingga saat ini (16/09/2023).
Menurut Meiki Wemly Paendong, Direktur Eksekutif WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jawa Barat, mengatakan kepada Kebijakan.co.id (6/09/2023) bahwa, “Pencemaran ini, patut diduga atau besar kemungkinan tidak ada sistem pengendalian, pengawasan (limbah tercemar) yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi.”
Wawancara Kebijakan.co.id dengan WALHI Jawa Barat (Adi/Kebijakan.co.id)
Terkait dengan tidak adanya sistem pengawasan Pemerintah Kabupaten Bekasi, hal tersebut dibantah oleh Pengawas Operator Bendungan Kali Lemahabang, Sahrudin saat Kebijakan.co.id (15/09/2023) konfirmasi, “Banyak sekali upaya-upaya kami (Operator Bendungan) dengan (Dinas) LH (Lingkungan Hidup), terkait air item begini mengadakan rapat yang dimpimpin oleh Dinas LH Kabupaten (Bekasi), mengumpulkan industri-industri yang ada di hulu (Kali Lemahabang).”
Namun setelah ditanya lebih lanjut oleh Kebijakan.co.id terkait industri apa saja yang terlibat di dalamnya, Sahrudin tidak mengetahui lebih detail.
Selain itu menurut Sahrudin, pengelola bendungan Kali Lemahabang bersama Dinas Lingkungan Hidup berupaya untuk mengatasi limbah padat dari masyarakat, berupa sampah, yaitu dengan melakukan pasang jaring di setiap RT di setiap Desa, “untuk mengantisipasi sampah tersebut mengalir ke belakang (hilir Kali Lemahabang).”
Segala upaya telah dilakukan, seperti sosialisasi kepada warga-warga dan memberikan karung untuk tempat sampah, “yang setiap hari Jumat, diangkut secara khusus oleh Dinas Lingkungan Hidup.” Hal tersebut tentu solusi individual –atau bergantung kepada individu atau masyrakat perorangan.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Sekretaris Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi saat ditemui oleh Kebijakan.co.id, yang bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup, BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), Kecamatan, Desa, dan pihak-pihak lainnya, untuk mengangkat sampah Kali Lemahabang, “Waktu malam kita ngangkat sampah, sekitar 2 bulan yang lalu, sampah kan numpuk tuh kita angkut.”
Namun, solusi individual di masyarakat atau pengangkatan sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup bukan solusi jangka panjang dan terstruktur –mulai dari perusahaan, hingga kepada masyarakat.
Usaha-usaha penegakan hukumpun sudah dilakukan, mulai dari memberikan sanksi, “Kami akan berikan sanksi tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena ini merupakan pelanggaran pidana lingkungan,” kata Penjabat Bupati Bekasi, Dani Ramdan dilansir dari Independensi.com, (7/9/2021).
Lalu membentuk Tim Penegakan Hukum Terpadu atau Gakkumdu, menurut Kepala Seksi Penegakan Hukum Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, David, “Sedang disusun keanggotaannya, ada penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, hingga kejaksaan. Kami segera turun, sidak ke lapangan,” ungkap David dilansir dari WestJavaToday.com, (8/9/2021).
Lalu ingin mengumumkan nama-nama perusahaan nakal yang membuang limbah ke Kali Cilemahabang. “Bila terbukti dan dalam beberapakali teguran tidak menggubris maka akan kita umumkan,” ucap Penjabat Bupati Bekasi, Dani Ramdan dilansir dari Pikiran Rakyat, (10/9/2021).
Hingga meninjau langsung atau sidak ke lapangan, “Kami telah menurunkan tim dari bidang penegakan hukum, namun sangat disayangkan saat sampai ke lokasi itu debit air sedang tinggi, arus deras. Dugaan limbah oli yang mencemari drainase tidak bisa ditemukan,” ucap Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Syafri Doni Sirait dilansir dari Antara, (14/6/2023).
Akan tetapi tampaknya hasilnya tidak ada perubahan. Baik dari sanksi yang tegas, hasil pembentukan Gakkumdu, mengumumkan nama-nama perusahaan pencemar limbah, hingga meninjau langsung ke lapangan.
Solusi Lain: Laporan Berkala, IPAL, dan Class Action
Selain solusi ala Pemerintah yang cenderung individual dan ingin menegakan peraturan tersebut tidak berhasil.
Dari ketidakberhasilan tersebut, ada beberapa saran di antaranya, menurut Meiki, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat kepada Kebijakan.co.id (6/9/2023), dalam hal ini memberikan sebuah solusi yang memang sudah diatur, menurutnya, “Dicek ulang daftar nama industri yang limbah buang cair ke Kali Lemahabang.”
Setelah dicek ulang, cek laporannya, “ada laporan juga, industri ini seharusnya juga harus melaporkan upaya pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan.”
Dari laporan tersebut apakah dikelola limbah cairnya, “termasuk upaya mereka (industri) dalam mengelola limbah cairnya,” selain itu, “apakah perusahaan ini rutin memberikan laporan? … itu harus memberikan per 6 bulan (semester), ada yang per 3 bulan yang diberikan kepada Dinas Lingkungan Hidup.” Laporan tersebut menunjukan apakah limbah sudah dikelola atau belum, “dengan melakukan pengecekan atau pembuktian langsung di lapangan.”
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Peneliti BRIN, Ikbal mengatakan kepada Kebijakan.co.id, “Dalam aturan perusahaan itu selain itu pengelolaan (limbah) ada juga pelaporan berkala, yang 3 bulan sekali, seminggu sekali, dan melakukan analisa air limbah itu sebulan sekali lalu dilaporkan 3 bulan sekali ke DLH,” lalu dari situ DLH bisa melakukan pengecekan, “ada ga yang melanggar (laporan tersebut)? sekali dua kali bisa sanksi teguran atau administrasi. Bahkan bisa juga menutup karena (DLH) memiliki kewenangan,” ujar Ikbal yang juga Komisi Penilai Amdal DKI Jakarta untuk limbah cair.
Berdasarkan peraturan terbaru, Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Izin Lingkungan, pelaporan setiap 6 bulan sekali terdapat pada Pasal 100 ayat (5). Dalam hal ini Kebijakan.co.id merangkum beberapa aturan hukum dari Undang-Undang hingga kepada Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi terkait pelaporan dan pengelolaan limbah cair.
Diolah: Adi Fauzan
Terkait dengan laporan, menurut Meiki, Direktur Eksekutif WALHI kepada Kebijakan.co.id (6/9/2023), dokumen laporan itu seharusnya secara serta merta dibuka untuk masyarakat agar bisa dilihat di halaman resmi DLH, “kan dampaknya ke publik (masyarakat).” Sebab, “tanpa diminta harusnya sudah disajikan di website.” Tidak hanya pemerintah, dalam hal ini perusahaan juga, “itu perusahaan-perusahaanpun juga harus menunjukannya pada publik.”
Kebijakan.co.id berusaha mencari dokumen laporan terkait pengelolaan limbah, yang ditemukan dalam Open Data Kabupaten Bekasi hanya ditemukan statistik jumlah pelaporan pengawasan yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi berjumlah 69 laporan. Selain Open Data Kabupaten Bekasi yang terintegrasi, Dinas Lingkungan Hidup tidak memiliki halaman resmi untuk informasi publik lainnya.
Selain mencari dokumen Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Kebijakan.co.id berusaha mencari dokumen laporan terkait pengelolaan limbah yang terdapat dalam Kawasan Industri Jababeka, yang dikelola oleh PT Kawasan Industri Jababeka Tbk dan Kawasan Industri LIPPO Cikarang yang dikelola oleh PT Lippo Cikarang Tbk. Dua kawasan industri tersebut, merupakan yang terbesar di Kabupaten Bekasi mencapai total luas 3.239,97 Hektare.
Kedua kawasan tersebut, secara berkala memberikan informasi publik secara menahun. Akan tetapi, tidak semua laporan menunjukan limbah yang dikeluarkan, tercatat baru pada tahun 2019 yang menunjukan laporan terkait pembuangan limbah secara statistik.
Laporan berkala tersebut, juga perlu didukung oleh teknologi monitoring. Menurut Peneliti BRIN, Ikbal kepada Kebijakan.co.id, perlu memang ada teknologi yang melaporkan kondisi sungai secara berkala melalui digital online, seperti laporan berkala pada kondisi polutan di udara.
“Misalnya, ada industri yang kita curigai, yang nakal, di tempat pembuang (limbah) itu kita kasih sensor, dipantau itu, termonitor.” Lalu bisa dilihat melalui waktu tertentu, “oh tanggal (jam tertentu) segini kok melonjak, anda (perusahaan) tanggal segini kok (buang limbah) dari data saya, jadi gak bisa ngelak (berkelit).”
Jadi menurut Ikbal, bisa sesuai antara pengaduan masyarakat terkait limbah yang dibuang ketika hujan atau malam hari atau kondisi tertentu, dengan data sensor pemerintah yang melaporkan secara berkala kondisi limbah di sungai.
***
Itu adalah langkah pertama yang bisa dilakukan. Langkah keduanya ialah memperbaiki IPAL perusahaan industri yang membuang limbah ke dalam Kali Lemahabang.
Menurut Peneliti ECOTON, Amiruddin Mutaqqin kepada Kebijakan.co.id, terkait teknologi IPAL mengatakan bahwa, “Teknologinya harus bagus dan didesign yang benar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik limbah yang di hasilkan oleh industri.”
Jika itu tidak bisa dilakukan, yaitu dengan membuat alternatif, “Membuat IPAL komunal,” akan tetapi ada dampaknya, “akan membuat tiap perusahaan industri menjadi tidak bertanggung jawab terhadap limbahnya masing-masing,” serta lepas tanggung jawab dalam pengelolaan, “biayanya IPAL komunal menjadi tanggung jawab siapa?”
Terkait dengan teknologi yang sesuai dengan karakteristik limbah, menurut Ikbal, Peneliti BRIN kepada Kebijakan.co.id, “Sistem IPAL-nya harus disesuaikan dengan karakteristik limbah cair yang dikeluarkan dari industri.”
Misalnya, “limbah organik itu harus disusun IPAL-nya dengan proses biologi yang alamiah akan mengurai limbah tersebut.” Diperlukan perlakuan khusus, “itu harus dirawat seperti makhluk hidup pada umumnya, (perlu) harus ada divisi khusus.”
Selain itu, “ada limbah anorganik, itu harus diolah dengan proses kimia-fisika dengan proses pengendapan, penyaringan, dan penguapan.” Pada intinya terkait limbah anorganik, “air limbah tersebut harus dipisahkan dari material anorganik seperti besi, logam, dan sebagainya agar tidak tercampur ketika dibuang ke sungai.”
Diolah: Adi Fauzanto
Selain teknologi yang sesuai dengan karakteristik limbah, perlu dilihat juga kapasitas pengolah limbah tersebut, “Kapasitas IPAL, air limbahnya berapa yang dikeluarkan harus disesuaikan dengan kapasitas perancangan, harus juga dipersiapkan (jika terjadi) pertumbuhan industri tersebut, jangan sampai limbahnya bertambah akan tetapi kapasitas IPAL-nya tidak ditambah.”
Terkait dengan kedua hal tersebut, “Banyak teknologi dari konsultan yang ditawarkan akan tetapi tidak cocok dengan limbah industri, itu harus hati-hati dengan pemilihan IPAL, banyak yang gagal dibangun dengan biaya tinggi.”
Terkait dengan biaya tinggi, Direktur Eksekutif WALHI, Meiki kepada Kebijakan.co.id, dalam hal ini memiliki informasi terkait pengalaman di salah satu perusahaan yang tidak boleh lagi membuang limbahnya ke sungai di salah satu anak Sungai Citarum, yaitu Sungai Cikijing. “Secara teknis jadi limbahnya diangkut, mereka (perusahaan) menyewa pihak ketiga untuk mengangkut.”
Akan tetapi karena biayanya lebih mahal, “mereka membandingkan lebih murah mengaktifkan IPAL mereka daripada menggunakan pihak ketiga untuk membuang limbah.” Akhirnya perusahaan tersebut, “mengajukan izin kembali, mengurus kembali, harus mengikuti peraturan teknis yang diberikan oleh Kabupaten Sumedang.”
Pada intinya, semua pihak termasuk perusahaan harus memiliki komitmen, seperti apa yang disampaikan oleh Ikbal, Peneliti BRIN kepada Kebijakan.co.id, “Harus ada komitmen, semua air (limbah) yang masuk ke sungai itu harus diolah sampe memenuhi baku mutu (ambang batas pencemaran).”
Perusahaan dalam hal ini, menurut Ikbal, “perusahaan harus memiliki kesadaran bahwa usahanya tidak boleh menggangu orang, jangan sampe gara-gara saya mereka sakit.” cerita dia membandingkan dengan kondisi tempat studi doktoralnya di Jepang. “Jadi mereka (perusahaan di Jepang) tanpa dikontrol Pemerintah, mereka sudah malu kalau ketahuan (membuang limbah), malu berbuat salah.”
***
Langkah ketiga yang bisa dilakukan ialah dengan menggugat Pemerintah yang abai karena tidak mengeluarkan tindakan atau kebijakan apapun terkait pencemaran limbah, dan menggugat Perusahaan industri yang mengeluarkan limbah melebihi baku mutu yang menyebabkan tercemarnya sungai.
Itu juga bisa dikatakan sebagai class action atau gugatan dari masyarakat.
Dalam hal ini WALHI memiliki pengalaman untuk menggugat 3 perusahaan yang tidak mengolah limbah cairnya, menurut Meiki kepada Kebijakan.co.id (6/9/2023), “Di tahun 2015, WALHI berkoalisi dengan kawan-kawan organisasi lingkungan yang lain dengan organisasi advokasi hukum bersama dengan kelompok masyarakat yang terdampak itu menggugat ijin pembuangan limbah cair 3 perusahaan.”
Menurut Meiki, “Dari investigasi kami, mereka (3 perusahaan) membuang limbah cair tanpa diolah ke Sungai Cikijing (anak sungai Citarum).” Selain investigasi untuk melihat limbah cair yang dibuang tanpa diolah, WALHI juga menghitung valuasi (total) kerugian yang di alami masyarakat.
“Kalau kami (WALHI Jawa Barat) sendiri pernah menghitung valuasi ekonomi dari pencemaran limbah industri (di Sungai Cikijing).”
Mulai dari menghitung kerugian di sektor pertanian, sektor perkebunan, sektor pertenakan, sektor perikanan, sektor kebutuhan air, sektor kesehatan masyarakat, dengan total kerugian Rp. 3.339.695.473.968 atau sekitar 3 triliun (kurs pada tahun 2015). Dengan valuasi biaya pemulihan lahan atau remediasi mencapai Rp. 8.045.421.090.700 atau 8 triliun (kurs pada tahun 2015).
Terkait kerugian kesehatan masyarakat, menurut Diah Satyani Saminarsih, Direktur Eksekutif CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) –sebuah lembaga riset yang berfokus pada pembangunan sektor kesehatan dan sistem kesehatan— kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023).
Ia mengatakan, “Pihak swasta juga mesti bertanggung jawab atas kegiatan industri masing-masing,” termasuk dalam hal kesehatan masyarakat.
Selain data WALHI, lainnya dari Tim Peneliti Universitas Padjajaran (Unpad). Dikutip dari Mongabay, Tim Peneliti Unpad tersebut, juga membuat laporan valuasi ekonomi dampak pencemaran di kawasan industri yang mencapai Rp. 11.385 triliun.
Dari riset penghitungan kerugian masyarakat tersebut, tentu perlu diawali dengan kesadaran akan pentingnya lingkungan terlebih dahulu di masyarakat. Dengan begitu kondisi suram di awal bisa diatasi.
Kondisi Kali Lemahabang Berbusa (Adi/Kebijakan.co.id)
“Pengolahan Limbah Harus Dipandang Sebagai ‘Produk’ Yang Dihasilkan oleh Perusahaan, Begitu Juga Sama Ketatnya dengan Pengawasan ‘Produk’ oleh Pemerintah, dan Agar Masyarakat Tidak Dirugikan.”
Semangat itu tumbuh dari rasa kepemilikan bersama, potret itulah yang menggerakkan masyarakat membangun PLTMH (pembangkit listrik bertenaga air berskala kecil) serta menjaga sumbernya, tirta (dibaca: air) dan hutan, dari sampah dan pembalakan. Betul memang, ide pengurangan emisi karbon datang jauh dari benua biru, akan tetapi, kalau masyarakatnya tidak mau –terlebih pemerintahnya–, akan menjadi hal yang sulit.
Dia harus tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya, lewat sumber-sumber pernghasilan, seperti perkebunan, wisata, pendidikan, hingga lapak-lapak yang bisa menjaga agar dapur rupah terus mengepul asapnya. Persis seperti pepatah ‘menyelam sambil meminum air’, sudah dapat energi bersih, masyarakatnya tergerak, ekonomi berjalan, alampun menjadi sehat.
***
Malang, Kebijakan.co.id – Jalan-jalan sore ditemani udara sejuk di perbatasan Malang Kota dan Kabupaten (12/12/22) sembari melihat sungai Brantas yang besar dan deras di akhir tahun, berdiri megah Stadium atau Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang selesai didirikan 2005 ini. Kemegahan kampus ini tak hanya tampak pada fisiknya saja. Pun, begitu juga dengan prestasinya.
Tahun 2008 misalnya, UMM mendapatkan penghargaan Asean Energy Awards, sebabnya UMM memiliki swadaya energi sendiri melalui 2 PLTMH (Pembangkit Listrik Mikro Hidro), Sengkaling 1 yang dibangun tahun 2007 bersama Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dan Sengkaling 2 yang dibangun tahun 2015.
Ditemani udara sore yang sejuk, sekitar jam 5, saya (Jurnalis Kebijakan.co.id) berjalan mendatangi kantor PLTMH Sengkaling 1 milik UMM ini yang tidak jauh dari Dome UMM, setidaknya mengecek apakah batang hidungnya terlihat atau tidak. Karena sore, tempat itu kosong melompong, dalam hati saya, “Sepertinya stafnya sudah pada pulang, besok pagi saya balik lagi.”
Paginya (13/12/2022), saya bertemu Adit, saya janjian untuk melakukan wawancara dengan pimpinan PLTMH UMM ke eseokan harinya.
