Di antara banyak cara kita menjalani hidup, memperbaiki cara mengkonsumsi dan mengolah sampah ialah cara yang paling bijak menjaga lingkungan dari diri kita.
***
Tanggerang, Kebijakan.co.id — Salah satu konten kreator yang berfokus pada gaya hidup zero waste adalah Eka Rahmawati. Ia menceritakan pada awal Januari 2020, rumah yang ia tempati bersama keluarganya terendam banjir besar mencapai lutut orang dewasa.
Atas peristiwa itu, mereka mengalami kerugian jutaan rupiah untuk mengganti perabotan rumah yang rusak. Dari peristiwa itu juga, ia memulai gerakan diet plastik dimulai dari yang dihasilkan oleh dirinya.
“Awalnya saya mengecek sampah apa yang paling banyak saya hasilkan setiap hari. Ternyata sampah kapas, tisu, dan pembalut sekali pakai yang lumayan banyak daripada jenis sampah lain. Setelah itu, saya perlahan mulai mengganti ke produk guna ulang (reusable), yaitu cotton pad kain, sapu tangan, dan pembalut kain,” ujarnya melalui keterangan tertulis pada Jumat (10/2/2023).
Pada survei yang dilakukan oleh Putu Dharma Yusa mengenai konsumsi plastik sekali pakai pada 15—25 Juli 2022, produk perawatan diri hanya menghasilkan 2—3 pcs dalam sebulan dengan menggunakan kemasan produk paling besar (57.20 persen)—tergantung pada faktor pendapatan, harga, dan selera konsumen. Pemilihan ukuran besar dinilai lebih murah dan dan dipilih oleh pendapatan relatif tinggi. Perbaikan ekonomi dan taraf hidup masyarakat berpeluang mengurangi sampah plastik ukuran kecil.
Selain menghasilkan sampah yang lebih sedikit, Eka juga merasakan pengaruh dan dampak lain dari sisi pengeluaran—bisa lebih berhemat karena dapat mengontrol diri saat hendak membeli produk.
Eka mengaku, dulunya ia sering membeli 4—5 camilan. Sekarang ia cukup membeli 1—2 makanan berkemasan supaya tidak terlalu banyak kemasan sekali pakai yang terkumpul di rumahnya.
“Di zero waste juga terdapat konsep ‘belilah produk sesuai dengan kebutuhan bukan keinginan’. Jadi, saat mau beli barang lebih berpikir, ‘gue perlu banget enggak ini barang atau cuma sekadar pengin aja?’”, tanyanya kembali pada diri sendiri pada Jumat (10/2/2023).
Untuk menjaga lingkungan, Eka juga sudah mulai mengurangi membeli pakaian baru—benar-benar pakai yang sudah ia punya dan berusaha menghilangkan pikiran harus membeli baru untuk kondangan atau acara tertentu.
“Dalam lingkup keluarga, saya berusaha mengenalkan zero waste dengan berbagai tindakan yang melibatkan mereka dengan cara meminta orang tua untuk membantu memilah sampah, mengajak mereka untuk ikut serta menyetor sampah ke drop point waste management atau berbelanja ke toko curah zero waste membawa wadah serta tas belanja kain sendiri,” tuturnya pada Jumat (10/2/2023).
Berdasarkan data yang diambil oleh Putu Dharma Yusa mengenai survei konsumsi plastik sekali pakai pada 15—25 Juli 2022 dengan total 275 responden menyimpulkan, hanya sekitar 8.80 persen responden yang berbelanja kebutuhan sehari-hari di bulk store berkonsep zero waste. Dijelaskan lebih lanjut, hal tersebut dikarenakan jumlah toko yang berkonsep seperti itu masih relatif sedikit dan sulit dijangkau oleh mereka.
Orang tua Eka sempat kebingungan dengan kebiasaan barunya yang senang mengumpulkan sampah plastik sekali pakai—mereka sempat protes berkali-kali karena berpikir apa gunanya untuk dikumpulkan sampah kotor tersebut.
Eka pun perlahan menjelaskan bahwa sampah yang dikumpulkan sudah bersih dari residu dan dipastikan tidak menimbulkan efek negatif.
“Sampai saat ini, hanya saya yang baru menjalani zero waste di rumah. Saya percaya mereka (orang tua) tergerak melakukan perubahan yang lebih besar lagi jika kebiasaan saya dilihat. Saya juga perlahan menjelaskan dampak dari plastik sekali pakai untuk lingkungan,” jelasnya pada Jumat (10/2/2023).
Dari survei peduli dan aksi terhadap sampah pada 15—31 Januari 2021 oleh Putu Dharma Yusa dengan 231 responden menunjukkan, aksi yang dilakukan individu mendominasi sebesar 39.91 persen yang disusul lingkup keluarga sebesar 31.92 persen. Aksi pengelolaan skala individu dan rumah tangga menjadi faktor penting dalam pengurangan dan pengelolaan sampah.
Eka membiasakan membawa alat makan reusable dan tas kain saat bepergian ke luar. Saat keadaan mendesak diharuskan membeli produk sekali pakai atau mungkin alat makan yang ia bawa sudah terisi dengan yang lain, ia mau tidak mau menggunakan plastik sekali pakai. Ia akan mengumpulkan, mencuci, serta mengirimkannya ke bank sampah untuk didaur ulang.