Sembari kami berkenalan, saya bercerita tentang sore hari kemarin, “Iya, biasanya kita kerja dari pagi sampai sore jam 3, terkadang sampai malam kalau lagi trouble, kalau lagi hujan atau banyak sampah,” kata Adit (teknisi dan operator PLTMH UMM), pria berkulit sawo matang berseragam ala teknisi berwarna biru pada umumnya pada saat saya kunjungi di kantor (sekaligus workshop dan sarana pendidikan).
Kantor yang berlantai 2 tersebut, di lantai atas merupakan ruangan tamu di bagian depan sisi kiri gedung, dan tempat untuk staf di bagian kanan belakang gedung yang setengahnya dihilangkan untuk melihat kondisi di lantai dasar yang merupakan tempat generator mesin PLTMH Sengkaling 1 bekerja sekaligus tempat edukasi.
***
Diberkahi kondisi alam yang mendukung, melewati sungai Brantas dan kondisi topografi gunungan (tinggi ke rendah), membuat Kementerian ESDM melirik untuk menguji coba membangun PLTMH.
Pada awalnya proyek ini diinisiasi oleh Dosen UMM yang membuat studi kelayakan pada tahun 2000-2001 di daerah sengkaling tersebut, “Iya, ini awalnya hasil studi dosen, jadi UMM itu hanya tim pengkajinya (studi kelayakan), kita sediakan tempat dan lahan, dibangun dan diputuskan oleh ESDM,“ cerita Kepala Divisi PLTMH UMM saat ini, Machmud Effendy (14/12/2022), di mana kondisi topografi miringan dan mengalir air dari Sungai Brantas cukup besar, ditambah di atasnya terdapat bendungan.
Tahun 2008 selesai dibangun, PLTMH ini masih dikendalikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM, namun selang beberapa tahun dikelola oleh UMM, tetapi masih dimiliki oleh ESDM. Hingga pada tahun 2020 diserahkan secara hibah kepada UMM secara kepemilikan oleh ESDM. “Iya, setelah 2020 sudah diserahkan kepada UMM, full milik UMM yang mengelola,” cerita Mahcmud kepada Saya.
Secara teknis, “awalnya PLTMH ini terhubung (interkoneksi) dengan PLN, namun karena arusnya (air sungai dikarenakan banjir atau kemarau) tidak stabil menyebabkan generator tidak siap, akhirnya ketika terhubung dengan PLN yang memiliki besaran yang stabil. Akhirnya generator kita yang rusak karena lebih besar dari PLN, dari hal itu tidak kerjasama (interkoneksi) dengan PLN lagi,” cerita Adit kepada Saya.
Setelah mengakhiri kerjasama dengan PLN, PLTMH UMM mengaliri swadaya untuk kegiatan perkuliahan UMM sendiri. Untuk diketahui PLTMH UMM saat ini mengaliri listrik kepada sebagain gedung UMM, tepatnya setengah GKB 4, lainnya mengaliri rusunawa (rusun mahasiswa), dan sebagian gedung perkantoran UMM.
Dan sampai saat ini, “UMM menjadi satu-satunya, bukan salah satunya, kampus yang memiliki PLTMH,” klaim Machmud kepada saya.
UMM menjadi satu-satunya, bukan salah satunya, kampus yang memiliki PLTMH.
Saya mencari tahu apa itu PLTMH? PLTMH sendiri menurut panduan singkat dari Kementerian ESDM, ialah, mengubah energi air yang terdapat pada air terjun menjadi daya yang berguna. Untuk mengalihkan aliran air, tinggi muka air sungai harus dinaikkan dengan penghalang (bendung). Aliran air diarahkan kepada bangunan penyadap dan saluran pembawa yang berada di sepanjang pinggang bukit.
Saluran pelimpah melindungi dari kerusakan akibat aliran air yang berlebihan. Lalu, diperlambat dan ditampung di bak penenang—air memasuki pipa pesat dan pertekanan yang mengalirkan air ke rumah pembangkit yang terdapat turbin.
Turbin sebagai pengubah tenaga di peralatan penggilingan atau pembangkit listrik berada. Kemudian, air dibuang kembali ke pipa atau saluran pembuangan jika menggunakan turbin aliran silang (pelton).
UMM dan Cita 1000 PLTMH di Indonesia
Saya diajak berkeliling melihat PLTMH Sengkaling 1, sambil melihat beberapa siswa SMK dan SMA yang hadir secara rombongan untuk belajar. “Iya selain untuk mengaliri listrik, di sini juga sarana edukasi,” cerita Adit, yang tampaknya kebingungan karena di hari itu banyak tamu yang datang.
Setidaknya saya melihat kurang lebih 5 sekolah SMK atau SMA sudah menunggu di luar untuk melihat dan belajar langsung terkait PLTMH.
Machmud bercerita PLTMH UMM dikunjungi sekolah-sekolah dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi, “bahkan tingkat S3 untuk penelitian,” satu minggu, “bisa 2 sampai 3 kali dikunjungi,” tambah Mahcmud.
Layaknya Ahmad Dahlan muda yang sedang mengajar dengan bangku dan meja ketika awal abad 1900-an dengan ‘mendobrak’ sistem kolot dan mulai menyelaraskan dengan modernisasi. Sama halnya ketika saya melihat Adit sedang menjelaskan PLTMH melalui TOA-nya kepada siswa yang duduk. Mengajarkan energi masa depan, energi yang bersih, dan yang tidak akan habis kecuali kita merusak sumbernya.
Ketika Adit menjelaskan kepada anak-anak SMA dan SMK, Machmud, Kepala Divisi PLTMH, yang nampaknya rela menemui saya di saat jam-jam kuliah Fakultas Teknik UMM.
Ketika Machmud mulai menceritakan sejarah pembangunan PLTMH. Di tengah pembicaraan, terdapat satu hal yang menarik, ialah UMM memiliki cita-cita membangun 1000 PLTMH, “Kita sudah punya titik-titik daerah mana saja di Indonesia yang cocok dibangun PLTMH,” UMM melakukan studi kelayakan atas daerah-daerah tersebut, atas ketinggian dan jumlah air.
Hanya saja menurutnya, “cumakan, tergantung kepada pemerintah dan swasta yang ikut andil dalam (pembangunan) PLTMH ini, kalau kita sih sudah siap sebenarnya.” Rencana ini termasuk di Kota Batu, yang merupakan kawasan dataran tinggi dibandingkan Kota Malang.
Terkait pemetaan titik-titik potensi, saya diceritakan oleh Direktur IBEKA (Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Masyarakat), Sapto Nugroho (25/12/2022), bahwa pada tahun 2004 terdapat program yang diprakarsai Kedutaan Besar Jepang yang dilaksanakan oleh Kementerian Koperasi untuk mencatat data potensi sumber energi baru, termasuk air terjun di daerah kabupaten dan desa-desa. Lalu, Kementerian Koperasi meninjau langsung lokasi tersebut.
Senada dengan itu, Direktur WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan (26/12/2022) dalam pesan tertulisnya, dalam hal ini mendukung pemetaan sumber potensi energi terbarukan yang ramah terhadap ruang hidup seperti PLTMH dan berpotensi mendorong kemandirian desa.
Bukan omong kosong, UMM berhasil memfasilitasi dan membangun 2 PLTMH yang diinisiasi masyarakat, tepatnya PLTMH Sumber Maron yang selesai dibangun tahun 2012 dan PLTMH Broon Pring yang dibangun tahun 2019.
“Keduanya datang ke kami, terkendala teknisi dan dana, kami bantu,” UMM menyediakan tim ahli untuk mengkaji dan membuat studi kelayakan, sekaligus mencari dana, “Kita carikan CSR (Corporate Social Responsibility) dari BNI (untuk PLTMH Broon Pring) dan lembaga donor internasional (untuk PLTMH Sumber Maron).”
Di akhir, mahasiswa S3 yang juga dosen ini menjelaskan, “PLMTH UMM sebagai edukasi energi terbarukan untuk masa yang akan datang, apalagi pemerintah (dan negara-negara lainnya) punya target 2060 net zero emissions,” ungkapnya.
Senada dengan itu, Suwigyono, yang merupakan inisiator PLTMH Sengkaling 1, yang juga peneliti di bidang Perencanaan Jaringan Pipa Air Minum dan Bendungan Kecil dan Energi dan dosen UMM ini, dilansir dari Antara mengatakan, “Ketersediaan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan lainnya semakin menipis. Sebagai antisipasi, salah satu teknologi yang bisa digunakan adalah mengembangkan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).”
Komitmen ini juga disampaikan oleh Pemerintah dalam siaran persnya, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian (25/10/2022) memberikan pernyataan komitmen bahwa Indonesia pada tahu 2060 atau lebih cepat untuk mencapat net zero emissions. Sebuah kondisi di mana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer (umumnya disebabkan energi fosil) tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi.
“Hanya ada satu kunci untuk memastikan keberhasilan transisi energi, yaitu kerja sama dan kemitraan. Publik, swasta, dan BUMN harus memiliki andil dalam proyek ini,” tutup Airlangga, Menko Perekonomian.
Sebelum saya mengetahui di UMM terdapat PLTMH, saya melakukan riset energi baru terbarukan di Kota Batu, Kota Wisata yang sejuk dan indah ini, tampaknya belum tersentuh PLTMH, agaknya aneh karena kondisi geografis begitu mendukung, daerah pegunungan dengan air yang mengalir cukup deras.
Tahun 2021 direncakan pembangunan PLTMH yang diinisiasi oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB) bekerjasama dengan UMM, di tiga titik, Desa Torongrejo (jaringan irigasi kedang klutuk 1), Desa Sidomulyo (jaringan irigasi perambatan kanan), dan Kelurahan Temas (jaringan irigasi kedang klutuk 2).
Saya membaca berita yang dilansir Radar Malang (2/4/2021), proyek ini akan selesai pada tahun yang sama, “Insyallah, pada bulan Mei dan Juni selama satu bulan sudah selesai, sebelumnya Kota Batu belum punya sistem semacam itu.” Kata Kepala Bidang Sumber Daya Air dan Jaringan Irigasi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Batu kala itu, Suwoko.
Menurutnya (2/4/2021), PT PJB memiliki target pembangunan 10 ribu titik PLTMH. Di setiap titiknya membutuhkan 300 juta, jika target di kota Batu terdapat 3 titik, berarti PT PJB mengucurkan 900 juta untuk Kota Batu.
Namun, setahun setelahnya, rasa penasaran saya mengantarkan kepada gedung Balai Kota Batu yang megah berwarna putih tersebut, sebab sudah hampir setahun (setelah berita itu terbit) tidak ada perkembangan. Saya mencoba mengirimi surat kepada Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR (Pekerjaan Umum dan Penataan Kota) Batu (12/12/2022).
Satu hari setelahnya (13/12/2022), saya dihubungi melalui telepon, bahwa Kepala Bidang Sumber Daya Air yang baru menduduki jabatan tersebut, “tidak mengetahui kalau ada kerjasama dengan PT Pembangkitan Jawa Bali, tadi saya keliling (kantor dinasnya) untuk bertanya apakah ada kerjasama dengan ini (PT PJB) atau tidak.”
“Memang ada rencana pembangunan PLTMH di beberapa titik di Kota Batu bekerjasama dengan UMM, namun tidak ada kabar kelanjutannya.”
Kepala Dinas tersebut mengira bahwa PT PJB melihat kondisi air sungai Kota Batu tidak menentu, “terkadang musim kemarau kecil, kalau musim hujan (alirannya) besar.” Selain itu menurutnya, “Sektor energi itu sekarang di bawah kewenangan dinas provinsi, termasuk air ini.”
Sayapun mengkonfirmasi UMM sebagai pihak yang tercantum dari berita tersebut, “Iya, memang ada kerjasama program 1000 PLTMH di Indonesia,” Namun, “Secara resmi belum (bekerjasama),” menurut Machmud.
Artinya UMM dan PT PJB belum memiliki perjanjian khusus dalam kerjasama pembangunan PLTMH di Kota Batu, hanya konsultasi (studi kelayakan) dan, “belum ada bantuan berbentuk dana,” tutupnya.
Untuk menelusuri keterbengkalaian program bagus ini, saya mencoba mencoba menghubungi PT PJB dengan telefon dan surat resmi (13/12/2022), teleponnya terangkat namun hanya sampai customer service setelah disambungkan kepada yang berwenang, tertutup.
Sementara surat elektroniknya belum mendapat respon dan jawaban. Pun, informasi mengenai program bagus ini dari keterangan resmi melalui situs resminya tidak ada.
Selain mengkonfirmasi PT PJB, saya juga berusaha menghubungi Dinas ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Jawa Timur, yang berwenang dalam hal energi di Jawa Timur. Saya berangkat ke kota ‘panas’ arek suroboyo, dari Malang ke gedung sementara Dinas ESDM Jawa Timur di daerah Wonokromo.
Namun karena terkendala kesibukan beberapa atasan Dinas ESDM, wawancara tersebut diundur hingga akhirnya melalui aplikasi Zoom (28/12/22).
Menurut Oni Setiawan, Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Jawa Timur, “Batasan-batasan terkait pengerjaannya, jika PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro) di atas 1 MegaWatt (1000 KiloWatt) dibangun PT PJB (Pembangkitan Jawa Bali) itu kewenangan pemerintah pusat.” Terkait PLTMH yang besarannya 0-100 KiloWatt, “memang kewenangannya daerah, dikerjakan daerah,” ungkap Oni.
Program 10.000 PLTMH milik PT PJB ini merupakan proyek besar. Dan izinnya tentu dari pemerintah pusat yang didelegasikan kepada PT PJB (dalam hal ini PT PLN). Oni juga menekankan, “ketika mereka (PT PJB) membangun, tidak ada koordinasi dengan daerah, mereka melaksanakan itu ke lokasi masing-masing. Kewajiban itu dilaksanakan kepada DJK (Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan) PLN.”
Tentu bertabrakan dengan Pasal 8 Peraturan Menteri ESDM Republik Indonesia nomor 39 tahun 2017, Pengusulan kegiatan fisik pemanfaatan energi baru terbarukan dilaksanakan berdasarkan permohonan daerah provinsi kepada menteri melalui jenderal atau program nasional, kementerian, atau kerja sama antara kementerian dengan lembaga lainnya.
Di akhir, Oni menjelaskan, “Perlu ada perbaikan izin-izin (terkait) pengelolaan energi.” Perbaikan tersebut di antaranya, perincian kebijakan aturan dan perincian informasi terkait pengelolaan energi tersebut.
Selain menggali informasi dari Dinas ESDM Jawa Timur, saya berkesempatan bertemu salah satu konsultan pembiayaan energi baru terbarukan di Pelatihan Membangun Narasi Transisi Energi (30/1/2023), Josep Bely Utarja.
Kepada saya dia menjelaskan terkait gagalnya proyek PT PJB dalam pembangunan PLTMH di Kota Batu.
Hal tersebut, menurutnya bisa jadi karena jumlah proyeknya tidak terlalu besar. Untuk diketahui PT PJB yang dalam hal ini sahamnya dikuasai oleh PLN, memiliki 4 skema pembiayaan.
“Ada beberapa jalur, keterlibatan (PLN) pembiayaan (keuangan) di pembangkit (listrik).”
Jalur pertama, PLN menginisiasi tender (proyek pengadaan) sendiri. “Artinya, punyanya PLN sendiri.”
Jalur kedua, pembiayaan melalui swasta atau IPP (Independent Power Producer).
Jalur ketiga, pembiayaan untuk pengadaan di kawasan industri, yaitu Private Power Utility (perusahaan listrik swasta) untuk menyediakan (listrik) di kawasan tertentu.
Jalur keempat, pembiayaan atas operasi untuk digunakan sendiri, “duitnya sendiri, untuk sendiri juga.”
Jalur kelima, pembiayaan untuk skala kecil, bisa koperasi, bisa BUMDES, “lembaga-lembaga daerah bisa terlibat di sana, dan itu akan lebih cocok (untuk PLTMH yang dibangun oleh masyarakat sendiri).”
***
Terdapat satu hal yang bisa dipelajari dari gagalnya proyek PLTMH tersebu, meski dialiri air yang deras, jika inisiatif masyarakat tidak membangun dari bawah maka hal tersebut akanlah susah.
Terlebih ancaman kerusakan akibat pembangunan hotel, seperti yang terjadi di Mata Air Umbul Gemulo. Saya mencoba menghubungi WALHI Jawa Timur (26/12/2022) untuk mencoba memverifikasi kondisi mata air di Kota Batu, menurut Direktur WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan, dalam keterangan tertulisnya mengatakan Kota Batu merupakan daerah yang potensial membangun kemandirian energi di sektor desa.
Namun, menurutnya, “Permasalahan tata ruang di Kota Batu, melalui RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) versi revisi, tidak memiliki kehendak untuk menyelematkan mata air di Kota Batu.” Sebab menurutnya masih memfasilitasi pembangunan fisik berupa hotel yang masif dan mengeksploitasi air itu sendiri.
WALHI mencatat, sejak 2011 hingga 2017 dari 111 mata air di Kota Batu tersisa hanya 53 mata air, “berkurang 50%,” menurut Direktur WALHI Jawa Timur tersebut. Kedepan juga WALHI akan melakukan pengecekan ulang terhadap mata air di Kota Batu.
Pun, dalam kajian terbarunya WALHI di Kota Batu tahun 2022, mencatat menyusutnya lahan hijau secara signifikan, pada tahun 2012 tercatat 6.034,62 hektare lahan terbuka dan turun pada tahun 2019 menjadi 5.279, hekatare. Sedangkan kawasan resapan dan tangkapan air di kawasan hutan primer menghilang 348 hekatare dalam 20 tahun terakhir.
Dalam kesimpulannya mengatakan pemerintah Kota Batu dalam melestarikan lingkungan hidup belum berhasil. Komitmen petinggi daerah dan ketaatan pada peraturan yang menjadi permasalahan. Menurut peneliti jurnal tersebut, upaya pelestarian justru tumbuh dari masyarakat.
Titik tengahnya, bisa menerapkan PLTMH yang juga dijadikan wisata, seperti di Broon Pring. Dilansir dari Mongabay, PLTMH Broon Pring selain mengairi sawah, juga memenuhi kebutuhan sehari-hari warga, termasuk kawasan wisata Broon Pring.
Untuk mencari informasi tambahan dari lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang energi, yang sudah berpengalaman yaitu IBEKA (Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan) yang sudah berdiri dari tahun 1979, saya menghubungi dan khusus bertanya terkait potensi pembangunan PLTMH di Kota Batu (25/12/2022).
Menurut Sapto Nugroho, mendukung baik inisiasi pembangunan PLTMH di Kota Batu, “tidak masalah mau dibangun di dalam kota sekalipun, baik-baik saja,” akan tetapi tujuannya akhirnya bukan kepada pembangkit listriknya, akan tetapi tergeraknya ekonomi rakyat, dalam hal ini melalui PLTMH.
“Listrik bukan semata-semata kita membangun jaringan, tetapi juga sebagai alat untuk memberdayakan membangun desa,” tutup Sapto kepada saya.
Sapto Nugroho sedang menjelaskan Energi Baru Terbarukan (Adi/Kebijakan.co.id)
Energi dari Arek Jawa Timur untuk Energi Terbarukan
Berbeda jika berasal dari inisiatif masyarakat, seperti PLTMH Boon Pring yang dikelola oleh BUMDES Kertoraharjo dan PLTMH Sumber Maron yang dikelola oleh HIPPAM (Himpunan Pengguna Air Minum) Karangsuko yang bekerja sama dengan UMM. PLTMH ini berhasil dibangun.
“PLTMH Sumber Maron dan Boon Pring, itu awalnya (inisiatif) dari masyarakat,” cerita Machmud.
Sebabnya, sesaat proses liputan ini saya mencari data PLTMH di Jawa Timur menggunakan data terbuka yang berasal dari Google Maps dan Google, lalu diverifikasi berita, jurnal penelitian, dan dokumen-dokumen resmi lainnya.
Pencarian ini, nantinya mengidentifikasi ‘masih eksis’ atau tidak, lalu mencari besaran arus listrik, sejarah pembangunan, pengelola, dan kegunaan dari PLTMH tersebut.
Saya menemukan 20 PLTMH di Jawa Timur yang teridentifikasi.
Mayoritas dari PLTMH yang berhasil dan bertahan hingga saat ini diinisiasi dan dikelola sendiri oleh masyarakat. Tercatat hanya 1 PLTMH di Jawa Timur yang dikelola perusahaan dan 2 dikelola oleh universitas. PLTMH yang dikelola oleh perusahaan yaitu PLTMH Desa Taman Sari, yang dikelola oleh PT Akasa Eko Energi, sedangkan universitas dimiliki UMM.
Menurut Sapto Nugroho, Direktur IBEKA, jalan tengah jika dikelola perusahaan ialah, “berilah masyarakat saham di situ.” Sebab menurutnya, “Supaya hasil dari penjualan listrik dari sumber daya alam lokal itu bisa memberi masukan bagi orang lokal di mana pembangkit itu dibangun, tidak semua keuntungan mengalir ke kota saja.”
Sedangkan untuk pengelolaan oleh masyarakat ini umumnya berbentuk paguyuban atau perkempulan yang dibentuk khusus untuk mengelola PLTMH, lainnya dikelola oleh BUMDES (Badan Usaha Milik Desa).
Pun kegunaanya tidak jauh dari aktivitas warga, misalnya untuk pengolahan hasil perkebunan, persawahan, pariwisata lokal, hingga aktivitas warga sehari-hari.
Misalnya, saya mencatat PLTMH Gunung Sawur 1 dan 2 di Lumajang yang diinisiasi oleh Sucipto dan dikelola oleh masyarakat desa di sana dan kembali kepada kebutuhan warga juga. Selain itu ada, PLTMH Jamus 1, 2, dan 3 di Ngawi yang diinisiasi masyarakat dibantu dana dari LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang dikelola oleh masyarakat untuk keperluan pabrik dan perkebunan teh serta fasilitas warga desa di sana.
Dalam hal ini, Wahyu Eka, Direktur WALHI Jawa Timur mengatakan kepada saya (26/12/2022), sangat setuju kalau PLTMH dikelola mandiri oleh Desa, baik itu melalui koperasi atau unit khusus ekonomi desa.
Selain itu, “Keberadaan PLTMH di tengah masyarakat, mengharuskan (masyarakat) untuk menjaga ekosistemnya, karena jika debit menurun atau sumbernya kering maka mereka kehilang energi (listriknya).”
Persis seperti apa yang diceritakan oleh Zainudin (HIPPAM Karangsuko) pada PLTMH Sumber Maron yang dilansir dari Mongabay, bahwa pada tahun 2014 debit air sempat anjlok atau turun drastis, sebabnya pohon-pohon dan rimbunan bambu ditebangi untuk lahan parkir wisata. Setelah itu, ditanami kembali dengan pohon besar seperti beringin, randu, dan mahoni yang tetap harus dijaga.
Selain itu, juga bisa memberikan alasan mengapa masyarakat tidak boleh membuang sampah di sungai, sebab kendala PLTMH Sengkaling salah satunya yaitu sampah, “Masyarakat tidak disiplin membuang sampah, ya jadi kotor,” tutur Machmud kepada saya cerita kendala PLTMH Sengkaling. Dalam hal ini, menurut Wahyu, energi terbarukan harus sejalan dengan ketahanan ekologis.
Kondisi tersebut, didukung Penelitian baru-baru ini yang dilakukan Ecoton (Ecological Observation and Wetland Conservation) yang melakukan pengamatan mikroplastik di 68 sungai strategis di Indonesia, misalnya. Provinsi Jawa Timur, merupakan peringkat pertama tingkat tercemar mikroplastik (dari sampah plastik), yang di dalamnya terdapat Sungai Brantas.
Dalam kesimpulannya, menyatakan akses listrik yang dikelola sendiri dan murah ini, telah mendorong ekonomi masyarakat, keahlian masyarakat, pengetahuan, tumbuhnya lapangan kerja, kualitas pendidikan, serta aktivitas kolektif masyarakat, seperti pengajian dan rapat pada malam hari, serta yang terpenting ialah gotong royong menjaga lingkungan.
Dampak ini juga dilihat oleh IBEKA. Sapto Nugroho, menceritakan kepada saya, “beberapa, (listrik dari) PLTMH dialirkan kepada puskesmas dan sekolah-sekolah yang membutuhkan listrik untuk kesehatan dan belajar.”
Hal tersebut juga karena dikelola oleh koperasi yang memiliki manajemen dan pengelolaan yang baik, “itu juga perlu (manajemen),” cerita Sapto, yang nantinya hasil keuntungan bisa dialokasikan untuk perawatan generator sehingga berkelanjutan.
Selain manajemen operasional PLTMH. Hal lainnya yang perlu diperhatikan, ialah sumber daya manusia atau operatornya, sebab mereka, “Tiba-tiba mereka berhenti karena diterima kerja di tempat yang lebih menguntungkan,” Cerita Oni Setiawan menggambarkan PLTMH yang tidak berjalan di masyarakat.
Tujuan-tujuan permberdayaan yang seperti ini, yang memang menjadi tujuan dari IBEKA, ketimpangan antara kota dan desa bisa dikikis dengan pemberdayaan masyarakat dengan teknologi yang tepat guna, salah satunya melalui PLTMH. “Listrik dijadikan sebagai alat untuk menyejahterakan masyarakat,” cerita Sapto Nugroho kepada saya.
Hal tersebut diartikan tujuannya bukan membangun PLTMH, akan tetapi untuk membuat masyarakat sejahtera, dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. “Khususnya prioritas kepada daerah 3T (Terdepan, terpencil, dan tertinggal),” ungkap Sapto.
Listrik bukan semata-semata kita membangun jaringan, tetapi juga sebagai alat untuk memberdayakan membangun desa.
Sapto Nugroho (Direktur Eksekutif IBEKA)
Sejalan dengan cita-cita IBEKA, pada Pasal 5 Peraturan Menteri ESDM Republik Indonesia nomor 39 tahun 2017, dijelaskan bahwa kegiatan fisik pemanfaatan energi baru bertujuan salah satunya untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan infrastruktur keenergian di wilayah terpencil, tertinggal, perbatasan, kepulauan kecil dan terluar, pasca bencana, atau pasca konflik.
***
Selain inisiatif dari warga, inisiatif dari pemerintah juga ada. Salah satunya hadir melalui Dinas ESDM Jawa Timur yang mengajak seluruh lembaga daerah yang resmi bekerjasama, “Kita semua bekerjasama dengan semua steakholder di Jawa Timur, yaitu lembaga resmi,” cerita Oni Setiawan menunjukan komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk energi terbarukan.
“Mereka kita ajak untuk memberikan peran transisi energi terbarukan,” PLN melalui CSR-nya telah membangun PLTMH di Probolinggo. Kemudian, “Kita juga telah membangun PLTMH di Madiun.”
Sumber Air untuk Energi Baru di Jawa Timur
Transisi energi ini begitu penting. Saya memiliki pengalaman di tahun 2019 tinggal bersama masyarakat Celukan Bawang yang hidup berdampingan dengan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).
Kondisi udara di sana, sungguh sesak, ditambah tinggal di pesisir yang udaranya cukup panas. Terkadang terdengar dentuman dikala bongkar muat batu bara, menggangu telinga dan rasa takut warga, namun tidak untuk yang ‘menikmati’ di baliknya, seperti pengusaha batu bara, pengusaha PLTU, dan pemerintah cum pemilik batu bara.
Sudah sepatutnya mempersiapkan dari dini untuk transisi dari PLTU tersebut. Sebab menipisnya batu bara yang diprediksi akan habis 20-30 tahun lagi. Serta dampak di sekitarnya yaitu kerusakan hutan yang berakibat pemanasan global. Akibat pertambangan yang masif, tanpa penanaman kembali.
Sebagai salah satu provinsi terbesar di Indonesia, Jawa Timur sudah seharusnya memiliki komitmen transisi energi secara sungguh-sungguh.
Saya ditunjukan oleh Oni Setiawan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendapatkan penghargaan terbaik implementasi RUED (Rencana Umum Energi Daerah), selain itu juga, “Di Oktober kemarin, kita mendapatkan penghargaan terbaik implementasi transisi energi dari Dewan Energi Nasional,” cerita Oni Setiawan kepada saya. Tentu, menjadi kabar baik, akan tetapi tetapi harapan itu juga bisa muncul dari masyarakat.
Di Oktober (2022) kemarin, kita mendapatkan penghargaan terbaik implementasi transisi energi dari Dewan Energi Nasional
Oni Setiawan (Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Jawa Timur)
Secercah harapan itu muncul, melalui aktivitas kecil sebuah generator yang bergerak dari air, yang dinamakan PLTMH. Sedikit dan kecil memang, tapi menurut Sapto Nugroho, “yang kecil-kecil seperti ini kalau dibangun pada akhirnya akan bisa mempunyai kontribusi yang bagus juga untuk jaringan (listrik) nasional.” Sebuah kalimat optimis, dari pria paruh baya yang sudah puluhan tahun bergelut mengabdi kepada masyarakat.
Titik-titik kecil itu saya telusuri, jika dihitung, untuk PLTMH (0-100 KiloWatt) sendiri di Jawa Timur terdapat 20 yang teridentifikasi dengan total KW-nya mencapai 552 KiloWatt.
Sedangkan PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro atau lebih besar Watt-nya dibandingkan PLTMH yaitu 1000-3600 KiloWatt) di Jawa Timur terdapat 9, dengan total KW-nya mencapai 21.520 KiloWatt.
Sedangkan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air yang besar Watt-nya lebih besar yaitu 4.500-105.000 KiloWatt) di Jawa Timur terdapat 11, dengan total KW-nya mencapai 209.500 KiloWatt.
Saya mencatanya melalui data terbuka yang diambil dari berbagai sumber: berita, penelitian, google maps, dan keterangan-keterangan sumber praktisi.
Walaupun julmlah pembangkit listrik bertenaga air cukup banyak. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor. Pertama, faktor wilayah, karena masih pulau Jawa yang infrastrukturnya mudah dijangkau. Kedua, dibantu sumber daya manusianya, karena kualitas pendidikan dan literasi yang baik.
Hal tersebutlah yang membuat Sapto Nugroho, Direktur IBEKA, memberikan catatan, “Saya lebih setuju jika pembangunan PLTMH (atau energi alternatif skala kecil yang mudah diaplikasikan) diprioritaskan untuk daerah di luar Jawa, ke daerah yang belum terlistriki gitu lho,” tegas Sapto. “kalau kita melihatnya (pakai) asas pemerataan dan asas keadilan, saya melihatnya seperti itu.”
Catatan lainnya datang dari Wahyu, Direktur WALHI Jawa Timur terkait PLTA yang memakan banyak ruang dan membutuhkan bendungan.
Bahwa pembangunannya tidak boleh menabrak hak asasi manusia, yaitu menggusur tempat tinggal warga dan sumber mata pencaharian. “Semisal, di Nganjuk untuk pembangunan bendungan Semantok yang juga akan difungsikan sebagai PLTA memakan korban sekitar 400 warga di Desa Tritik dan Sambikerep,” ungkap Wahyu dalam keterangan tertulisnya.
Pelaksanaan EBT seharusnya tidak merampas hak orang, dijalankan secara demokratis dan berkelanjutan.
Wahyu Eka Setiawan (Direktur WALHI Jawa Timur)
Wahyu menyarankan pembangunan energi terbarukan tidak bertolak kepada prinsip ‘human well being’ yang menjadi pegangan dalam prinsip ekonomi hijau dan berkelanjutan (green and sustainability economic). Dan harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat yang terdampak. “Pelaksanaan EBT seharusnya tidak merampas hak orang, dijalankan secara demokratis dan berkelanjutan,” tutup Wahyu.
Setelah meriset data pembangkit listrik tenaga air di Jawa Timur selesai, saya kembali merasakan dinginnya Malang di akhir tahun. Yang mungkin, dingin tersebut akan hilang jika kita tidak menjaga lingkungan. Bisa saja, Malang akan menjadi panas seperti Surabaya nantinya.
Air Sudah Seharusnya Dirawat. Sebab, Itu Merupakan Masa Depan Energi Kita. Tak Ada Pilihan Lain. Jika Tidak, Kita Akan Kualat.
Catatan Redaksi Kebijakan.co.id
*Artikel diperbarui tanggal 31 Januari 2023 setelah mendapatkan konfirmasi tambahan dari Konsultan Pembiayaan Energi Baru Terbarukan terkait gagalnya proyek pembangunan PLTMH di Kota Batu dalam kegiatan Pelatihan Membangun Narasi Transisi Energi.
Bekasi, Kebijakan.co.id — 5 April 2022, hujan mengguyur Kota Bekasi. Durasinya tidak lama, tepatnya dari siang menuju sore hari. Akan tetapi hujannya cukup deras. Parahnya, hampir seluruh Kota Bekasi terdampak banjir –memang sudah dari dahulu seperti ini. Seakan, hujan membuktikan buruknya tata kota di Bekasi, salah satunya. Lainnya, kemacetan dan panas, juga seakan membuktikannya. Dari peristiwa ini, Kebijakan.co.id hadir.
Adi Fauzanto-27 April 2022 (14.26 WIB)-#110 Paragraf
5 April 2022, hujan mengguyur Kota Bekasi. Durasinya tidak lama, tepatnya dari siang menuju sore hari. Akan tetapi hujannya cukup deras. Parahnya, hampir seluruh Kota Bekasi terdampak banjir –memang sudah dari dahulu seperti ini. Seakan, hujan membuktikan buruknya tata kota di Bekasi, salah satunya. Lainnya, kemacetan dan panas, juga seakan membuktikannya. Dari peristiwa ini, Kebijakan.co.id hadir.
***
Bekasi, Kebijakan.co.id — Kata-kata seperti “Panas”, “Jauh”, “Planet Lain”, jamak terdengar dalam benak masyarakat Kota Bekasi. Tidak salah juga, Bekasi dikenal dengan panasnya yang luar biasa.
Karena memang berdekatan dengan daerah industri, pemukiman yang padat –juga tidak teratur- serta jumlah kendaraan yang mengikuti jumlah penduduknya. Terlebih ruang terbuka hijau yang menyempit. Ditambah pola buruk kebiasaan masyarakatnya.
Gambaran sederhana lainnya ialah, dahulu di sekitar rumah jurnalis Kebijakan.co.id masih bisa terdengar sering suara burung kematian –atau burung dengan nama latin cuculus merulinus.
Kicauan burung yang menurut mitos membawa kabar atau pesan kematian untuk orang-orang di sekitar. Saat ini, bukan pesan kematian dari burung itu yang datang, akan tetapi pesan tersebut tidak pernah tersampaikan lagi, ntah pembawa pesan tersebut mati atau migrasi.
Gambaran tersebut, menunjuk bahwa tempat berlindung atau rumah burung tersebut hilang, rumah burung tersebut ialah pohon. Pohon hanya tumbuh di tanah, bukan di pot, apalagi di semen. Ruang untuk pohon tersebut mengecil, terkhusus untuk burung-burung tadi.
Sebenarnya burung bisa saja, bertempat tinggal di loteng atau bangunan-bangunan tinggi, akan tetapi jika kualitas udara tersebut buruk –bising, panas, dan polusi.
Terlebih jika sumber makanan alami di pohon tidak ada, burung harus berpindah atau mati. Ada beberapa yang sanggup bertahan, salah satunya burung gereja –yang memakan sisa makanan manusia.
Ilyas (24), salah satu penghobi burung freefly paruh bengkok –burung yang dilatih untuk terbang bebas- yang tinggal di Jatiwaringin, Pondok Gede. Mengatakan bahwa burung bisa saja terganggu penglihatannya karena buruknya udara di Kota Bekasi, “Matanya bisa kelilipan.”
Akan tetapi keluhnya lagi, “kualitas udara di Bekasi emang buruk, tetapi ga terlalu berpengaruh ke burung, yang lebih ngaruh itu ke ownernya (pemiliknya), polusi udara di Bekasi tebel banget, jadi bikin gatel hidung dan berbedu.”
Tidak bisa dielakan atas kondisi udara Kota Bekasi. Apalagi jika melihat burung kematian tersebut tidak terdengar lagi disebabkan berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH), atau setidaknya sudah jenuh mendengar yang jamak orang katakan yaitu panasnya kota Bekasi.