Tindakan dan perilaku Eka sejalan dengan hasil survei ekosistem sampah melibatkan 259 responden oleh Putu Dharma Yusa pada 7—15 Februari 2022 yang mana menunjukkan angka 91.51 persen responden memiliki tas belanja guna lang dan 78.38 persen memiliki tempat makan dan minum. Tingginya angka kepemilikan tersebut mengindikasikan adanya kesadaran untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
Sebagai konten kreator, Eka ingin membagikan proses menjalani gaya hidup zero waste yang tidak mudah. Ia pun masih belajar dan banyak kekurangan.
Eka juga berpesan, jalani dengan pelan—semuanya butuh proses dan tidak harus sempunra dan usahakan ada peningkatan. Harapannya, akan ada orang yang tergerak sedikit demi sedikit beralih.
“Saya juga enggak mau terlalu memaksakan harus sempurna karena takutnya terbebani dan jadinya malah balik lagi ke kebiasaan yang lama. Paling saya cuma menyarankan, tapi enggak pernah memaksa mereka untuk ikuti saya,” jawabnya saat ditanya pengontrolan sampah sekali pakai saat berkegiatan dengan orang lain pada Jumat (10/2/2023).
Ilustri Gaya Hidup Sampah Tak Bersisa
Komunitas dan StartUp
CEO dari salah satu startup technology yang bergerak di penjemputan sampah daur ulang Octopus Indonesia, Moehammad Ichsan berdiri pada 2020 di Makassar, Sulawesi Selatan dengan tujuan mengurangi jumlah sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) melalui platform teknologi.
“Octopus adalah sebuah ekosistem yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam ekonomi sirkular—pemerintah dan bank sampah diikutsertakan. Oleh karena itu, Octopus harus bertahap dan membutuhkan waktu (untuk tersedia di seluruh wilayah Indonesia),” terangnya melalui keterangan tertulis pada Kamis (16/2).
Ichsan menjelaskan cara Octopus Indonesia mengedukasikan zero waste kepada pengikut di media sosialnya dengan kesinambungan—memberikan rasa feel good. Proses pemilahan dimulai dari rumah tangga—melibatkan “pelestari” (relawan penjemput sampah pengguna dan bank sampah. Setelah itu, pemilahan akhir di fasilitas octopoint (tempat pengumpulan) di setiap kota.
Salah satu clean-tech startup yang menjembatani small enterprises ke factories, Rekosistem menawarkan manajemen sampah dengan koleksi sampah, pemilahan, dan treatment activities (recycle sampah dengan bantuan partner). Rekosistem menegaskan bahwa mereka bukan bank sampah, walaupun cara kerja terlihat serupa.
Sekretaris Jenderal World Cleanup Day (WCD) Indonesia, Septi menjelaskan WCD Indonesia memulai gerakan global bersih-bersih sampah yang dilaksanakan secara serentak di minggu ketiga September di setiap tahunnya sejak 2018. Tidak hanya itu, pelbagai kegiatan seperti kampanye, webinar, pelatihan, siaran langsung, dan aksi nyata terus digempurkan sebagai bentuk penyuaraan zero waste.
Dari survei peduli dan aksi terhadap sampah pada 15—31 Januari 2021 oleh Putu Dharma Yusa dengan 231 responden, sebesar 79.34 persen responden mendapatkan informasi dan rujukan mengenai budaya minim dan pengelolaan sampah dari media sosial yang mudah diakses—bagian dari gaya hidup masyarakat dan hadirnya platform bergerak di bidang pelestarian lingkungan.
“WCD Indonesia mengajak masyarakat Indonesia untuk lebih memerhatikan lingkungan, tidak hanya sampah—mengubah perilaku masyarakat dengan tindakan nyata dengan turun langsung ke sungai, jalan, gunung, laut, pantai, atau car free day (CFD) juga kunjungan ke sekolah dan desa,” bebernya pada Kamis (16/2).
Octopus Indonesia
Pengalaman
Sejak bangku sekolah dasar, saya sudah dibiasakan untuk memilah sampah sesuai jenisnya—kami juga didorong untuk mengumpulkan sampah plastik yang ada di rumah untuk disetorkan ke bank sampah yang dikelola sekolah. Bagi yang menyetor akan mendapat nilai tambahan untuk mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH).
Kantin sekolah yang dalam penyajiannya tidak menggunakan kemasan sekali pakai menanamkan kebiasaan di dalam diri dan kehidupan saya. Sekolah dasar saya juga memiliki kegiatan kompos—hasil dedaunan yang kami sapu di setiap Sabtu pagi sebelum senam dikumpulkan dalam drum besar. Di sanalah kompos itu akan diproses dan pupuknya akan digunakan untuk pepohonan.
Kebiasaan tersebut terbawa hingga saat ini. Saya cenderung menolak plastik sekali pakai saat berada di luar. Jika saya harus terpaksa menggunakannya, sampah tersebut akan saya kumpulkan, bersihkan, dan setorkan ke bank sampah. Kegiatan ini saya lakukan tersembunyi dan diam-diam karena orang tua saya sangat menentang keras perbuatan tersebut.