Buruk Kualitas Udara
Untuk menguji seberapa ‘panas’ Kota Bekasi dapat dilihat dari kualitas udara. Data IQAir –sebuah wadah informasi digital terkait kualitas udara yang di perbaharui secara waktu terbaru- terbaru (20 April 2022, di pukul 15.00 WIB), menunjukan Kota Bekasi di angka 126 dalam kualitas udara -semakin tinggi semakin buruk-, dikategorikan tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Rinciannya, polutan PM2.5 dengan konsentrasi 45.7 mikrogram per meterkubik; polutan PM10 dengan konsentrasi 60.2 mikrogram per meterkubik; polutan O3 dengan 1.4 mikrogram per meterkubik. Dengan suhu 30 derajat celcius dan tingkat kelembapan mencapai 64 persen. Sedangkan dalam hitungan harian, di 3 hari sebelumnya angka menunjukan 89 (19 April 2022), 109 (18 April 2022), 129 (17 April 2022).
Jika dibandingkan dengan Kota Jakarta di hari yang sama dan pukul yang sama, angka Kota Jakarta di 80 –dikategorikan sedang-, dengan rinciannya polutan PM2.5 dengan konsentrasi 25.8 mikogram per meterkubik; PM10 dengan konsentrasi 9.7 mikogram per meterkubik; SO2 dengan konsentrasi 93.9 mikrogram per meterkubik.
Dengan suhu 30 derajat celcius dan tingkat kelembapan mencapai 74 persen. Jika dilihat dari 3 hari sebelumnya, Kota Jakarta menunjukan 115 (19 April 2022), 91 (18 April 2022), 128 (17 April 2022).
***
Mengetahui lebih dalam istilah-istilah tersebut, menurut BMKG (Badan Meteorlogi Klimatologi dan Geofisika), PM2.5 atau disebut Partikulate Matter merupakan partikel udara yang berukuran lebih dari 2.5 mikrometer -30 kali lebih kecil daripada rambut manusia.
Untuk nilai ambang batas nasional mencapai 65 mikrogram per meterkubik. Sedangkan WHO (World Health Organization) menetapkan ambang batas mencapai 25 mikrogram per meterkubik.
PM2.5 termasuk ke dalam polutan berbahaya, yang jika masuk ke dalam jaringan paru-paru dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti ISPA, kanker paru-paru, terburuk ialah menyebabkan kematian. Terlebih bagi mereka yang rentan, seperti bayi, anak-anak, ibu hamil, dan lanjut usia.
Sebab ukurannya kecil maka, PM2.5 tidak tersaring dalam sistem pernapasan dan menempel pada gelembung paru, menyebabkan turunnya kualitas organ paru-paru.
Temuan selanjutnya dari beberapa peneliti Harvard dan Columbia University, hasilnya ialah PM2,5 meningkatnya kematian dini –kematian sebelum usia harapan. Peningkatan tersebut muncul setelah kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan.
Temuan lainnya, mencatat bahwa Cina dan India adalah dua negara dengan tingkat kematian dini akibat PM2.5. Ketiga temuan tadi disebabkan karena, PM2.5 bisa meningkat karena udara yang memanas, kebakaran, dan polusi lingkungan. Dan jika melihat India, angka konsentrasi PM2.5 meningkat pada kawasan padat penduduk.
Penyebab kawasan padat penduduk dapat meningkat, karena polutan PM2.5 dapat ditemukan di bagian pintu, jendela, dan kaca rumah. Kegiatan seperti membakar tembakau atau rokok, kayu, dan dupa dapat menyebabkan polusi udara dalam rumah. Terlebih jika dibantu dengan organisme lainnya seperti tumbuhnya jamur, tungau debu, dan kecoa.
Sedangkan di luar rumah, terdapat asap mobil, motor, pembangkit listrik batu bara, dan pembakaran lainnya.
***
Sedangkan PM10 atau disebut juga Partikulate Matter merupakan partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 mikrometer, untuk nilai ambang batas ialah mencapai 150 mikrogram per meterkubik, sementara WHO menetapkan ambang batas 50 mikrogram per meterkubik.
Sama dengan PM2.5 yang mengidap di organ paru-paru, perbedaannya PM2.5 mengendap di bagian saluran dalam paru-paru, sedangkan PM10 mengendap di saluran udara atau pernafasan yang lebih besar dari paru-paru atau menuju paru-paru bagian dalam.
***
Selanjutnya yaitu Ozone atau O3. Dalam artikel Hello Sehat berjudul Dampak Buruk Pencemaran Udara untuk Kesehatan (2021), menjelaskan Ozone yang dimaksud bukan bagian dari penyusun atmosfer bumi. Yang dimaksud ialah Ozone yang merupakan polutan berbahaya terdapat dalam permukaan tanah.
Umumnya mereka, terpapar antara 10 dan 25 bagian per semiliar Ozone. Peningkatan tiga bagian per semiliar seperti menghisap satu bungkus rokok setiap harinya. Hasil studi tersebut menunjukan persamaan polusi udara di perkotaan sama dengan menghisap satu bungkus rokoh setiap hari selama 29 tahun.
***
Dan yang terakhir ialah SO2 atau Sulfur dioksida. Merupakan gas tidak berwarna dengan bau khas yang tajam. Partikel ini dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung belerang.
***
Membaiknya kualitas udara sangat di tentukan dengan pengurangan aktivitas yang menghasilkan polusi –baik dalam ruangan, apalagi di luar ruangan. Di luar ruangan, aktivitas yang menimbulkan polusi harus diimbangi dengan penawarnya, dalam skala luas perlu adanya ruang terbuka hijau, terlebih adanya kebijakan publik terkait lingkungan hidup. Dalam skala individu, ialah dengan mengatur apa yang kita perbuat.
Citra Udara RTH
Dari gambar citra jauh selama 10 tahun tersebut, terlihat, bagaimana zona hijau berkurang.
Untuk menambah penjelasan dari citra Kota Bekasi dari jauh tersebut, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Bayu Prasetyo, akademisi Universitas Indonesia, berjudul Evaluasi Kesesuaian Lahan Ruang Terbuka Hijau terhadap RTRW Kota Bekasi (2021). Jika mengacu 30% luas Ruang Terbuka Hijau (RTH), maka seharusnya Kota Bekasi memiliki lahan RTH sebesar 6710 hektare.
Dari data satelit Landsat 8 dan RTRW Kota Bekasi, hasil temuannya ialah terdapat penurunan kategori tinggi sebaran vegetasi dengan luas wilayah 6.889 hektare –khususnya di bagian Bekasi Barat.
Presentase RTH yang nampak di Kota Bekasi juga mengalami penurunan dari tahun 2013 hingga tahun 2021 sebesar 8% atau 1.728 hektare. Dan luas RTH yang telah dioptimalkan fungsinya untuk penataan ruang baru mencapai 2,42 persen atau seluas 525 hektare dengan tipe dominan RTH TPU (Tempat Pemakaman Umum) dan RTH Kota.
Bayu menegaskan data tersebut menunjukan bahwa belum terjadi peningkatan luas ruang terbuka hijau yang signifikan sejak rancangan RTRW Kota Bekasi diterbitkan pada tahun 2011.
Diakui memang oleh Pemerintah Kota Bekasi, menurut Ashari, Kepala Bidang Pengendalian Ruang -dalam keterangannya tahun 2020 di Kompas.com berjudul Bekasi Sulit Sediakan 30 Persen RTH. Menurutnya, Kota Bekasi saat ini baru memenuhi 15 persen RTH –yang seharusnya atau minimal 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat-
Hal tersebut disebabkan, pertama, penduduk Kota Bekasi yang banyak, ditambah ruang atau lahan yang dipadati penduduk tersebut. (Kedua) Akan tetapi bisa diakali dengan membeli lahan pemukiman tersebut, tetapi Pemkot Bekasi kekurangan dana untuk membeli lahan pemukiman untuk dijadikan kawasan hijau.
***
Ditilik dari tujuannya, menurut Nirwono dan Iwan dalam bukunya RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau (2011), RTH diperuntukan sebagai infrastruktur hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah dan bersih.
Baik untuk alam itu sendiri maupun masyarakatnya. Untuk masyarakat ditunjukan menciptakan lingkungan yang sehat, layak huni, dan berkelanjutan.
Untuk alam sendiri ialah mempertahankan silkus hidrologi –perputaran air; mikroklimat –lingkup iklim lebih kecil; ameliorasi iklim –perbaikan iklim; menghasilkan oksigen –untuk bernafas; sebagai tempat hidup flora-fauna –tempat hidup hewan dan tumbuhan.
RTH harus memiliki penyokong –tulang punggung, di antaranya faktor air, seperti sungai, danau, dan rawa-rawa; faktor hutan seperti, hutan kota, hutan alami; faktor lahan produk seperti sawah, kebun, dan ladang; faktor ruang-ruang akibat teknologi, seperti lapangan terbang, ruang antar bangunan, taman, jalur hijau; faktor lain, seperti tempat militer, dan lapangan golf.
Dari penyokong tersebut, RTH dibagi menjadi. Pertama RTH Alami, daerah hijau yang masih alami; yang dilindungi agar tetap dalam kondisi alami. yang difungsikan sebagai taman publik tetapi tetap dengan karakter alam di dalamnya.
Kedua, RTH Buatan, daerah hijau di perkotaan yang dibangun sebagai taman kota; yang dibangun dengan fungsi rekreasi; yang dibangun antar area bangunan yang digunakan sebagai area penghijauan.
Ancaman Pesakitan
Dari sekian penderitaan ialah hidup dengan penyakit itu sendiri. Masyarakat di Kota Bekasi mengetahui itu, dia hidup berdampingan dengan panas nya –beserta polusi- Kota Bekasi. Secara perlahan mereka juga mengetahui dampak kesehatan yang dirasakan.
Dalam penelusuran informasi –baik itu artikel, jurnal penelitian, atau temuan yang ada- terkait dampak lingkungan udara yang buruk untuk kesehatan. Secara garis besar dibagi menjadi dua organ dalam –organ jantung dan paru-paru-, satu organ luar yaitu kulit, satu lainnya terkait psikologis atau perilaku kita.
***
Dampak terhadap Paru-Paru yang paling signifikan dan mudah diketahui. Selain pembahasan PM2.5, PM10, dan O3 yang sudah dibahas sebelumnya, terdapat beberapa dampak lainnya.
Pertama, penyakit Asma atau Asthmatic Bronchiale. Salah satu penyakit jangka panjang atau kronis –berulang dan menahun- pada saluran pernapasan. Ditandai dengan peradangan serta penyempitan saluran napas.
Menimbulkan gejala, sesak napas, sesak dada, batuk, engap. Menurut jurnal Dampak Polusi Udara terhadap Asma (2018), prevalensi –tingkat penyebaran pada kasus penyakit- dan derajat beratnya asma meningkat seiring dengan peningkatan polusi udara.
Kedua, ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Infeksi oleh virus atau bakteri yang terjadi di saluran pernapasan, baik pernapasan atas -hidung hingga faring- atau bawah -laring hingga paru-paru-.
Adanya polusi udara atau udara yang kotor mempermudah penyebaran infeksi virus, sehingga potensi akan lebih tinggi terkena ISPA. Saluran pernapasan yang berpotensi paling tinggi menyebabkan terkena ISPA ialah saluran pernapasan bawah.
Ketiga, paru-paru basah atau pneumonia. Disebabkan oleh infeksi virus yang menyebabkan peradangan pada kantung udara di paru-paru. Salah satu penyebabnya ialah polusi udara yang masuk ke paru-paru dan menyebabkan terjadinya peradangan.
Jika terjadi pada jangka waktu lama, kandungan berbahaya tersebut akan bertumpuk dan membuat kondisinya semakin buruk.
Keempat, bronkopneumonia. Salah satu jenis pneumonia yang disebabkan oleh infeksi virus pada saluran udara (bronkus) dan kantung udara (alveolus).
Menyebabkan menyempitnya saluran udara yang berdampak pada berkurangnya pertukaran udara dengan darah. Salah satu penyebabnya ialah polusi udara.
Keempat, kanker paru-paru. Tumbuhnya sel-sel ganas yang tidak terkendali pada jaringan tubuh yang dalam hal ini terjadi dalam organ paru-paru.
Mengutip CNN Indonesia, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) pada tahun 2013 mengklasifikasikan polusi udara luar ruangan sebagai faktor penyebab kanker paru-paru.
***
Dampak terhadap Jantung –dan juga sistem peredaran darah lainnya. Dalam laman resmi Kementerian Kesehatan RI, artikel yang ditulis oleh Sri Aryanti –dokter sekaligus kepala seksie penyakit tidak menular dan kesehatan jiwa Dinas Kesehatasan Provinsi Lampung- berjudul Dampak Pencemaran Udara terhadap Hipertensi (2019).
Aryanti menjelaskan, setiap 5 mikrogram per meterkubik PM2.5, meningkatkan resiko hipertensi atau darah tinggi sebanyak 22 persen pada orang yang tinggal di daerah tinggi polusi, dibandingkan daerah yang rendah polusi.
Terlebih perempuan yang sering terpapar tingkat polusi tinggi, lebih berpotensi menderita hipertensi.
Juga menjelaskan hasil dari temuan lain, yang membuktikan polusi udara berdampak pada hipertensi.
Pertama, mengutip jurnal European Heart Journal, orang dewasa dengan umur yang di dua lokasi berbeda, yaitu polusi tinggi lebih rentan hipetensi dibanding dengan daerah polusi rendah.
“Melihat dari paparan polusi tinggi jangka panjang dengan tingginya kasus dan penggunaan obat anti hipertensi,” menurut Barbara Hoffman seorang epidemilog lingkungan sekaligus pemimpin penelitian tersebut.
Hipertensi atau darah tinggi sendiri merupakan faktor resiko utama pemicu penyakit lainnya. Seperti kerusakan organ ginjal, jantung, dan otak atau stroke.
Keberhasilan pengendalian hipertensi akan menurunkan resiko penyakit tadi. Selain menyelamatkan manusia, mengurangi beban ekonomi, dan sosial bagi keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Penyakit jantung koroner sendiri disebabkan adanya penumpukuna kalsium atau bahan lain seperti lemak di arteri yang membuat darah sulit mencapai jantung dan area tubuh lainnya.
Didukung Artikel lainnya dari Tirto.Id mengutip riset Physicians for Social Responsibility berjudul How Air Pollution Contributes to Hearth Disease. Bahwa menghirup polusi udara dapat menyebabkan aterosklerosis –penyempitan pembuluh darah yang disebabkan oleh penumpukan plak di dinding pembulu darah.
Penumpulkan plak akan mengentalkan arteri yang membatasi aliran darah, nutrisi dan oksigen. Yang menyebabkan penyakit jantung koroner, serangan jantung, atau stroke.
Didukung juga dengan CNN Indonesia, yang mengutip penelitian berjudul Air Pollution Exposure and Cardiovascular Disease oleh Byeong-Jae Lee dan tim pada Toxicological Research. Menjelaskan bahwa polusi udara dan peningkatan tekanan darah berkontribusi peningkatakan resiko penyakit jantung.
Partikulate Matter (PM) berkaitan erat dengan peningkatan tekanan darah secara signifkan.
***
Dampak terhadap Kulit. Organ luar yang bersentuhan langsung, berfungsi sebagai pertahanan pertama tubuh, dan merasakan langsung panas dari udara -selain hidung yang mencium dan menghirup udara kotor.
Ancaman penyakit kulit ketika udara atau lingkungan yang kotor, ialah.
Pertama, iritasi kulit, disebabkan terpapar sumber polusi –baik dari dalam atau luar rumah- seperti asap kendaraan atau detergen pencuci pakaian, iritasi kulit beresiko bagi mereka yang memiliki kulit sensitif atau mereka yang memiliki riwayat alergi kulit.
Selain itu, kulit juga akan memproduksi antioksidan dan melepas melanin –berfungsi melindungi jaringan kulit di bawahnya- secara berlebih –yang buruk secara jangka panjang dan menghasilkan flek hitam.
Kedua, ialah jerawat, polusi menyebabkan kulit menghasilkan banyak sebum –minyak alami dalam kulit yang berfungsi untuk melembapkan kulit dan mencegah pertumbuhan bakteri di kulit- akan tetapi jika sebum meningkat, kulit wajah akan berminyak dan menghasilkan jerawat –disebabkan minyak dan kulit mati menutup pori-pori kulit menghasilkan peradangan.
Ketiga, ialah rusak dan terhambatnya produksi kolagen –semacam protein- dalam kulit, kolagen berperan dalam menjaga kekenyalan, kekencangan kulit, dan meregenerasi kulit. Terhambatnya produksi kolagen berdampak pada kulit yang menjadi kering dan kusam.
Keempat, ialah munculnya alergi kulit, yang menyebabkan seseorang mengalami gejala berupa muncul ruam dan bentol di kulit, gatal-gatal, dan kulit kering, terkhusus bagi mereka yang memiliki kulit sensitif.
Kelima, menyebabkan kanker kulit, kanker –tumbuh nya sel-sel ganas yang tidak terkendali pada jaringan tubuh- yang tumbuh di jaringan kulit.
Ditandai dengan perubahan pada kulit –muncul benjolan, bercak, atau tahi lalat dengan ukuran tidak normal-, disebabkan salah satunya ialah faktor eksternal di mana udara yang terkontaminasi zat karsinogenik –pemicu kanker-, misal asap rokok.
***
Selanjutnya, yang dapat dirasakan tubuh kita ialah, masalah terhadap kesehatan mental –yang mempengaruhi perasaan, keputusan, kognitif atau pikiran, perilaku dan tentu berdampak pada organ tubuh lainnya.
Di antara sesaknya Kota Bekasi, ada yang tersisa dalam pikiran masyarakatnya. Di balik peristiwa itu, ada kondisi psikologis yang dapat di pelajari.
Dalam temuan berjudul The Current Status of Urban-Rural Differences in Psychiatric Disorders (2010) -dikutip dari BBC Indonesia- yang memetakan sejumlah penelitian, menghasilkan kesimpulan bahwa orang-orang di perkotaan menderita gangguan kejiwaan, suasana hati, dan kecemasan. Sehingga menyarankan bahwa program urbanisasi, mensyaratkan adanya pelayanan kesehatan jiwa.
Didukung dari artikel KlikDokter berujudul Hubungan Antara Polusi Udara dan Gangguan Mentalditulis oleh Alvin Nursalim, menjelaskan penelitian di Korea, bahwa kelompok orang yang menerima paparan polusi udara, menunjukan gejala depresi dan berpikir untuk bunuh diri.
Selain itu, artikel Jangan Remehkan Pengaruh Polusi pada Kesehatan Mental di Kompas.com mengutip psikolog Veronica Adesla, yang menyebutkan hasil penelitian di Amerika Serikat, bahwa paparan polusi udara saat bayi hingga anak-anak, menyebabkan peningkatan kecemasan dan depresi ketika memasuki usia 12 tahun.
Penyebabnya ialah jika manusia terpapar terus menerus PM2.5 dan O3 mengakibatkan kerusakan neurovaskular, yang menggangu sistem saraf menyebabkan tekanan pada otak manusia.
Partikel tersebut –PM2.5, PM10, dan O3- terbawa kedalam sistem pernapasan dan turut serta terbawa hingga ke otak, sehingga partikel yang berkumpul dan berakumulasi menggangu kinerja otak serta mengubah struktur otak.
***
Terakhir, berkaitan dengan kualitas hidup manusia, bersumber dari Pemerintah tepatnya Kementerian Kesehatan bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) dengan artikel berjudul Pencemaran Udara dapat Pengaruhi Tubuh, Otak dan Perilaku Kita Hingga Mungkinkan Tindak Kriminal -yang diterjemahkan dari artikel BBC berjudul How Air Pollution is Doing More Than Killing Us (2019).
Artikel tersebut mencatat beberapa penelitian penting.
Temuan Sefi Roth tahun 2011 berjudul Air Pollution, Educational Achievements, and Human Capital Formation, di mana menjelaskan bahwa pelajar yang terkena dampak polusi udara, menyebabkan kualitas pendidikan -ujian, prestasi, dan sekolah- dan kualitas hidup ke depan menurun.
Temuan di tahun 2016 –mendukung temuan Sefi Roth- berjudul Air Pollution and Worker Productivity oleh Matthew, menunjukan bahwa polusi udara dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas.
Korelasi tersebut didapatkan oleh Roth dan timnya dengan mengikuti udara –berbentuk awan di langit- yang buruk mengarah ke satu kota dan hanya terjadi kejahatan di satu kota tersebut selama 2 tahun.
Menemukan bahwa polusi udara dapat berujung pada enam kategori kejahatan utama –pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, pencurian, dan penyerangan. Meski penelitian tersebut, dipengaruhi beberapa faktor lainnya.
Kebijakan Ekonomistik
Kehadiran negara wajib untuk melindungi masyarakat, terlebih masalah kesehatan. Secara normatif Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H Ayat 1 mengamanatkan,
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Cara menyelamatkan manusia dari pesakitan, bukan hanya menyediakan rumah sakit. Akan tetapi dengan menyelamatkan lingkungan, juga sekaligus menyelamatkan manusianya dari potensi pesakitan karena lingkungan hidup yang buruk.
Akan tetapi, dalam artikel Walikota Tolak Klaim Udara Bekasi Lebih Buruk dari Jakarta (2019) Pepen sapaan Eks-Walikota Bekasi, Rahmat Effendi menolak klaim udara buruk di Bekasi lebih buruk dari pada di Jakarta. Dengan dalih, kendaraan di DKI Jakarta jauh lebih banyak daripada Kota Bekasi.
Menariknya, jika Anies Baswedan ingin mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Rahmat Effendi berpendatapat jika ada pengurangan kendaraan bermotor, sama dengan melorotnya laju ekonomi di Kota Bekasi. “Tidak bisa (menekan jumlah kendaraan bermotor). Karena, saat kita tekan kendaraan bermotor, ada produksi nasional yang mengimbangi tenaga kerja yang ada.”
Pabrik motor dan mobil Kota Bekasi adalah bagian integral dari kepentingan provinsi dan nasional, “Tidak bisa, apalagi produksi itu menyangkut tenaga kerja.” Ke depan jika dikurangi, maka tidak ada aktivitas, yang berakibat pada ekonomi masyarakat memiliki daya beli rendah, “Terus terjadi inflasi tinggi di sini, laju ekonominya rendah.”
Di tahun 2019 sendiri, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bekasi mencatat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bekasi pada 2019 senilai Rp. 98,13 Triliun. Dari keseluruhan tersebut, bidang perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan motor mencapai 23 persen.
Pendekatan ekonomi, banyak menjadi faktor penentu kebijakan. Ada harga yang harus dibayar dari kebijakan seperti ini.
Akan tetapi, tidak selalu kota dengan kendaraan pribadi jumlah nya kecil, kemajuan ekonomi nya rendah. Dan sebaliknya, tidak selalu kota dengan kendaraan pribadi jumlah nya banyak, kemajuan ekonomi nya tinggi. Belanda, Jerman, atau negara skandinavia, misalnya.
Dan perlu diingat tugas pemerintah –negara ataupun daerah- sebagai pelindung hak dasar masyarakat, salah satunya kesehatan.
***
Atau setidak-tidaknya Pemerintah Kota Bekasi hanya cukup menjalankan peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Bekasi sendiri dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 11 Tahun 2018 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Atau dengan kata lain Perda tersebut, tidak di jalankan.
Dalam Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2018 terdapat beberapa perihal penting. Di antaranya berkaitan dengan mempertahankan kualitas udara di bawah baku mutu –yang seharusnya saat ini ditambah ‘mempertahankan dan mengembalikan’.
Selain itu, 5 lainnya, pertama, mempertahankan dan mengembalikan fungsi lahan resapan air. Kedua, menurunkan tingkat pencemaran air permukaan di bawah baku mutu kualitas air.
Selanjutnya ketiga, mewujudkan RTH publik dan privat minimal seluas 30% dari luas kota. Keempat, mengendalikan pembangunan pada area yang memiliki kontribusi pada jasa lingkungan hidup. Kelima peningkatan kapasitas aparat dan masyarakat terhadap terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
Untuk menkonfirmasi dan mendapatkan jawaban yang pasti atas lingkungan hidup – termasuk juga emisi gas buangan kendaraan pribadi. Jurnalis Kebijakan.co.id telah menghubungi Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perhubungan Kota Bekasi melalui surat elektronik resmi.
Dan khusus Dinas Lingkungan Hidup melalui telefon call center Pemerintah Kota Bekasi, namun setelah diterima nomor adminnya tidak terdaftar. Namun tidak kunjung mendapatkan balasan.
***
Sederhana untuk menggambarkan relasi tugas negara sebagai penjaga lingkungan sekaligus pelayan masyarakat. Layaknya tukang parkir dalam minimarket di sekitaran kota Bekasi.
Ia menjaga dan juga mengatur motor ke luar masuk, menjaga dari maling, dari hujan, dari panas, dan mengatur agar tidak berantakan, agar akses ke luar masuk lancar, agar tidak terjadi konflik antar pengguna motor karena rebutan tempat parkir.
Setelahnya kita membayar tukang parkir tersebut -dalam konteks negara ialah dengan pajak. Hasilnya belanja kita lancar -dapat memenuhi kebutuhan- tanpa harus berkonflik dalam mengakses pasar atau minimarket -menyebabkan potensi tidak dapat memenuhi kebutuhan-, aset -kendaraan bermotor- terjaga dan berkelanjutan.
Berbeda jika, tanpa tukang tukang parkir –dianalogikan tanpa negara-, berpotensi chaos atau konflik, bisa jadi pencurian kendaraan bermotor, yang terburuk ialah pencurian atau penjarahan pasar tersebut.
Atau negara yang memonopoli atau menguasai pasar, artinya negara menyediakan bahan-bahan –yang seharusnya ada minimarket tersebut- hadir di masyarakat, dengan cuma-cuma atau murah.
Jika pengendara motor -masyarakat- dan tukang parkir -negara- telah bersepakat untuk melindungi aset motor -hak-hak dasar seperti kesehatan- dalam karcis -konstitusi atau undang-undang- maka harus dilakukan.
Adi Fauzanto-27 April 2022 (13.57 WIB)-#64 Paragraf
5 April 2022, hujan mengguyur Kota Bekasi. Durasinya tidak lama, tepatnya dari siang menuju sore hari. Akan tetapi hujannya cukup deras. Parahnya, hampir seluruh Kota Bekasi terdampak banjir –memang sudah dari dahulu seperti ini. Seakan, hujan membuktikan buruknya tata kota di Bekasi, salah satunya. Lainnya, kemacetan dan panas, juga seakan membuktikannya. Dari peristiwa ini, Kebijakan.co.id hadir.
***
Bekasi, Kebijakan.co.id — Jalan yang sempit dan perumahan yang padat, menghasilkan pengguna kendaraan bermotor berlebih, sehingga macet tidak terhindarkan.
Salah satu syarat pembangunan kota urban -dengan tingkat perpindahan penduduk yang tinggi- ialah menyediakan transportasi publik yang layak, sehingga penggunaan kendaraan pribadi berkurang.
Jika dilihat dari tahun 2018 menuju 2020 kepemilikan kendaraan pribadi berkurang tetapi tidak terlalu signifikan, dan ada kemungkinan di tahun 2020 turun dikarenakan deflasi –ekonomi nasional melesu secara 2 quartal terus menerus- dampak pandemi.
Misalnya, kendaraan sepeda motor -dalam data BPS Kota Bekasi-, tahun 2018 terdapat 1.248.185 motor, naik di tahun 2019 terdapat 1.249.077, dan turun di tahun 2020 terdapat 1.184.383.
Dari data tersebut, lalu melihat transportasi publik di Kota Bekasi, terdapat Commuter Line Kota Bekasi menjadi pusat nya –itu juga hanya bagian Bekasi Barat yang terkena dampak secara langsung.
Lalu Transpatriot yang masih seumur jagung dengan 3 koridor nya, ditambah masalah pandemi yang membatasi gerak fisik. Lalu angkutan umum, yang mengarah kesana –stasiun Bekasi-, selain itu lainnya mengarah ke pusat keramaian –seperti pasar atau terminal besar antar kota dan provinsi.
Selain itu, bantuan dari proyek Integrasi Jakarta angkutan publik Ibu Kota berupa Mikrotrans, atau Transjakarta yang melintasi sebagian Kota Bekasi –khususnya yang berbatasan dengan Jakarta.
Data Dinas Perhubungan Kota Bekasi mencatat total ada kurang lebih 78 trayek, 3 di antaranya merupakan Transpatriot –yang kini hanya aktif 1 trayek menurut Eks-Walikota Bekasi. 3 lainnya bertrayek M, dua bertrayek G, sisanya K.
Praktis hanya KRL yang optimal untuk mengankut banyak orang –itu juga tidak ada dalam trayek Dinas Perhubungan Kota Bekasi.
Selain itu ambil contoh, dalam salah satu trayek di atas. K-44 yang melintasi Komsen – Jalan Raya Wibawa Mukti – lalu menuju cibubur hingga masuk tol menuju Kampung Rambutan.
Ada beberapa hal yang menjadi permasalahan, pertama, yaitu waktu yang tidak tepat, selalu ngetem untuk menunggu penumpang penuh, jika tidak maka setoran pengemudi –yang selalu bergantian ini- tidak akan mencapai target setoran perhari nya.
Sebenarnya, tidak mengapa jalur trayek yang memutar untuk beberapa kondisi, asalkan tetap tepat waktu agar estimasi nya dapat diperkirakan.
Kedua, terkait keamanan, keselamatan, dan kenyaman seharusnya menjadi prioritas penumpang. Akan tetapi jika ‘cap’ atau ‘tanda’ berbahaya sudah melekat dalam transportasi ini, diperlukan beberapa perubahan, terkhusus jika perempuan yang menjadi target kejahatan akan statusnya.
Kedua kondisi ini, praktis menyebabkan berkurangnya penaik angkutan umum, sehingga angkutan umum pun berkurang.
Sebaliknya, jika kedua ini terjamin, maka masyarakat umum sudah bisa dipastikan akan memilihnya –walaupun perlu ada beberapa tambahan atau pengembangan teknologi yang mempemudah mengakses transportasi umum.
Belajar dari Jakarta
Tidak ada perubahan yang signifikan (berdampak) terkait transportasi publik di Kota Bekasi. Kondisi nya berbeda dengan Ibu Kota DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta, yang pada tahun 2021 mendapat Sustainable Transport Award (STA) yang diselenggarakan –sekaligus mensponsori- oleh Institute for Transportation & Development Policy (ITDP).
STA dinilai oleh komite juri yang terdiri dari ITDP sendiri, World Bank, International Council for Local Environment Initiatives (ICLEI), Clean Air Asia, dan World Resources Institute (WRI) Ross Center for Sustainable Cities. Sedangkan penyelenggara lainnya seperti Asian Development Bank (ADB), Amend, Despacio, Bus Rapid Transit (BRT) Centre of Excellence, GIZ, dan CAF.
Indikator nya ialah memiliki solusi transportasi yang ditunjukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan perbaikan kualitas kehidupan urban masyarakat perkotaan.
Pertama, mengintegrasikan semua moda transportasi –baik secara fisik maupun pembayaran. Kedua, melakukan penataan terminal atau stasiun atau pangkalan –tempat berkumpul atau transit transportasi publik- serta menambah infrastruktur fisik untuk pejalan kaki.
Ketiga, melakukan pembatasan kendaraan bermotor dengan mengubah parkiran menjadi area usaha ekonomi kreatif. Keempat, yang menjadi rencana selanjutnya ialah menaikkan tarif parkir di pusat kota serta menerapkan sistem ERP (electronic road pricing) atau jalan berbayar di jalan-jalan utama.
***
Ada beberapa hal yang menjadi titik pembelajaran dari DKI.
Pembelajaran pertama, adanya political will atau kemauan politik dari pemerintahan daerah untuk mengatasi kemacetan, bukan dengan hanya memperlebar jalan atau mengedukasi pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, akan tetapi dengan menyediakan sistem transportasi publik yang efisien, murah, nyaman, dan aman.
Pembelajaran kedua, adanya kesinambungan pengembangan transportasi publik dari masa ke masa. Setiap periode menghasilkan satu optimalisasi moda transportasi publik. Pertama, yaitu BRT (Bus Rapid Transit) atau yang dikenal dengan Transjakarta yang diinisiasi oleh Sutiyoso dimulai tahun 2004.
Kedua, yaitu Commuter Line atau biasa dikena dengan KRL (Kereta Rel Listrik) yang dikelola oleh PT. Kereta Api Indonesia, yang dimulai dari tahun 2008 di Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tanggerang-Bekasi).
Ketiga, yaitu MRT –Mass Rapid Transit atau Moda Raya Terpadu dalam bahasa Indonesia- diinisiasi oleh Habibie sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tahun 1985.
Pembangunan dimulai ketika era Fauzi Bowo di tahun 2008 -saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi proyek nasional tahun 2005- dengan penempatan batu pertama di era Joko Widodo ditahun 2013 dan selesai tahap pertama yang di uji coba ketika era Anies Baswedan tahun 2019.
Keempat, Mirkotrans, semacam angkot akan tetapi lebih baik dari sisi fasilitas. Seperti fasilitas pendingin udara, informasi rute, serta fasilitas keamanan seperti kamera pengawas, pemecah kaca, alarm tanda bahaya, dan sabuk pengaman.
Mikrotrans ditunjukan untuk menghubungkan transportasi publik lainnya, seperti Transjakarta dan KRL. Mikrotrans, diinisiasi di era Anies Baswedan.
Kelima, Angkot –sebutan pendek dari Angkutan Umum- yang diperbaharui kedalam sistem digital –didalamnya integrasi rute, manajemen, hingga pembayaran- menjadi JakLingko –termasuk didalamnya Mikrotrans, Transjakarta, KRL. JakLingko diinisiasi di tahun 2020 di era Anies Baswedan.
Pra-syarat adanya kesinambungan di antara kelima moda transportasi yang sudah berjalan ialah tidak pernah puas berinovasi untuk menyelesaikan masalah yang ada. Mendobrak yang sudah ada di era sebelumnya –mendobrak bukan berarti menghapus akan tetapi melengkapi dan memperbaiki yang kurang.
Pembelajaran ketiga ialah, keterbukaan akan masukan. Dibuktikan dengan kerjasama dengan pihak ‘luar’ yang disebut dengan think tank atau lembaga pemikir sebagai konsultan atau pemberi masukan dalam memikirkan, membentuk, menjalankan, hingga mengevaluasi kebijakan publik, dalam hal ini berkaitan dengan transportasi publik.
Tentu untuk mencegah adanya konflik kepentingan lembaga konsultan dan agar optimal tugasnya –masukan dan proyek- nantinya, pengadaan jasa konsultan untuk proyek transportasi publik memerlukan keterbukaan dan transparansi.
Pembelajaraan keempat ialah, adaptasi di era-digital. Dengan memanfaatkan sistem pembayaran satu pintu sekaligus satu kartu, sehingga memudahkan transaksi transportasi publik –tentu harus ada campur tangan bahkan dikelola oleh pemerintah daerah sebagai pemilik wewenang.
Kota Bekasi, saat ini, praktis belum seperti DKI Jakarta. Memang, anggaran Ibu Kota Indonesia lebih besar, dibandingkan dengan kota kecil, yang fungsi nya sebagai penyanggah –sekaligus bukan ibukota provinsi.
Akan tetapi jika Kota Bekasi tidak memanfaatkan yang ada, sekaligus mengikuti perkembangan yang ada, apalagi manfaat dan perkembangan di depan mata –melihat Kota Jakarta-, sungguh tidak elok.
Catatan untuk Jakarta
Namun, ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk DKI Jakarta. Seperti yang diulas dalam artikel Dilema Naik Transportasi Umum di Ibu Kota (2021) oleh Kompas.com, catatan tersebut di antaranya.
Catatan pertama, membangun transportasi publik, ialah membangun dengan cara pandang pejalan kaki. Dikarenakan target pengguna transportasi publik, bukan pengguna kendaraan pribadi yang bermotor. Konsekuensi nya ialah prioritas utama dari pejalan kaki dibandingkan dengan pengguna kendaraan bermotor.
Misalnya, ketika dibangunnya pagar pembatas stasiun KRL pada pintu masuk atau keluar, yang nantinya diarahkan menuju Jembantan Penyebrangan Orang (JPO). Hal tersebut dikeluhkan oleh para pengguna transportasi publik –tidak efisien dan lelah, khususnya yang berkebutuhan khusus, seperti ibu hamil, lansia, atau anak-anak.
Kedua, perbandingan waktu dan biaya ketika menggunakan kendaraan pribadi dan transportasi publik. Estimasi keduanya perlu diperhitungkan, untuk memutuskan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi publik.