Di rumah pun, hanya saya sendiri yang berusaha zero waste—menjadi minoritas dan tidak bisa berbuat bebas. Tidak jarang juga saya dicemooh “si paling lingkungan” oleh saudara sendiri, belum lagi orang tua yang menganggap saya mengoleksi dan menumpuk sampah kotor yang sangat meresahkan baginya. Mereka juga menganggap perbuatan saya sangat memakan tempat.
Saat masih berada di Pekanbaru yang merupakan daerah asal, saya menyetorkan sampah ke bank sampah di dekat rumah yang dikelola oleh warga sekitar. Itu pun baru dimulai pada pertengahan 2021. Ibu saya pun mencoba untuk memilah sampah dengan mengumpulkannya dalam karung goni. Namun, sampah tersebut tidak dibersihkan olehnya.
Melihat hal tersebut, saya pun mengambil kembali sampah tersebut dan membersihkannya serta mengeringkannya. Ibu saya terheran melihat perbuatan tersebut—ia berpikir mengapa harus dibersihkan, ‘kan bisa dikumpulkan saja. Saya pun menjelaskan bahwasanya sampah yang tidak dibersihkan bisa berpotensi busuk karena residu makanannya masih menempel.
Sebelum itu, saya belum bisa berbuat banyak dalam memilah sampah dikarenakan minimnya informasi serta penyuaraan tentang bank sampah di Pekanbaru. Padahal, dulunya Pekanbaru mendapatkan penghargaan Adipura selama tujuh tahun berturut-turut dari 2004. Sayangnya, penghargaan tersebut tidak diindahkan oleh wali kota selanjutnya.
Hanya saja, saya selalu mengusahakan diet plastik di mana pun dan kapan pun. Saya meletakkan tempat atau peralatan minum dan makan di dalam tas—tidak lupa juga tas belanja. Jadi, jika saya hendak memesan makan dan minum saat di luar, saya tinggal menyodorkan yang sudah disiapkan—mencegah bertambahnya plastik sekali pakai.
Saya pun merantau ke daerah Jabodetabek untuk menempuh pendidikan. Banyak fasilitas bank sampah yang tersebar di sini. Di daerah saya tempati, Dinas Lingkungan Hidup Tangerang Selatan menggencarkan bank sampah harus berdiri di setiap kelurahan. Hal itu disampaikan oleh salah satu penyuluh bank sampah di Kecamatan Pamulang.
Selain itu, banyaknya startup, lembaga swadaya masyarakat, komunitas, atau relawan lingkungan yang mendirikan bank sampah serta memfasilitasi penjemputannya sangat memudahkan saya untuk menegakkan gerakan memilah sampah ini. Hadirnya bulk store yang menjual produk yang bisa dibeli dengan wadah dan tempat sendiri secara curah menjadi “surga” bagi saya.
Dalam pemilahan sampah mandiri saat merantau, saya menyiasatinya dengan menata sampah tersebut dengan rapi di dalam satu kardus. Sampah tersebut harus dibersihkan dengan dicuci menggunakan sabun dan dan air agar tidak mengundang semut dan lalat. Setelah kering, sampah akan dilipat atau diremuk agar menjadi kecil agar menyisakan banyak ruang dan tidak memakan tempat.
Say memilih Rekosistem untuk menyetorkan sampah yang sudah dikumpulkan. Kardus yang sudah dikemas dengan baik agar tidak berceceran siap diantar. Sebelum menyetorkan sampah, saya harus melakukan pendataan di aplikasi untuk mendapatkan kode yang harus ditulis di kardus tersebut. Nantinya saya juga harus memilih drop point dan memfoto sampah tersebut.
Biasanya saya memilih untuk mengantarkannya menggunakan transportasi umum karena menghindari macet dan mengurangi risiko membawa barang menggunakan motor, sembari bersantai sejenak juga! Drop point yang saya ambil antara lain Stasiun MRT Blok M BCA atau Pantai Maju Jalasena.
Menuju ke sana, saya menggunakan Transjakarta koridor S21 Ciputat—Blok M turun di bus stop Taman Literasi Christina Martha Tiahahu dan lanjut berjalan sekitar 200 meter. Bisa juga melakukan transit di halte Cakra Selaras Wahana (CSW) untuk berpindah ke koridor 1 Blok M—Kota dan transit lagi di halte Monumen Nasional (Monas) untuk beralih ke koridor 1A Pantai Indah Kapuk (PIK)—Balai Kota. Sampah sudah bisa langsung diletakkan dalam tempat yang sudah disediakan.
Diterbitkan: Rabu, 15 Maret 2023
Pukul: 23.00 WIB
Jurnalis: Fayza Rasya
Editor: Adi Fauzanto
Berbagai cara mengatasi kemacetan di Kota yang dianggap ‘kota swasta’ dengan berbagai varian transportasi publik. Apakah upayanya membuahkan hasil? Jurnalis Kebijakan.co.id mencari tahu melalui pengamat, pegiat, pendatang, warga, data, peneliti, dan turun langsung menikmatinya.