Mulai dari biaya yang dikeluarkan bensin dan biaya yang digunakan untuk tiket transportasi publik. Lalu penghitungan waktu antara kendaraan pribadi dan transportasi publik, mulai dari keluar rumah hingga tempat tujuan.
Selain itu di tahun 2021 –di tahun yang sama dengan penghargaan STA. Terdapat 508 kecelakaan Transjakarta, dengan 43 kasus perbulannya. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Komisi Kelaikan dan Keselamatan Dewan Transportasi Kota Jakarta, Prayudi.
Menurut Pengamat Transportasi Djoko Setijawarno -dalam Artikel HarianKompas berujudul Sopir Transjakarta, Satu Kemudi Beda Nasib (2021)– mengatakan kecelakaan terjadi karena imbas buruknya manajemen Transjakarta. Kedepan, menurut Djoko, seperti PT. KAI, Transjakarta harus membentuk dan memiliki Divisi Keselamatan.
Catatan lainnya datang dari Ade Armando yang ditulis dalam kolom nya di Tagar.Id berjudul Daftar Kejanggalan Anies Pahlawan Transportasi Dunia (2021), berkaitan dengan hubungan antara STA dan penyelenggara nya yaitu ITDP, yang dicurigai menguntungkan DKI Jakarta sebagai pemenang di karenakan kerjasama yang dilakukan sebelumnya oleh Pemerintahan Provinsi DKI, dan beberapa isu kolusi –konflik kepentingan- lainnya, seperti pengangkatan Eks-Direktur ITDP yaitu Yoga Adiwinarto menjadi Direktur Teknik dan Fasilitas Transjakarta.
Tercatat ITDP, juga turut menginisiasi adanya Transjakarta di era Sutiyoso. Dalam Artikel BisnisNews.id berjudul Salut, Penumpang Transjakarta Tembus 1 Juta Orang Sehari (2020), Darmaningtyas, yang juga sebagai Eks-Direktur ITDP, mengatakan telah mendukung, mengawal, dan memantau sejak direncanakan ketika era Sutiyoso hingga era Fauzi Bowo. Meski ketika itu, proyek Transjakarta disorot tajam karena dugaan praktik korupsi.
Tidak Layak Transportasi Publik
Melacak sepak terjang transportasi publik Kota Bekasi, cukup berkembang. Di tahun 2019, Pemerintah Kota Bekasi melalui Wali Kota nya saat itu, Rahmat Effendi, bekerjasama dengan start-up (perusahaan rintisan) teknologi bernama TRON-Transportasi Online Indonesia berbasis app untuk memudahkan pembayaran pada angkot di kota Bekasi dan mencegah ngetem.
Akan tetapi di tahun 2022, angkot yang bekerjasama di Kota Bekasi tidak cukup signifikan. Dan justru berpotensi membuat kemacetan, karena sistem ‘pemesanan pribadi’ angkot tersebut. Bukan sistem yang terjadwal.
Sedangkan Transpatriot yang diresmikan tahun 2017 akhir, menurut Rahmat Effendi dalam Radar Bekasi dengan artikel Dorong Peremajaan Angkot (2021), operasional bus tidak berjalan dengan lancar.
Sebabnya, dikarenakan subsidi yang memberatkan –dalam kata lain rugi cukup besar. Di lain sisi keinginan untuk mengembangkan angkot yang ada, dipinggirkan karena dana prioritas Transpatriot tadi cukup besar.
Untuk mengkonfirmasi kembali kebenaran tersebut. Jurnalis Kebijakan.co.id telah menghubungi melalui surat elektronik resmi Dinas Perhubungan Kota Bekasi dan mengirim nya langsung, namun belum kunjung mendapatkan balasan.
***
Tentu jika melihat DKI Jakarta, terdapat 4 langkah yang tidak di lakukan oleh Pemerintah Kota Bekasi.
Pertama, berani merugi di awal demi warga dan keberlanjutan kota. Joko Widodo dalam artikel Sejarah MRT Jakarta (2019) oleh Kumparan, mengenang ketika detik-detik penentuan proyek nasional MRT.
Joko Widodo menjelaskan keputusan membangun MRT murni keputusan politik, alih-alih mencari keputusan melalui untung-rugi secara investasi, “Transportasi massal itu, rugi!”. Sebab, pembangunan MRT semata-mata ditunjukan untuk Jakarta menjadi kota yang lebih baik.
Kedua, ialah tidak melibatkan ahli atau konsultan yang memang fokus pada transportasi publik. Tidak harus ITDP, lembaga lainnya tidak mengapa, setidaknya melibatkan universitas, sebagai lembaga objektif.
Fungsi dari lembaga konsultan ialah memberikan masukan secara objektif dan pertimbangan langkah-langkah kebijakan yang matang dan terukur.
Ketiga, ialah melakukan integrasi angkutan publik kedalam Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sehingga dapat mengoptimalkan operasional dan model bisnisnya, mulai dari sumber daya manusia (SDM), pembayaran digital, perawatan, hingga mengintegrasikan moda transportasi yang ada.
Keempat, usaha mempersempit penggunaan kendaraan pribadi dan membangun infrastruktur untuk pejalan kaki. Di Jakarta, dahulu dikenal 3 in 1, mewajibkan satu mobil terdapat tiga orang dalam jalan-jalan utama, akan tetapi kebijakan tersebut dicabut karena banyak kecurangan terjadi di lapangan.
Di lanjutkan inovasi kebijakan terbaru yaitu Ganjil-Genap saat diterapkan dalam Asian Games tahun 2018, lalu kebijakan tersebut dinilai efektif mengatasi macet. Selain itu, juga membangun pedestrian –tempat berjalan kaki-, JPO, dan jalur sepeda di sepanjang jalan utama.
***
Di artikel yang sama dengan dengan Rahmat Effendi, Harun Al Rasyid selaku Ketua Dewan Transportasi Kota Bekasi, juga mengatakan hal serupa. Pertama, Transpatriot dapat bernilai ekonomis jika armada tersedia dan menyediakan layanan rute dalam jumlah banyak.
Kedua, angkot sebaiknya dikelola oleh badan usaha guna mengefesiensi biaya dan memang merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan transportasi publik yang layak.
Ketiga, menyarankan hal yang dapat dilakukan untuk menarik lebih banyak masyarakat menggunakan transportasi umum, misal, menaikkan tarif parkir kendaraan pribadi dan mengutamakan infrastruktur jalan untuk kendaraan umum serta pejalan kaki.
Kebijakan transportasi massal di Surakarta tidak lepas dari usulan berbagai elemen masyarakat. Baik yang dilakukan secara formal, melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) di lapisan-lapisan masyarakat atau secara informal, melalui berbagai forum masyarakat.
Usulan tersebut berangkat dari pandangan masyarakat bahwa kebijakan transportasi publik pemerintah daerah Surakata belum mencukupi –belum layak-, sehingga masyarakat masih kesulitan untuk mengakses transportasi publik yang murah dan aman.
Dalam hal ini, cara masyarakat surakarta berpartisipasi setidak nya ada 3 cara.
Pertama, melalui Musrenbang. Kedua, melalui public hearing atau mendengar suara publik melalui komunitas atau media massa. Baik itu diinisiasi oleh pemerintah lokal ataupun masyarakat sendiri. Ketiga, melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Namun menurut Priyatno, partisipasi masyarakat belumlah cukup, harus dilengkapi dengan arah lainnya –berarti dua arah-, yaitu dibutuhkannya pemerintah yang terbuka, mau mendengar, dan mampu menindaklanjuti ide atau aspirasi dari masyarakat.
Di Surakarta sendiri transportasi publik ditunjukan untuk masyarakat menengah ke bawah, yang tidak mendapatkan aksesibilitas transportasi yang baik. Akan tetapi, transportasi publik merupakan investasi besar dan jangka panjang, kebijakan ini kedepan juga harus mengjakau semua kalangan di Surakarta.
Adi Fauzanto-27 April 2022 (13.48 WIB)-#65 Paragraf
5 April 2022, hujan mengguyur Kota Bekasi. Durasinya tidak lama, tepatnya dari siang menuju sore hari. Akan tetapi hujannya cukup deras. Parahnya, hampir seluruh Kota Bekasi terdampak banjir –memang sudah dari dahulu seperti ini. Seakan, hujan membuktikan buruknya tata kota di Bekasi, salah satunya. Lainnya, kemacetan dan panas, juga seakan membuktikannya. Dari peristiwa ini, Kebijakan.co.id hadir.
***
Bekasi, Kebijakan.co.id — Melihat kondisi jalan yang sudah dibahas dalam artikel sebelumnya dalam serial liputan ini, Jalan Raya Wibawa Mukti –terdapat beberapa rumah dewan.
Kondisi jalan tersebut hanya terdapat satu jalur mobil –dua jika dua arah-, di tambah beberapa cabang pertemuan jalan yang menyebabkan tersendat, di antara cabang tersebut terdapat kantung perumahan yang banyak, serta gudang-gudang industri yang banyak di simpangi truk besar dan jalan tersebut melintasi banyak sekolah –baik dari TK, SD, SMP, SMA, hingga Pendidikan Tinggi.
Terlebih ketika pandemi sedang mengganas di bulan Juni dan Juli tahun 2021, Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sirojul Munir khusus untuk jenazah terinfeksi virus Covid-19 –melewati Jalan Raya Wibawa Mukti. Seringkali harus berhadapan dengan padatnya kendaraan di Komsen –walau sedang pandemi karena akses keluar masuk banyak perumahan.
Ditambah jalan ini merupakan jalan alternatif, dari arah cibubur menuju TOL dalam Kota dan Cikampek serta Terminal Bus dalam Kota juga antar Kota-Provinsi, dan juga tedapat terminal kecil angkutan umum Kota Bekasi.
Di sisi luar Komsen –bukan mengarah ke Jalan Raya Wibawa Mukti- merupakan lalu-lalang Truk Sampah (Jakarta-Bekasi) menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gerbang.
Lokasi tersebut (Komsen) juga merupakan tempat nongkrong, didukung dengan restoran waralaba terkenal dari Amerika, mulai dari ayam –seperti KFC dan MCD -, donat dan kue –Domino, Dunkin Donnuts, dan Holland Bakery-, hingga kopi –Starcbuck-, serta restoran waralaba lokal besar lainnya mengikuti –seperti J.CO dan Bread Talk.
Tak jarang, meski bukan jam-jam sibuk –seperti jam 7 pagi atau 5 sore. Jalan Raya Wibawa Mukti -dan Komsen tentunya- memiliki kepadatan yang merayap. Jika kondisi jam sibuk, kendaraan pribadi pun terkadang tidak bergerak.
Alhasil, beberapa kendaraan mobil atau motor harus melintasi jalan tikus –di samping Jalan Raya Wibawa Mukti- yang muat hanya satu mobil untuk dua arah.
“Ya, memang ini jalan tembus Komsen,” menurut salah satu pemilik toko klontong di jalan tersebut. “Macet nya kalau jam 6, ya, jam pulang kerja,” tambahnya ketika ditanya apakah daerah tersebut macet.
“Sebenernya tidak apa-apa, malah jadi rame (jalannya), paling-paling kalau papasan –ketika dua mobil bertemu dua arah- jadi macet,” tutupnya sambil tersenyum.
Seperti itu, gambaran sederhana dari Jalan Raya Wibawa Mukti. Gambaran sederhana lainnya, ialah ketika satu waktu perjalanan melewati banyak perumahan di Kota Bekasi -salah satunya Komplek Asabri yang juga berada di Jalan Raya Wibawa Mukti-, seringkali tertulis di depan pintu masuk atau pos satpam perumahan tersebut.
Jika masyarakat sudah memiliki kesadaran –bahkan dijadikan prinsip lalu dilaksanakan. Seharusnya pemerintah -di skala manapun- memiliki kesadaran atau prinsip seperti hal tersebut. “Persiapkan dulu segalanya,” jika bisa ditulis dalam setiap gedung pemerintahan.
Adi/Kebijakan.co.id/Siapkan Garasinya Dulu
Terlebih dalam dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031, menunjukan bahwa Jalan Raya Wibawa Mukti direncanakan menjadi kawasan perdagangan –sepadan dengan Jalan Raya Jatiwaringin yang dilebarkan menjadi 2 jalur dalam satu arah, walau tetap macet juga.
Begitu juga dalam dokumen RDTR Kota Bekasi tahun Kota Bekasi 2015-2035, Jalan Raya Wibawa Mukti menjadi kawasan atau zona perdagangan dan jasa skala kecamatan.
Untuk membuktikan keseriusan mewujudkan Jalan Raya Wibawa Mukti, kawasan perdagangan. Jurnalis Kebijakan.co.id, mengecek tender –penawaran terbuka untuk publik-pengadaan barang dan jasa –proyek atau konsultan- Kota Bekasi yang berkaitan dengan Jalan Raya Wibawa Mukti sejak tahun 2010.
Di tahun 2015, terdapat 3 proyek. Pertama, rehabilitasi –mengembalikan fungsi- saluran berjumlah satu (proyek); peningkatan jalan berjumlah satu; pengadaan jasa konsultan berjumlah satu. Di tahun 2016, terdapat 7 proyek. Pertama, rehabilitasi jalan berjumlah satu; rehabilitasi saluran berjumlah dua; pemasangan pipa berjumlah tiga; pengecatan berjumlah satu.
Terakhir di tahun 2019. Pertama rehabilitasi jalan berjumlah satu; peningkatan saluran berjumlah satu; pembangunan pagar berjumlah satu.
Dari data tersebut, praktis hanya di tahun 2015 terdapat proyek peningkatan jalan Raya Wibawa Mukti. Akan tetapi proyek tersebut, tepat berada di bundaran Komsen –tepat keluar masuk TOL dalam kota, awal mula kemacetan panjang dimulai.
Proyek tersebut memang menghasilkan dua jalur, tetapi itu juga tidak bisa terhindar dari kemacetan, utamanya sore hari. Karena setelah bundaran tersebut, jalan kembali menjadi satu jalur.
Belum ada proyek signifikan untuk mengatasi macet yang ada. Hanya ada rehabitasi jalan -4 kali dilakukan. Itu pun cepat rusak kembali, karena yang melintas di Jalan Raya Wibawa Mukti, seringkali truk dengan muatan besar.
Data lainnya dari non-tender –penunjukan langsung dari pemerintah atau yang berwenang- berkaitan dengan Jalan Raya Wibawa Mukti.
Terdapat 10 proyek non-tender. Di tahun 2019, terdapat 6 proyek. Pertama, peningkatan saluran berjumlah satu (proyek); Kedua, jasa konsultasi berjumlah tiga –satu berbentuk supervisi atau pengawasan; Ketiga, penataan dan pemeliharaan taman berjumlah satu; Keempat; perbaikan jalan berjumlah satu.
Di tahun 2020 sendiri, terdapat 4 proyek. Pertama, jasa konsultasi berjumlah satu (proyek); Kedua, peningkatan jalan berjumlah satu; Ketiga, pemeliharaan taman berjumlah satu; Keempat, drainase u–ditch berjumlah satu –bisa dikatakan peningkatan saluran.
Dari data non-tender praktis hanya satu proyek yang merupakan peningkatan jalan di Wibawa Mukti –khususnya Jatisari- akan tetapi proyek detail nya tidak jelas, dan tidak dapat diketahui hasilnya.
Selain itu, ada perbaikan jalan di tahun 2019 untuk kelurahan Jatirangga pada Jalan Raya Wibawa Mukti. Di mana perbaikan tersebut berada di ujung jalan Wibawa Mukti yang bukan merupakan daerah macet.
Untuk mengkonfirmasi kebenaran dokumen tersebut, beserta isinya. Jurnalis Kebijakan.co.id telah menghubungi Dinas Tata Ruang Kota Bekasi melalui surat elektronik resmi dan mengirimnya langsung, namun belum kunjung mendapat balasan.
Pembangunan yang Tidak Terintegrasi
Terlihat jelas, ketika rencana pembangunan pusat pertemuan atau titik temu –antara industri, kendaraan umum, jalan tol, kendaraan massa, tempat kuliner rekreasi, sekolah- tanpa membangun jalan raya yang besar dan layak, adalah sebuah kesalahan.
Jalan Raya Wibawa Mukti adalah salah satu contohnya.
Terdapat kisah yang diceritakan oleh A (informan yang tidak ingin diberitahukan identitasnya) yang tinggal di salah satu kantung perumahan di Jalan Raya Wibawa Mukti.
Berlokasi di belakang rumahnya, yang merupakan jalan kecil –hanya cukup satu mobil serta jalannya rusak- akan tetapi terdapat tanah kosong cukup besar. Secara tiba-tiba tanpa sepengetahuannya ingin dibangun satu universitas atau sekolah tinggi kesehatan serta sekolah tingkat kanak-kanak hingga menenangah.
Sebabnya tidak ada pemberitahuan, tanah tersebut berada di luar kompleknya, akan tetapi berada tepat di belakang rumahnya.
Peristiwa seperti ini, bukan berarti menolak pembangunan, akan tetapi pembangunan yang serampangan ditambah kondisi jalan nya tidak mendukung –baik jalan besar atau jalan kecil-, hanya akan menambah masalah.
Secara angka, di Jalan Raya Wibawa Mukti melintasi kurang lebih 21 Sekolah –baik itu sekolah tingkat kanak-kanak hingga tingkat universitas. Angka sekolah tersebut belum dihitung dengan sekolah yang berada di dalam kantung perumahan atau komplek-komplek –hanya yang berada di pinggir jalan yang melihatkan plangnya.
Selain itu, terdapat kantung perumahan besar –yang terdiri lebih dari satu Rukun Warga (RW)- sebanyak 6. Angka tersebut belum termasuk kantung perumahan kecil, seperti kavling-kavling atau klaster–klaster –yang terdiri dari satu Rukun Warga atau bahkan hanya satu Rukun Tetangga- yang sudah semakin menjamur –berada di mana-mana.
Serta kampung-kampung masyarakat yang konon sudah lebih lama tinggal di Jatiasih.
Setelah perumahan terdapat pabrik-pabrik -baik pabrik yang membutuhkan gudang beserta truk besar yang panjangnya memotong seluruh badan jalan ketika keluar masuk atau pabrik yang digunakan sebagai tempat produksi barang yang juga memiliki truk-truk sedang.
Tercatat terdapat 30 pabrik -dan gudang- yang berdiri sepanjang jalan Raya Wibawa Mukti, 3 di antaranya kosong atau sedang dijual gudangya –perhitungan ini masih kasar hanya berdasar kepada pintu keluar masuk pabrik. Ditambah 2 ‘gudang’ perusahaan bus, tempat parkir bus sebelum pergi berkelana.
Tak jarang, truk besar dari gudang tersebut juga membuat rusak Jalan Raya Wibawa Mukti yang memang ditunjukan untuk minibus dan kendaraan roda dua.
Di Tengah Jalan atas Nama Agama
Di tengah kemacetan, tak jarang terdapat satu kotak cukup besar –terkadang terdapat manusia nya- dihiasi serokan untuk ikan atau keranjang, untuk menjaring uang. Kondisi tersebut, dapat dilihat hampir di seluruh jalan penghubung antar kecamatan di depan masjid-masjid besar di Kota Bekasi –tidak hanya di Jalan Raya Wibawa Mukti.
Agenda tersebut bukan hanya mingguan atau terdapat kondisi tertentu –semisal bencana atau perayaan tertentu- akan tetapi berkepanjangan tahunan bahkan lebih. Tujuan nya terkadang, untuk pembangunan masjid. Sialnya, bangunan tersebut tak kunjung selesai.
Hal tersebut, terkadang membuat pengendara dalam bahaya –baik itu pengendara motor, mobil, apalagi truk besar. Tak jarang manusia yang mendapatkan giliran –bagian yang minta-minta- beresiko terserempet kendaraan –tidak apa kalau motor yang menyerempet, jika truk yang melakukan, maka akan berbahaya.
Adi/Kebijakan.co.id/Di Tengah Jalan Atas Nama Agama
Klaster yang Berantakan
Di antara kantong perumahan yang padat di percabangan Jalan Raya Wibawa Mukti, terdapat kondisi lebih jelas bagaimana kondisi kantung perumahan itu. Tepatnya, di salah satu menuju –atau setelah- Komplek Asabri, terdapat klaster yang selesai dibangun tahun 2021 di atas perbatasan perumahan Asabri dan lahan kosong di sebelahnya. Fazza 2 nama klasternya.
Permasalahannya ialah perbatasan tersebut berada lebih tinggi dari perumahan Asabri, dan tempatnya pun masuk melalui jalan kecil –yang dipaksakan untuk dilalui mobil.
Sebelum di bangun klaster, area tersebut merupakan kebun. Dan jalan kecil tersebut, biasanya digunakan untuk memotong jalan menuju Komplek Asabri.
Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan besar? Apakah semua lahan tersisa dengan jalur masuk yang sempit masih bisa dibangun sebuah kantung perumahan –terlebih kondisi medan yang berdekatan dengan medan lebih rendah.
Kondisi tersebut, pernah dialami salah satu informan -yang tidak ingin disebutkan namanya-, RA. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Jalan Raya Wibawa Mukti. Tetapi terdapat juga di Jalan Raya Ratna –menuju Caman dan Jatibening.
Di mana pengembang mengakali untuk membeli satu rumah untuk menjadikannya pintu masuk, menuju lahan kosong untuk dibangun kantung perumahan atau klaster. Sederhananya, ada komplek di dalam komplek, di mana pintu masuk nya merupakan rumah di dalam komplek tersebut.
“Warga di sini sebenarnya menolak, tetapi mau gimana lagi, yang punya rumah ngejual untuk dibangun sebagai pintu masuk.” tutup RA.
Jika cara seperti ini terus terjadi. Ruang terbuka di Kota Bekasi semakin terancam. Atau jika sudah menjadi kebijakan dari pemerintahan daerah, akan tetapi segala persiapan yang mendukungnya tidak dibangun –misal seperti jalan raya yang masih sempit, akses yang sempit, selokan yang tidak disiapkan, ruang terbuka hijau untuk resapan, air tanah yang tidak diperkirakan jumlahnya, dsb- maka hanya akan menambah permasalahan.
Bertanya Rencana Pembangunan
Ada banyak yang seperti Jalan Raya Wibawa Mukti. Misal, Jalan Raya Pekayon yang melintasi pertigaan lurusan Komsen menuju pertigaan Jalan Raya Cut Mutia –jalan utama Kota Bekasi-, yang selalu macet.
Sebab melewati beberapa pusat keramaian seperti Pasar Jatiasih, Komplek Besar Galaxy, Kemang Pratama, dan beberapa swalayan besar, akan tetapi jalannya hanya dapat dilalui satu mobil dalam satu jalur.
Membangun daerah yang padat tanpa mempertimbangkan akses jalannya. Jika kondisi pembangunan tidak teratur tersebut, terjadi begitu saja, maka penyelesaiian adalah perencanaan kebijakan yang matang.
Jika kondisi tersebut sudah disusun dan disengaja pembangunannya tanpa melihat kondisi di sekitar atau mendata titik-titik daerah mana yang terhubung ke daerah pertemuan tersebut, adalah sebuah kesalahan.
Kondisi tersebut harus disadari masyarakat. Mau tidak mau, jika tidak, kondisi kedepan mungkin akan lebih parah.
Dalam satu kasus, banjir misalnya, dikarenakan kantung pemukiman yang padat sehingga mengikis daerah resapan atau ruang terbuka hijau.
Atau dalam keadaan darurat –ketika ada yang dilarikan ke UGD- lalu terjadi kondisi jalan yang tidak memungkinkan atau macet.
Kondisi tersebut pernah dialami beberapa tahun silam tahun 2012-an di Komplek Puri Gading –yang merupakan jalan pintas sekaligus titik pertemuan masyarakat sehingga dijadikan pasar dadakan setiap hari minggunya-, ketika ambulan ingin menjemput lalu mengantarkan pasien yang membutuhkan pertolongan cepat terhambat, hingga tidak dapat tertolong.
Menurut Dahlan, salah satu penjaga di komplek Puri Gading, “jadi itu gatau warga mana, tapi memang ada ambulan waktu itu lewat sini, kebetulan disini kondisinya rame (PKL dan pasar tumpah pinggir jalan). Karena kondisinya gawat, akhirnya dia meninggal di jalan.”
Atau kondisi ketika kebakaran terjadi –baik rumah atau tempat usaha- di mana akses pemadam untuk melakukan tindakan harus cepat dan tepat.
Tentu, jika kondisi seperti ini sudah dipikirkan secara matang, akan memudahkan pemerintah dalam melayani masyarakat. Atau setidaknya tidak menyusahkan masyarakat.
Partisipasi Membangun Kota
Terintegrasi atau keterhubungan adalah kata kuncinya. Pembangunan pusat keramaian atau titik pertemuan, harus melihat kondisi di sekitar, apakah sudah mampu menampung keramaian atau sudah mampu menampung pertemuan dari titik yang berada di sekitaran daerah tersebut.
Jika tidak, hanya akan menambah masalah. Tentu, banyak yang di korbankan. Pertama, masyarakat itu sendiri; Kedua, pelaku industri; Ketiga, petugas –Polisi, Dinas Perhubungan, atau Petugas Rumah Sakit- di lapangan; Keempat, kondisi lingkungan.
Diperlukan integrasi baik secara infrastruktur bangunan fisik atau integrasi pihak-pihak yang mendiami daerah tersebut.
Dalam buku Mewariskan Kota Layak Huni (2017) karya Nirwono Joga, telah dilakukan survei secara nasional pada tahun 2016, salah satunya topiknya ialah gambaran kota di masa depan.
Dari keempat gambaran kondisi perkotaan menurut responden, salah satu di antaranya ialah transportasi dan kemacetan. Responden mengharapkan kota di masa depan ialah kota di mana kondisi nya tidak menimbulkan kemacetan.
Dan cara mewujudkannya menurut responden survei tersebut ialah, pelibatan seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan kota –baik struktur secara vertikal maupun horizontal, mulai dari pemerintah hingga masyarakat tingkat bawah.
Selanjutnya, ialah diperlukan solusi teknis atau praktis dalam perencanaan dan pembangunan kota sekaligus juga manajemen lingkungan hidup di perkotaan.
Survei tersebut setidaknya membuktikan keinginan masyarakat, bahwa kepedulian akan kotanya masih ada dalam membangun gambaran kota di masa yang akan datang.
Seperti yang dikatakan oleh Gunawan Tjahjono -seorang guru besar arsitek Universitas Indonesia- dalam buku Membangun Peradaban Kota (2018) karya Nirwono Joga dan Nirawana, “Kota menentukan peradaban. Warga kota menentukan wajah kota. Membangun warga kota, maka peradaban terbangun.”
Diterbitkan: 27 April 2022
Pukul: 13.48 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Nirwono Joga. 2017. Mewariskan Kota Layak Huni. Penerbit Gramedia: Jakarta
• Nirwono Joga. 2018. Membangun Peradaban Kota. Penerbit Gramedia: Jakarta
• Laporan Pengadaan Secara Elektronik Kota Bekasi
• Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 5 Tahun 2016 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Bekasi 2015-2035
• Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bekasi
• Dokumen Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Tahun 2017 tentang Revisi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Bekasi tahun 2011-2031
• Google Maps
• Google Earth
Adi Fauzanto-27 April 2022 (13.19 WIB)-#97 Paragraf
5 April 2022, hujan mengguyur Kota Bekasi. Durasinya tidak lama, tepatnya dari siang menuju sore hari. Akan tetapi hujannya cukup deras. Parahnya, hampir seluruh Kota Bekasi terdampak banjir –memang sudah dari dahulu seperti ini. Seakan, hujan membuktikan buruknya tata kota di Bekasi, salah satunya. Lainnya, kemacetan dan panas, juga seakan membuktikannya. Dari peristiwa ini, Kebijakan.co.id hadir.
***
Bekasi, Kebijakan.co.id — Mengenderai kuda besi di Jalan Raya Kodau menuju Jalan Raya Jatikramat mengarah Pondok Gede, perlu berhati-hati, apalagi jika memakai pakaian serba putih –sekiranya memakai pakaian coklat ala ASN (Aparatur Sipil Negara) mungkin tidak terlalu mengapa.
Sebabnya, jalan tersebut tergenang atau becek di sekitaran tersebut. Baik kondisi terik matahari dan sudah tentu ketika hujan –disertai dengan banjir.
Jika melihat kolam atau aquarium ikan yang tidak dikuras, maka kondisinya akan berlumut, karena terendam air secara terus-menerus tanpa dibersihkan. Kondisi tersebut sama dengan jalan tadi. Warnanya sudah menghijau, ntah sudah berapa lama air menggenang di sana (dibaca: kronis atau kondisi sakit menahun).
Becek abadi, itulah kata yang tepat. Terlebih selokan air di sekitar tidak berfungsi (kondisi: becek satu).
Kondisi nya tidak jauh berbeda dengan di tikungan arah Jalan Raya Kodau menuju Jalan Raya Jatikramat –tidak jauh dari becek abadi yang dibahas sebelumnya.
Beberapa waktu, ketika air limpahan selokan yang tidak tertampung, menjalar menuju badan jalan –baik itu kondisi terik ataupun lainnya. Pengendara –khususnya kuda besi– harus menengah untuk menghindari genangan tersebut (kondisi: becek dua).
Ridzwan (24), seorang mahasiswa pascasarjana yang juga memiliki hobi bermotor bertempat tinggal di Caman, merasa risih ketika melewati jalan tersebut.
Pertama, dikarenakan cipratanbecek tersebut yang mengarah ke badan diri sendiri atau motor yang berada di sekitarnya. Kedua, air yang menggenang tersebut kotor dan bau. Akan Tetapi mau bagaimana lagi, jalan tersebut merupakan jalan utama, “Itukan termasuk jalan utama, penyambung Jatiasih-Pondok Gede.”
Selain itu, terdapat NR (salah satu informan yang tidak ingin disebutkan namanya), yang setiap harinya mengendarai motor untuk berangkat menuju kantornya, menjelaskan kekesalannya, “tidak ada hujan, tetapi basah terus.” Terlebih harus melewati banjir yang cukup tinggi di sepanjang Jalan Raya Kodau, ketika hujan.
Ironinya, kedua becek tersebut tidak jauh dari salah satu rumah petinggi atau DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), yang 2019 lalu mencalonkan diri pada DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Provinsi Jawa Barat daerah pemilihan 8 Kota Bekasi dan Kota Depok sekaligus tim pemenangan Prabowo-Sandi, Athea Sarastiani.
Dalam DPP Partai tersebut, menjabat sebagai Kepala Departemen Promosi dan Pemasaran Wisata –di bawah Wakil Ketua Edhy Prabowo (50), yang merupakan eks-menteri kelautan dan perikanan, terdakwa kasus korupsi benih lobster tahun 2020.
Kembali, bahkan genangan yang kedua berada tepat di depan rumah tersebut, posisinya tepat berada dalam posisi tusuk sate di antara pertigaan Jalan Raya Kodau dan Jalan Raya Jatikramat.
Untuk mengkonfirmasi ironi becek di sekitaran rumah Athea Sarastiani, redaksi Kebijakan.co.id sudah menghubungi melalui facebook dan instagram pribadi –media sosial yang aktif digunakan- dan surat resmi. Namun belum kunjung mendapat balasan –tentu juga tanggapan.
Untuk mencari dan mengkonfirmasi kebenaran –setidaknya benar rumah Athea berada di daerah tersebut. Jurnalis Kebijakan.co.id mendapatkan informasi dari mantan tim pemenangan Prabowo-Sandi, yang juga satu tim dengan Athea Sarastiani.
Becek yang Berbeda
Menelurusi rumah anggota dewan yang jurnalis Kebijakan.co.id melewati sepanjang jalan dari Jatiasih hingga menuju Jatiwaringin –melalui jalan pintas. Dapat terlihat pola yang sama, tetapi dengan kondisi becek yang berbeda.
Misalnya di jalan menuju Puri Gading dari Jalan Raya pintas Wibawa Mukti, terdapat kerusakan jalan yang sudah kronis –menahun- tentu dengan air tergenang -di beberapa waktu.
Berada tepat sebelum –dan juga di depan- rumah Anggota Dewan DPRD Provinsi Jawa Barat dari Partai Gerindra, Syahrir (50) –terpilih di daerah pemilihan 9 Kabupaten Bekasi.
Jalan tersebut, akhir-akhir ini diperbaiki, tetapi hanya sebatas penyemenan, itu pun tidak solid –kokoh dan utuh- berpotensi untuk rusak kembali.
Untuk mencari dan mengkonfirmasi kebenaran rumah tersebut, benar merupakan rumah Syahrir. Jurnalis Kebijakan.co.id mencocokan data laman DPRD Provinsi Jawa Barat dengan mengkonfirmasi kebenaran tersebut melalui bengkel kendaraan bermotor di sekitar rumah tersebut.
***
Selain itu, di jalan tembusan menuju Antilope Jatiwaringin, tepatnya di Jalan Angkatan Laut (AL) –menuju komplek AL. Terdapat salah satu rumah dewan, tepat di antara dua kelokan kanan-kiri -jika masuk melalui Jalan Raya Jatikramat lalu belok di Masjid Jami Nurul Huda.
Rumah tersebut, merupakan rumah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) –daerah pemilihan Jawa Barat 6 Kota Bekasi dan Depok-, Mahfudz Abdurrahman (64), yang juga menjabat sebagai Bendahara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS. Jika melihat kondisi sebelumnya, tidak jauh dari rumah dewan terdapat pola nya sama, tetapi kondisi ‘becek’ nya berbeda.
Tidak jauh dari situ –sebelum rumah dewan. Kondisi selokan kanan-kiri sama sekali tidak jalan airnya, menggenang, hitam pekat, penuh dengan endapan kotoran, dan kronis –menahun serta berbahaya untuk kesehatan masyarakat sekitar.
Parahnya daerah tersebut merupakan dataran tinggi menuju komplek AL yang merupakan dataran rendah, sehingga ketika hujan datang, komplek AL sudah bisa dipastikan banjir cukup parah.
Bimo (24) salah satu warga yang tinggal di komplek AL, menjelaskan bahwa kompleknya memang berada di dataran yang lebih rendah. Selain itu, “selokan yang harusnya mengalir ke luar komplek, justru malah ke rumah saya.”
Sebab lainnya, ialah kebiasaan buruk masyarakat di sekitaran daerah tersebut masih banyak membuang sampah di sembarang tempat, khususnya di selokan.
Selain Rumah Mahfudz Abdrrahman, di sekitar selokan mampet tersebut –tepatnya sebelum, jika melaju dari arah Jalan Raya Jatikramat- terdapat rumah yang seringkali menjadi juru bicara PKS di media massa, yaitu Mardani Ali Sera (54). Yang saat ini, Mardani menjadi anggota DPR RI Daerah Pemilihan DKI Jakarta 1 –Jakarta Timur-, sekaligus menjabat sebagai Ketua DPP PKS Bidang Teknologi, Industri, dan Lingkungan Hidup.
Kedua rumah tersebut berdekatan dengan Yayasan Iqro’, yang menjadi basis kultural PKS –selain Yayasan Darul Hikmah di Jalan Raya Wibawa Mukti.
Jika saja dana aspirasi dari kedua Anggota DPR RI digunakan untuk perbaikan selokan –walau seharusnya eksekutif. Katakanlah, dana aspirasi 100 juta –walau kemungkinan atau dipastikan lebih dari angka tersebut- dikalikan 2 orang.
Maka masyarakat disekitar rumahnya, tidak perlu melihat comberan yang mampet di selokan yang kecil. Itu lebih baik. Dari pada masyarakat harus menikmati spanduk-spanduk partai dengan wajah anggota DPR RI. Lalu setelah melihat bawah, terdapat selokan mampet.
Untuk mengkonfirmasi selokan yang macet di sekitaran rumah Mahfudz Abdurrahman dan Mardani Ali Sera, jurnalis Kebijakan.co.id sudah menghubungi melalui instagram pribadi juga melalui surat resmi dan elektronik. Namun tidak kunjung mendapat balasan.
Untuk mencari dan mengkonfirmasi benar rumah kedua anggota DPR tersebut. Jurnalis Kebijakan.co.id mengetahui dari warga sekitar untuk rumah Mahfudz Abdurrahman dan mengetahui melalui laman berita yang ada untuk rumah Mardani Ali Sera, yang diketahui juga warga sering melihatnya di sekitar Jatibening.
***
Selokan macet ini, bukan menjadi isu strategis yang harus diselesaikan pemerintahan Kota Bekasi dalam dokumen Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Revisi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tahun 2011-2031 yang dibuat pada tahun 2017 dan sebelumnya disahkan melalui Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bekasi.