***
Tangerang, Kebijakan.co.id — Penasaran dengan kota yang dianggap ‘kota swasta’ –yang dikendalikan oleh swasta— saya (jurnalis Kebijakan.co.id) ingin mencoba membuktikan apakah ini benar terjadi, khususnya pada transportasi publik, yang hangat dibicarakan awal tahun 2023 ini. Apakah Pemerintah Kota lepas tangan begitu saja –dan menyerahkan semuanya kepada swasta?
Sebelum saya membuktikan langsung, baiknya saya menelusuri orang-orang yang telah menggunakan transportasi publik di Kota Tangerang.
Kata Mereka: Pengamat, Pegiat, Pendatang, dan Peneliti
“Saya hanya pernah mendapatkan kendaraan yang terlalu penuh karena kurangnya armada, atau lamanya waktu tunggu antar armada,” Cerita Ari Subagyo (21), warga Kecamatan Kelapa Dua.
Menurutnya kualitas layanan transportasi umum Kota Tangerang mengalami penurunan kualitas, dilihat dari banyaknya armada yang tidak terawat dan pelayanan tidak sebaik saat baru diluncurkan.
Ia mengaku, sudah pernah mencoba Commuterline, Bus Tangerang Ayo disingkat Tayo, Bus Trans Tangerang, dan angkutan umum (angkot) konvensional. Hanya Angkot Si Benteng saja yang belum ia coba. Dari pengalaman menggunakan, pembayaran antar moda juga terpisah—masih dalam kisaran biaya terjangkau.
“Sisanya, cukup baik karena memang sangat membantu mobilitas terutama ke tempat-tempat di Kota Tangerang,” tutup ceritanya melalui keterangan tertulis pada Selasa (10/1/23) kepada saya.
Senada dengan cerita awal Ari tentang keluhan armada yang penuh. Hal tersebut juga pernah diteliti oleh Fakhruriza, Dwi, Linta pada tahun 2017.
Dalampenelitiannya itu mereka memberikan masukan untuk memperbaiki penataan ulang jumlah armada yang berpoperasi untuk mengoptimal fungsi angkot untuk masyarakat, khususnya pada jam-jam sibuk sehingga ketersediaan angkot oleh masyarakat menjadi seimbang dan tidak terjadi penumpukan.
Jika tidak ditata, maka penumpukan akan sering terjadi. Menurut cerita Ari juga, angkot konvensional dianggap salah satu penyebab kemacetan beberapa titik di Kota Tangerang.
Merespon itu, pemerintah melahirkan ide Angkot Si Benteng, pun belum terasa maksimal sebab trayek yang belum banyak dan bervariasi. Diklaim sebagai angkot modern karena mengumpan penumpang di plang khusus ini dinilai belum menjadi jawaban atas dunia permacetan ria di Kota Tangerang.
Selain itu, masalah lainnya dari Angkot Si Benteng, ialah pengemudinya yang tidak karuan dalam membawa kendaraan. Hal itu diakui oleh Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah mengungkapkan masih adanya keluhan masyarakat terkait pengemudi Angkot Si Benteng yang berkendara secara ugal – ugalan pada Senin (5/12/22).
Merespon itu, “Dishub (Dinas Perhubungan) saya minta nanti pasang stiker Call Center di belakang mobil dan di dalam mobil, kalau pengemudinya ugal – ugalan, berhenti sembarangan, tidak on time masyarakat bisa lapor,” pintanya.
Terkait keluhan masyarakat tersebut, Direktur PT TNG Edi Chandra mengaku telah menyediakan Call Center. Masyarakat bisa menghubungi di Nomor 021-5578-5679 atau melalui sosial media seperti Instagram di @tangerangnusantaraglobal.
Menurut salah satu penggiat mobilitas aktif dengan nama akun @tfjakarta, Adriansyah Yasin Sulaeman atau yang biasa disapa Adrian, mengacungi jempol kepada Pemkot Tangerang dengan adanya Trans Kota Tangerang dan feeder Si Benteng –mirip Mikrotrans di Jakarta– bisa menjadi jaringan transportasi umum yang baik—dibanding kota lain di Bodetabek hanya Tangerang yang mampu dan punya political will untuk membuat layanan transportasi umum tersebut berjalan hingga sekarang.
Hanya Tangerang yang mampu dan punya political will untuk membuat layanan transportasi umum tersebut berjalan hingga sekarang.
Adrian (Pegiat Transportasi Publik)
Selain itu Angkot Si Benteng juga bisa melakukan pembayaran melalui QRIS, suatu yang diapresiasi oleh Ari.
Sedangkan untuk Trans Kota Tangerang sendiri, menurut Ardrian, “Walaupun memang tidak bisa dibandingkan secara apple-to-apple dengan Transjakarta, sudah lumayan bisa menjadi opsi bagi warga Kota Tangerang yang dilayani oleh bus tersebut untuk dijadikan moda mobilitas harian mereka,” tautnya melalui keterangan tertulis.
Apresiasi lainnya datang dari salah satu pemerhati transportasi umum, Insan Ridho Chairuasni, ia mengapresiasi upaya dari pemerintah Kota Tangerang dalam layanan transportasi umum yang beragam. Menurutnya memang layanan integrasi secara pembayaran dan jadwal layanan harus dibenahi.
“Saya rasa layanan transportasi umum di Kota Tangerang sudah mengalami perbaikan, walaupun masih terbatas dari segi cakupan layanan. Upaya penambahan dan modifikasi rute sepertinya akan lebih memberi dampak positif bagi masyarakat Kota Tangerang,” jawabnya melalui keterangan tertulis pada Rabu (18/1/23) kepada saya.
Saya rasa layanan transportasi umum di Kota Tangerang sudah mengalami perbaikan, walaupun masih terbatas dari segi cakupan layanan.
Insan Ridho (Pengamat Transportasi Publik)
Selain itu, apresiasi lainnya datang dari salah satu perantau asal Pekanbaru bernama Wan Muhammad Arraffi (18), ia merasakan beragamnya transportasi umum, mulai dari bus, kereta, angkot, dan lainnya sangat terjangkau di kantongnya sebagai mahasiswa. Namun, “saya lebih memilih transportasi online jika keadaan mendesak dan memilih angkot jika tidak diburu waktu. Hanya saja, angkot tidak tepat waktu dan sering ngetem.” Hal tersebut juga harus menjadi catatan.
Apresiasi tersebut harus dilihat lagi secara data. Misalnya, data jumlah kendaraan di BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Banten. Data tersebut menunjukan adanya peningkatan jumlah kendaraan bus cukup signifikan di tahun 2021. Dan adanya jumlah penurunan kendaraan pribadi, berupa motor. Serta kendaraan mobil, yang cenderung naik dan turun.
Keamanan dan Kenyamanan
Respon pemerintah terhadap keluhan Angkot Si Benteng yang dirasa ugal-ugalan tersebut, perlu diapresiasi. Sistem keamanan memang harus dijangkau sedekat mungkin dengan pengguna transportasi publik.
Dalam hal ini Aldhi, Imma, Deni melakukan penelitian dengan menggunakan metode perhitungan kemungkinan masyarakat berpindah dari transportasi pribadi ke transportasi massal Bus Trans Tangerang.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan transportasi publik di Kota Tangerang, menurut mereka, kemungkinan tersebut dapat terjadi jika beberapa hal diperbaiki, di antaranya:
(1) Atribut identitas kendaraan Bus (yang ditunjukan untuk mengidentifikasi Bus tersebut mencegah hal-hal yang tidak diinginkan);
(2) Menambahkan informasi dan tanda bahaya: lampu isyarat tanda bahaya, informasi gangguan keamanan yang masif yang berisikan nomor telepon atau call center;
(3) Akses informasi akses transportasi, seperti: informasi kedatangan bus, informasi umum trayek, informasi suara atau melalui perangkat elektronik;
(4) Faktor kebersihan, mulai dari kendaraan transportasi massal hingga haltenya;
(5) Terakhir ialah penambahan jumlah armada yang dihitung secara pasti antara kedatangan satu kendaraan dengan kendaraan lainnya.
Selain keamanan, hal yang perlu diperhatikan juga kenyamanan. Datang dari Bella dan Haryono melalui penelitiannya, mereka menekankan pada kebersihan halte dan kendaraan. Di kendaraan misalnya, masih banyak masyarakat yang membuang sampah sembarangan pada beberapa armada, hal ini perlu direspon dengan disediakannya tempat sampah.
Sedangkan di halte, masyarakat –khususnya anak muda—kerap kali mencoret-coret halte untuk ajang eksistensi, hal ini perlu direspon dengan disediakannya ruang publik untuk ekspresi untuk anak-anak muda. Lainnya, halte juga dijadikan mangkalnya ojek online, sehingga fungsi sebagai tempat tunggu transportasi publik menjadi terganggu, hal ini perlu direspon oleh perusahaan ojek online tersebut untuk mentertibkan ‘mitra’nya.
Sumber: Fayza Rasya
Integrasi Tangerang dan Jabodebek Sekitarnya
Sebagai perantau, Raffi merasa terbantu dengan transportasi umum di Jabodetabek, menurutnya, ”memiliki layanan cukup baik—petugas bersikap ramah dan suka membantu. Informasi mengenai jadwal dan rute dapat dipahami dengan mudah. Kebersihan dari segi armada, halte, atau stasiun juga terjaga dan nyaman digunakan,” ceritanya melalui keterangan tertulis pada Selasa (10/1/23) kepada saya.
Namun, menurut Raffi terdapat kendala di beberapa rute wilayah tertentu yang armada busnya cukup lama, sebab terbatas armadanya. Jadi untuk keadaan yang mendesak, transportasi umum sangat sulit jika kendala tersebut tidak diperbaiki, yaitu ketepatan waktu.
Bicara Integrasi di Jabodetabek, khususnya Jakarta-Tangerang, Ridho beranggapan dalam cuitannya di Twitter, bahwa koridor 13 Transjakarta rute Puri Beta—Tendean merupakan anugerah terindah yang dimiliki warga DKI Jakarta dan Kota Tangerang.