Walaupun bukan isu strategis, ada 4 rencana cara menanggulanginya dalam dokumen tersebut. Kebijakannya yang diambil.
Pertama, membangun, meningkatkan, dan mengembalikan fungsi situ-situ sebagai daerah penampungan air; Kedua, menjaga fungsi lindung dengan ketat sesuai dengan arahan pemanfaatan yang berhubungan dengan tata air;
Ketiga, mengembangkan dan menata sistem jaringan drainase primer, sekunder, dan tersier yang terintegrasi antar bagian wilayah perkotaan di seluruh wilayah Kota Bekasi; Keempat, pembangunan folder sebagai tempat penampung air.
Akan tetapi, dalam dokumen tersebut, tidak jelas apa yang dimaksud dengan drainase primer, sekunder, tersier, dan beberapa istilah lainnya yang tidak dijelaskan –terkesan tidak dipersiapkan dengan matang.
Dalam dokumen tersebut, dijelaskan rencana untuk menjalankan 4 kebijakan di atas, bernama Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Drainase. Pertama, normalisasi kali bekasi; Kedua, penerapan konsep ekodrain –tidak jelas apa yang dimaksud ekodrain dalam dokumen tersebut- dengan mengembalikan fungsi situ (penampung air);
Selanjutnya, ketiga, menata ulang struktur hirarki drainase; Keempat, mengoptimalkan dan merehabilitasi fungsi saluran; Kelima, pembangunan sistem tampungan air di sepanjang saluran air;
Keenam, pembuatan atau peninggian tanggul banjir; Ketujuh, pembuatan sumur resapan di setiap kawasan penduduk; Kedelapan, pengendalian dan penertiban bangunan di sempadan sungai; Kesembilan, mempertahankan fungsi kawasan resapan.
Akan tetapi langkah rencana tersebut, hampir tidak berjalan, dengan melihat keadaan yang terjadi -baik saat ini atau tahun-tahun sebelumnya.
***
Sedangkan dalam dokumen RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Bekasi 2015-2035 yang disahkan melalui Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2016. Memberikan penjelasan rencana untuk selokan (drainase) macet ini.
Pertama, membangun Sistem Drainase Berwawasan Lingkungan (SDBL). Tidak jelas apa yang dimaksud SDBL dalam dokumen itu. Turunan dari SDBL sendiri ialah membangun jaringan primer, dengan drainase tertutup diarahkan ke jalan utama. Jaringan sekunder, dengan drainase tertutup. Jaringan tersier, dengan drainase terbuka pada jalan-jalan lokal.
Kedua, ialah membangun drainase untuk jalan-jalan atau kawasan yang belum memiliki drainase. Ketiga, melakukan pemelirahaan jaringan yang ada, dengan perbaikan saluran yang rusak dan penggalian endapan lumpur atau tanah. Keempat, pembangunan sistem drainase metropolitan –untuk kawasan Kota.
Kali Ini Kemacetan
Ada sebabnya jurnalis Kebijakan.co.id melewati jalan pintas melalui Puri Gading dari Jalan Raya Wibawa Mukti. Sebab jika terus melaju di jalan Raya Wibawa Mukti –baik itu satu atau dua-, kemacetan begitu parah.
Penyebabnya ada banyak, luas jalan yang hanya bisa menampung satu mobil –dua jika berlawanan arah-, banyaknya pengkolan di mana tempat bertemunya keluar masuk kendaraan dari kantung-kantung perumahan warga, terlebih volume kendaraannya yang tinggi –ditambah truk besar yang seliweran karena banyaknya gudang pabrik atau jasa ekspedisi besar di sana.
Hampir 1 dekade, tidak ada penambahan luas jalan. Sedangkan perumahan warga –serta kendaraan pribadinya- dan industri ekspedisi dengan truk besar terus bertambah –yang mengincar dekat dengan pintu jalan Tax on Location (TOL) di Komsen. Ditambah merupakan jalan alternatif, dari Cibubur menuju jalan TOL atau menuju Kota Bekasi.
Bahkan, dalam dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031, menunjukan bahwa Jalan Raya Wibawa Mukti direncanakan menjadi kawasan perdagangan –sepadan dengan Jalan Raya Jatiwaringin yang dilebarkan menjadi 2 jalur dalam satu arah, walau tetap macet.
Dibenarkan juga, dalam dokumen RDTR Kota Bekasi tahun Kota Bekasi 2015-2035, bahwa Jalan Wibawa Mukti, menjadi kawasan perdagangan dan jasa zona kecamatan.
Pun, dalam dokumen RDTR Kota Bekasi tahun Kota Bekasi 2015-2035, Jalan Raya Wibawa Mukti 2, direncanakan ada peningkatan fungsi dan kapasitas jaringan jalan kolektor primer dan kolektor sekunder –lagi-lagi tidak dijelaskan sebelumnya, apa yang dimaksud kolektor primer dan kolektor sekunder.
Jika kita lihat lagi dan peka sedikit dengan Jalan Raya Wibawa Mukti, di antara panjang jalan tersebut –yang memang strategis karena di akhir ada TOL dalam Kota Jakarta atau TOL menuju Cikampek.
Terdapat beberapa rumah dewan, pertama, rumah Anggota Dewan DPRD Provinsi Jawa Barat dari PKS –daerah pemilihan 8 Kota Bekasi dan Kota Depok-, sekaligus juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kota Bekasi PKS, Heri Koswara (51), yang juga merupakan daerah dengan basis kultural partai tersebut di sekitaran Yayasan Perguruan Islam Darul Hikmah -yang lebih dikenal dengan Yapidh.
Untuk mengkonfirmasi berkaitan dengan Jalan Raya Wibawa Mukti yang berada di daerah rumah Heri Koswara, sudah dilakukan dengan menghubungi website pribadi, email sahabat Heri Koswara, dan instagram pribadi beserta surat resminya. Namun tidak kunjung mendapatkan balasan.
Dalam mencari dan mengkonfirmasi kebenaran –setidaknya benar rumah Heri Koswara. Jurnalis Kebijakan.co.id mencocokan data di internet dengan lingkungan sekitar rumahnya berada di lingkungan Yapidh –yang juga Jurnalis Kebijakan.co.id merupakan alumni dari sekolah tersebut.
Selain itu ada Anggota Dewan DPRD Kota Bekasi Partai Amanat Nasional (PAN) –daerah pemilihan 4 Jatiasih dan Jatisampurna-, Aminah.
Terlebih di Jalan Wibawa Mukti, terdapat kelurahan, di mana lurahnya menjadi tangan kanan Eks-Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi (58) –yang juga merupakan ayah dari Ketua DPD Partai Golongan Karya (Golkar), Ade Puspitasari (37)-, yaitu kelurahan Jatisari, lurahnya ialah Mulyadi –di mana keduanya terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) Korupsi tahun 2022 awal dan ditetapkan tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekaligus ditetapkan tersangka pencucian uang dari korupsi tersebut.
***
Masalah kemacetan bukan hanya di Kota Jakarta –sebagai kota utama- yang harus diselesaikan, dalam lingkup objek jalan yang lebih kecil, misalkan Jalan Raya Wibawa Mukti –sebagai salah satu jalan penyangga kota utama-, perlu di perhatikan. Sebab, kemacetan merupakan isu strategis di Kota Bekasi dalam dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031.
Dalam dokumen RDTR Kota Bekasi tahun Kota Bekasi 2015-2035, Pemerintah Kota menjadikan kemacetan isu yang harus diselesaikan dalam jangka menengah –ntah apa yang dimaksud dengan jangka menengah- dan mendorong adanya insentif untuk pemcehan masalah.
Selanjutnya Banjir
Jika pola tersebut hanya jurnalis Kebijakan.co.id lihat ketika berkendara dengan kuda besi dari Jatiasih menuju Jatiwaringin –melalui jalan pintas Puri Gading, Jalan Raya Kodau, lalu Komplek AL. Tetapi apakah hal tersebut sama dengan rumah anggota dewan lain di luar daerah Jatiasih menuju Jatiwaringin.
Di daerah Jatibening, sudah menjadi rahasia umum jika komplek IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) –yang umumnya dikenal sebagai komplek dosen IKIP-, Jatibening menjadi langganan banjir ketika hujan datang –baik hujan kecil atau hujan besar.
Di beberapa waktu, Jatibening 1 dan Jatibening 2 juga merasakan hal serupa, yaitu banjir. “Yang saya tau, daerah di Jatibening memang lokasi daerahnya rendah,” menurut Catovil (24), salah seorang warga di komplek tersebut. Jatibening sendiri, merupakan jalan terusan dari Antilope –yang berhimpitan dengan Komplek AL-, yang sebelumnya juga dibahas mengenai banjir di daerah tersebut.
Ketinggian tersebut, merupakan yang tertinggi diantara 16 daerah lainnya di Kota Bekasi. “Ada beberapa genangan di Kota Bekasi, terutama di Perumahan Dosen IKIP, paling tinggi, hampir satu meter,” menurut keterangan Kepala Seksie Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Kota Bekasi, Idham Kholid.
Dua titik lainnya merupakan daerah yang menjadi pembahasan sebelumnya, Komplek Antilope -atau Komplek AL- dengan ketinggian 50-80 cm dan Jatibening Permai dengan ketinggian 80 cm.
Pun, dalam dokumen dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031, menunjukan dalam peta rawan banjir di Kota Bekasi, Jatibening salah satunya, termasuk Jatikramat –Antilope, Komplek AL, dan Komplek IKIP yang dibahas sebelumnya.
Begitu juga dalam dokumen RDTR Kota Bekasi tahun Kota Bekasi 2015-2035, Kelurahan Jatibening, baik itu baru dan lama. Ditetapkan menjadi kawasan rawan bencana banjir.
Ironisnya, di ujung jalan Jatibening, tepatnya di Perumahan Jatibening Tol –di mana pertemuan antara Caman dan Jatibening, sebelum keluar menuju TOL dalam Kota atau Jalan Raya Kalimalang- terdapat rumah anggota DPR RI, Sukur H Nababan (54) dari Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) daerah pemilihan Jawa Barat VI Kota Bekasi dan Kota Depok.
Sekaligus juga menjadi DPP PDIP, Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi, di bawahi langsung Megawati Soekarnoputri (75) sebagai Ketua Umum DPP PDIP, yang juga menjadi atasan secara struktur Partai Politik dari Joko Widodo (61), Presiden Republik Indonesia dan Plt. Walikota Bekasi –pengganti Rahmat Effendi- Tri Adhianto, yang juga merupakan ketua DPC PDIP Kota Bekasi.
Untuk mengkonfirmasi banjir parah di Jatibening yang merupakan daerah rumah Sukur H Nababan, redaksi Kebijakan.co.id sudah menghubungi melalui instagram pribadi dan mengirim surat resmi. Namun belum kunjung mendapat balasan –tentu juga tanggapan.
Dalam mencari dan mengkonfirmasi kebenaran rumah Sukur H Nababan, kami mencari alamat di laman resmi DPR RI. Lalu mendatangi klaster (kantung perumahan kecil) tepat sebelum pintu TOL di Jatibening.
***
Banjir menjadi momok bagi setiap Kota –yang didalamnya dominan terdiri dari struktur bangunan dan jalan aspal. Dalam dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031, banjir merupakan salah satu isu strategis yang harus diselesaikan di Kota Bekasi.
Menurut dokumen tersebut, penyebab banjir di antaranya terdapat tiga. Pertama, luapan dari sungai akibat debit berlebihan; Kedua, alih fungsi lahan sehingga daerah resapan berkurang; Ketiga, curah hujan yang tinggi dengan kapasistas selokan tidak memadai.
Sederhana, jika terdapat analisa bahwa daerah tersebut rendah dan berpotensi banjir, terlebih kondisi di lapangan berdekatan dengan aliran sungai, atau selokan di daerah yang lebih tinggi tidak layak.
Maka, proyeksi perumahan dalam daerah tersebut, harus dikurangi atau dibatasi. Sehingga, kerugian bisa dikurangi, dari pemerintah sendiri –seperti harus membangun tanggul atau pemulihan berulang-ulang- serta masyarakat itu sendiri –seperti kerugian nyawa, misalnya.
Terutama di daerah dengan kemiringan lereng yang cukup parah. Misalnya, dalam dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031, salah satunya di Jatiasih terdapat kelurahan Jatirasa, Jatimekar, Jatikramat.
Akan tetapi, terbantahkan dengan pesatnya pertumbuhan kantung-kantung perumahan yang tidak teratur, terutama di daerah yang rawan banjir.
Misal, melihat proyeksi pengembangan kawasan perumahan –dalam dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031-, di mana menempatkan daerah rawan banjir ke dalam rencana pengembangan permukiman kepadatan tinggi dan sedang.
Di antaranya daerah yang sudah dibahas sebelumnya, Pondok Gede –di dalamnya terdapat Antilope, Komplek AL, dan sebagian besar Jatibening.
***
Adapun Pemerintah Kota Bekasi –dalam RDTR 2011-2035-, dalam menangani banjir –di semua kawasan Kota Bekasi- memiliki rencana sebagai berikut. Pertama, normalisasi sungai; kedua, pembangunan polder –membendung air atau penampung air-; Ketiga, menerapkan sistem pompanisasi pada perumahan rawan banjir; Keempat, pembuatan sumur resapan;
Kelima, revitalisasi bantaran sungai; Keenam, pengembalian fungsi situ; Ketujuh, penetapan danau sebagai tampungan air; Kedelapan, pembuatan kolam penampung air pada pemukiman rumah; Kesembilan pengendalian dan penertiban bangunan pada Daerah Aliran Sungai (DAS).
Dana Aspirasi, Partai Politik, dan Keterwakilan Wakil Rakyat
Melihat pola yang sama di sekitaran rumah wakil rakyat. Tentu bukan untuk menuduh wakil rakyat tidak bekerja untuk daerah di sekitar rumahnya, kemudian mendelegasikannya kepada pengurus di daerah tersebut.
Begitu juga dengan Partai Politik, terlebih pengurus DPP Partai Politik yang lingkupnya nasional.
Juga tidak menuduh para wakil rakyat kekurangan fungsi organ secara fisik dalam melihat kerusakan yang terjadi, terlebih ketika berangkat menuju Gedung DPR di Senayan, atau Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat di Bandung, atau Gedung DPRD Kota Bekasi. Atau pulang menuju rumahnya masing-masing bertemu keluarga –anak, istri atau suami, orangtua jika masih ada.
Akan tetapi sebuah paradoks, jika melintasi jalur ‘kerusakan’ tersebut sembari melihat spanduk wajah-wajah wakil rakyat atau pengurus DPP Partai Politik beserta jargon atau kata-kata untuk mendukungnya, sedangkan di sisi bersamaan terdapat banjir, macet yang panjang, atau jalan rusak.
Lebih baik jika spanduk warung makan yang menawarkan potongan harga untuk mengunjunginya atau stiker panggilan badut sulap yang lebih nyata dalam menghibur (opini red.).
***
Apalagi melihat bahwa dana aspirasi –yang dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 disebut Dana Program Pembangunan Daerah Pemilihan- turun ke daerah pemilihannya mencapai ratusan juta atau bahkan lebih, sedangkan di sekitar rumahnya seperti yang tadi di jelaskan. Paradoks.
Tentang Dana Aspirasi. Artikel kolom yang ditulis Agus Rewanto berjudul Dana Aspirasi Rawan Dikorup DPR (2015) di Koran Jakarta, menjelaskan Pimpinan DPR mengklaim tujuan utama dana aspirasi untuk memperjuangkan pemerataan distribusi dana pembangunan Jawa dan Luar Jawa.
Menurutnya, sesungguhnya motivasi usulan dana aspirasi sebagai strategi baru korupsi berjamaah sistemik yang dirancang secara khusus oleh semua anggota DPR, yang ditunjukan untuk mengembalikan modal kampanye.
Dan bukan untuk pemerataan, khususnya di luar Jawa. Karena, daerah pemilihan lebih banyak di Jawa-Sumatera.
Menurut Agus juga, secara teori kenegaraan, DPR mencampuradukkan asas dan prinsip legislatif dan eksekutif dalam satu gerbong. Yaitu sama-sama mengelola uang negara.
Seharusnya DPR berfungsi mengawasi kinerja pemerintah atau eksekutif untuk memastikan pelaksanaan keuangan negara -melalui program atau kebijakan- yang bersumber dari APBN. Sedangkan pemerintah atau eksekutif melaksanakan program atau kebijakan melalui keuangan negara.
***
Seharusnya juga Partai Politik -dalam buku Pembaharuan Partai Politik di Indonesia (2020) karya Feri Amsari (42), dkk.- baik secara teoritis atau normatif sesungguhnya merupakan alat dalam mewujudkan harapan publik tersebut menjadi nyata.
Konsekuensinya, partai politik harus memiliki mekanisme yang baik dalam menampung harapan dan aspirasi publik serta menyusun strategi agar harapan tersebut menjadi kebijakan yang nyata untuk masyarakat.
Tentu dalam menyusun strategi menjadi kebijakan, diperlukan pengakuan secara resmi atau legitimasi dari pemilihan umum (pemilu) –sebagai pembuat kebijakan atau pengusul kebijakan yang resmi.
Sebab itulah mengapa diadakan pemilu untuk wakil rakyat –baik legislatif dalam pengawasan, pengundangan, perancangan, persetujuan, penganggaran, dsb. Serta eksekutif dalam menjalankan, melaksanakan, memutuskan, dsb.
Dan pemilihan umum saat ini –pasca reformasi-, juga diadakan secara desentralisasi di daerah-daerah, baik provinsi atau kota kabupaten –sesuai dengan prinsip pemerintahan Indonesia yaitu desentralisasi atau pembagian kekuasaan di daerah-daerah- yang menciptakan distrik atau daerah pemilihan sebagai wakil daerahnya –di luar bagaimana metode penghitungan kursi wakil rakyat, baik metode distrik atau proporsional.
Dengan menempatkan keterwakilan dalam daerah pemilihan atau distrik tersebut bertujuan untuk aktualisasi peran serta masyarakat dalam pemilu.
Menurut Ni’matul Huda (58) dalam Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi (2017), menjelaskan semangat pemilu pasca reformasi (Tahun 1999) ialah, semangat rakyat untuk menentukan siapa yang menjalankan dan mengawasi jalannya pemerintahan. Sekaligus juga rakyat yang melakukan pengawasan terhadap wakil-wakilnya.