“Saya pikir ini memang koridor yang ideal untuk operasi BRT. Meskipun beberapa halte memang masih punya keterbatasan aksesibilitas penumpang, saya rasa koridor 13 punya karakteristik operasi yang baik, seperti headway yang terjaga dan jalur yang steril,” paparnya saat ditanya alasannya menuliskan cuitan tersebut pada Kamis (19/1/23) kepada saya.
Ridho juga merasakan Transjakarta koridor S11 dan T11 bisa membantu transportasi antarwilayah walaupun ini sesungguhnya perlu didorong oleh pemegang kebijakan terkait seperti BPTJ. Layanan seperti Transjabodebek dan JR Connexion seharusnya bisa menyokong lebih banyak wilayah dan rute untuk daerah sekitar Jakarta.
Sedangkan menurut Adrian, dia melihat dalam waktu sepuluh tahun terakhir, Kota Tangerang sebagai salah satu kota sub-urban Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) telah melihat banyak perkembangan besar dalam hal pengembangan transportasi umum.
“Dimulai dari pembenahan layanan Commuterline ke Kota Tangerang, kemudian dengan adanya KA Bandara juga ke Bandara Soekarno-Hatta yang memberikan opsi akses yang lebih banyak untuk warga Kota Tangerang,” jabarnya melalui keterangan tertulis pada Jumat (20/1/23).
Selain itu menurut Adrian, PR (tugas rumah) Pemerintah Kota Tangerang ialah memaksimalkan akses yang sudah ada—mungkin bisa fokus di pengembangan integrasi di sekitar Terminal Poris Plawad ke Stasiun Batu Ceper yang kondisinya belum optimal.
“Akses dari Stasiun Commuterline lain seperti Poris juga bisa menjadi sorotan di mana Pemkot Tangerang bisa membuka layanan-layanan feeder baru dari Stasiun Poris ke Cipondoh atau daerah sekitarnya yang berpotensi menjadi moda pengumpan bagi banyak warga di sekitar daerah tersebut,” pikirnya melalui keterangan tertulis.
Adrian berpendapat lebih penting untuk tetap memaksimalkan layanan Trans Kota Tangerang yang sudah ada saat ini dan ke depannya untuk terus aktif memperlebar akses transportasi umum ini ke wilayah yang belum terjangkau serta membangun integrasi antar wilayah.
Jalur Transportasi Publik di Kota Tangerang (Sumber: Pemerintah Kota Tangerang)
Selain itu masalah lainnya diungkapkan salah satu akun yang menginformasikan seputar transportasi umum secara rutin, @jalurlima menerangkan bahwa kelemahan yang digarisbawahi dari transportasi umum di Kota Tangerang adalah jam operasi selain Commuterline dan sulitnya membangun transportasi umum antar wilayah.
“Padahal, banyak warga yang beraktivitas ke Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Sebagai contoh Trans Tangerang tidak bisa menyentuh Tangerang Selatan,” tuturnya melalui keterangan tertulis pada Rabu (11/1/23).
Dan jika berkaca dari Jakarta, Ari juga sangat menyayangkan Kota Tangerang tidak memiliki ide integrasi transportasi layaknya JakLingko yang dimiliki DKI Jakarta yang juga menghubungkan daerah di sekitar ibukota, seperti Bekasi.
Menurut Ari, seharusnya melihat keadaan ekonomi Tangerang yang cukup tinggi, Tangerang Raya (Kabupaten, Kota, Tangsel) memiliki kendala, “Belum lagi masalah angkutan antar daerah (di Tangerang Raya).”
Sudah selayaknya Kota Tangerang memikirkan skenario terbaik penduduk menggunakan transportasi umum agar terpecahnya kemacetan,” pikirnya melalui keterangan tertulis pada Rabu (11/1/23).
Salah satunya melalui pembangunan Transit Oriented Development (TOD), “Melihat rute dan koridor yang disediakan, rasanya sulit menentukan lokasi yang bisa menjadi titik integrasi TOD,” pungkas Ari.
Terkait TOD sendiri, Adji Prama, Anisa, dan Lutfi pernah melakukan penelitian berkaitan dengan pembangunan TOD dalam satu kawasan di Kota Tangerang, dengan tujuan memberikan kenyamanan dan kemudahan untuk aktivitas lalu-lalang masyarakat.
Mereka menyimpulkan dalam penelitiannya, kondisi integrasi antarmoda di sekitar stasiun Tangerang masih kurang baik, walaupun lokasinya sudah dekat, namun aksesnya kurang baik, “berdasarkan perhitungan Jumlah Pengguna Commuter Line di stasiun Kota Tangerang dibandingkan dengan Jumlah Pengguna Kereta Kota Tangerang Tahun 2015.”
Transportasi publik harus didesain sebaik mungkin, agar dapat memberikan rasa aman, nyaman, mudah dan murah untuk dijangkau seluruh lapisan masyarakat
Amsal (Penulis Buku Transportasi Publik)
Dari masalah yang ada, Amsal mengatakan dalam bukunya, “Transportasi publik harus didesain sebaik mungkin, agar dapat memberikan rasa aman, nyaman, mudah dan murah untuk dijangkau seluruh lapisan masyarakat.” Sehingga keinginan masyarakat untuk berpindah dari transportasi pribadi ke publik, menjadi besar.
Melihat dari Dekat
Setelah lelah mendengarkan, membaca, dan meriset dari berbagai narasumber, saya turun ke lapangan untuk langsung mencobanya pada Rabu (18/1/23). Diawali menggunakan Commuterline dari Stasiun Sudimara yang berada di lin hijau (Serpong) dengan estimasi keberangkatan pukul 11.09 WIB.
Untuk mencapai lin coklat (Tangerang), saya harus transit terlebih dahulu di Stasiun Tanah Abang pada pukul 11.34 WIB dan berpindah ke peron dua menuju Stasiun Duri pada jadwal 11.37 WIB. Kisaran kurang lebih lima menit saya pun sampai dan langsung bergegas ke peron lima dan memulai perjalanan pada pukul 11.48 WIB.
Sekitar pukul 12.35 WIB, saya pun sampai di Stasiun Tanah Tinggi. Untuk melanjutkan perjalanan, saya menuju halte BRT yang tidak jauh dari pintu keluar—sekitar tiga menit berjalan kaki. Sepuluh menit kemudian, bus Trans Tangerang koridor T01 rute Terminal Poris Plawad pun muncul.
Saya berjumpa dengan sang sopir bernama Abdurrahman Saleh (46). Ia mengungkapkan bahwasanya Trans Tangerang sudah diluncurkan sejak 2015 dan setahun terakhir kembali diaktifkan karena pandemi Covid-19 yang mewabah tiga tahun belakangan.
“Seharusnya dilakukan dengan memindai QRIS, tetapi banyak penumpang yang memilih membayar tunai kepada saya. Nanti saya sendiri yang membayarnya melalui QRIS setelah berjalan satu keliling penuh,” ungkapnya saat ditanya sistem pembayaran Trans Tangerang ditemui langsung pada Rabu (18/1/23).
Ia melanjutkan bahwasanya Pemerintah Kota Tangerang menghabiskan dana sekitar Rp12,5 miliar untuk menggratiskan layanan Trans Tangerang selama tiga bulan, September—November. Hal ini dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat yang terkena dampak kenaikan BBM.
“Trans Tangerang ini dikelola oleh pihak ketiga. Oleh karena itu, pembayarannya melalui QRIS karena dianggap universal. Jika menggunakan Kartu Uang Elektronik (KUE), maka mereka mengurungkan niat. Target pengguna Trans Tangerang adalah masyarakat menengah ke bawah,” sambungnya saat ditemui langsung.
Dengan tarif yang murah dan terjangkau Rp2 ribu, Saleh berharap makin banyak warga Kota Tangerang yang mengandalkan berbagai armada transportasi umum yang disediakan Pemkot dan Dishub Tangerang dalam mobilitas sehari-hari.
Untuk mengitari satu rute penuh dengan interval setiap 15 menit, Trans Tangerang koridor T01 membutuhkan waktu tempuh sekitar satu jam—saya pun turun pada pukul 13.50 WIB untuk berlanjut menggunakan Transjakarta koridor T11 Poris Plawad—Bundaran Senayan pada pukul 14.00 WIB.
Koridor ini menggunakan ruas tol Tangerang—Jakarta untuk dalam lintasan jalurnya. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam 15 menit. Saya pun melakukan transit di Halte Gelora Bung Karno (GBK) untuk beralih ke Transjakarta koridor satu rute Blok M—Kota.
Dengan interval yang singkat setiap lima menit, berselang dua menit saya pun menuju Halte Cakra Selaras Wahana (CSW) pada pukul 16.37 WIB. Enam menit kemudian, Transjakarta koridor S21 rute Ciputat—CSW pun muncul dan saya mengakhiri turun lapangan pada pukul 17.45 WIB.
Bus Tayo Kota Tangerang (Sumber: Pemerintah Kota Tangerang)
Jika Jakarta (dan sekitarnya) diprediksi akan macet total. Dan, kita terus mengeluh tentang kemacetan. Sederhana, beralihlah ke transportasi publik. Pengambil kebijakan (pemerintah, perusahaan, legislatif) harus menyadari itu.
Kekerasan seksual terhadap perempuan tercatat baik oleh Komnas Perempuan dari tahun 2001 hingga 2021, ada banyak faktor penyebabnya, mulai dari stigma, peminggiran, hingga sterotipe terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan. Hal tersebut, dilanggengkan oleh budaya, pendidikan, dan laku sehari-hari, terlebih melalui kebijakan publik yang diskriminatif.
Tak terkecuali praktik-praktik dalam Islam, sebagai otoritas agama mayoritas juga turut andil dalam memelihara simbol terhadap perempuan yang menciptakan ketidakadilan. KUPI (Kongres Ulama Perempuan Islam) hadir dalam membahas isu aktual tersebut.
***
Tanggerang, Kebijakan.co.id – Cukup sulit untuk perempuan hidup di negara Indonesia dengan kultur budaya dan praktik agama yang tidak adil terhadap perempuan. Realita masih banyaknya stigma, diskriminasi, pendidikan yang tidak inklusif yang membentuk pola pikir, hingga kepada kekerasan seksual terhadap perempuan.
Ditilik dari akarnya, adanya simbol terhadap perempuan yang berada di nomor dua setelah laki-laki. Lalu budaya masyarakat yang melanggengkan itu, berdampak kepada sektor ekonomi –dalam hal pekerjaan—dalam hal politik –tentang kepemimpinan perempuan— dan sektor-sektor lainnya. Ditambah adanya kebijakan publik yang diskriminatif yang terus dilanggengkan oleh kekuasaan.
Upaya untuk menghapus itu, datang dari KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) ke-2 yang diselenggarakan pada 24-26 November 2022 di Jepara. Hadir dengan gagasan besar Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan. Menghasilkan rumusan fatwa untuk pemberdayaan perempuan dari isu-isu aktual dan realita kondisi perempuan yang ada.
Ana Abdillah, Direktur Eksekutif Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, menjelaskan pada saat perempuan tersebut diatur-atur oleh masyarakat tanpa diimbangi dengan kesadaran akan hak yang seimbang. Realitanya, perempuan tidak bisa dan dipersulit untuk memperjuangkan haknya. Contohnya saat perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Bukan dukungan yang didapat, tetapi stigma dan perlakuan buruk.
“Jika terus dibudidayakan, maka yang terjadi adalah masyarakat akan menormalisasi perilaku kekerasan seksual yang berdampak pada perempuan —tidak mengedukasi laki-laki sebagai pelakunya. Hal yang selanjutnya harus dijawab adalah bagaimana permasalahan kekerasan seksual bisa dimitigasi (dicegah) sesuai kebijakan dan melalui mekanisme,” tuturnya kepada jurnalis Kebijakan.co.id, Selasa (6/12).
Tidak hanya itu, hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah bagaimana respons dan menekan perempuan untuk tidak melanjutkan proses hukum. Aturan atau kebijakan yang belum sepenuhnya hadir atau belum implementatif, serta struktur hukum yang belum berhasil dalam membangun mekanisme tersebut.
“Sesungguhnya penyebab fenomena tersebut masih terjadi adalah karena masyarakat, aparat penegak hukum, dan penyedia layanan masih belum mengidentifikasi aspek kerentanan yang dihadapi oleh perempuan. Budaya dan substansi hukum yang belum signifikan,” ujarnya pada Selasa (6/12).
“Penyebab fenomena (kekerasan seksual) tersebut masih terjadi adalah karena masyarakat, aparat penegak hukum, dan penyedia layanan masih belum mengidentifikasi aspek kerentanan yang dihadapi oleh perempuan.
Ana Abdillah
Senada dengan itu semangat pemberdayaan perempuan, menurut Muhammad Hasbi dalam jurnalnya berjudul Kekerasan Perempuan dalam Wacana Pemikiran Agama dan Sosiologi(2015) mengatakan, jika ditelaah lebih mendalam tidak ada satupun teks, baik Alquran atau Hadist yang memberi peluang untuk melakukan perempuan sesuka hati.
Selain itu penjelasan dalam buku Islam, Agama Ramah Perempuan(2004) karya KH. Husein Muhammad, menurutnya dalam teks Alquran maupun hadist terdapat sejumlah pernyataan yang memberikan kepada kaum perempuan tempat yang sejajar dengan kaum laki-laki dan memberikan hak-hak kepada kaum perempuan untuk berperan dan terlibat dalam perjuangan-perjuangan sosial politik bersama laki-laki.
Selain itu, Husein Muhammad juga mengatakan dalam bukunya, “Alquran mengecam keras praktik-praktik perendahan-perendahan dan tindak kekerasan terhadap perempuan.”
“Alquran mengecam keras praktik-praktik perendahan-perendahan dan tindak kekerasan terhadap perempuan.”
Pertama, adanya marginalisasi atau peminggiran terhadap perempuan. Kedua, adanya subordinasi atau menomorduakan terhadap perempuan. Ketiga, adanya sterotipe atau kesan tertentu baik fisik atau perilaku terhadap perempuan. Keempat, adanya kekerasan –baik secara verbal maupun fisik— yang terjadi terhadap perempuan.
Menurut Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, dalam Konfrensi Pers dalam KUPI II di PP Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri (25/11/2022) mengatakan bahwa akar dari kekerasan terhadap ialah diskriminasi berbasis gender, di mana menempatkan perempuan sebagai mahluk kelas dua –setelah laki-laki. “Oleh karena itu, dalam upaya penghapusan kekerasan, penting, untuk mengkampanyekan kesetaraan yang substantif,” tutupnya.
Ketidakadilan gender ini lebih banyak menciptakan kekerasan terhadap perempuan, tak jarang terjadinya kekerasan seksual. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang mengumpulkan data dari organisasi yang melayani pendampingan, mencatat angka kekerasan seksual dari tahun 2001 hingga 2021.
Tahun 2001 sebesar 3.168 korban perempuan; 2002 sebesar 5.173; 2003 sebesar 5.934; 2004 sebesar 13.968; 2005 sebesar 20.931; 2006 sebesar 22.512; 2007 sebesar 25.522; 2008 sebesar 54.425; 2009 sebesar 143.586; 2010 sebesar 105.103; 2011 sebesar 119.107; 2012 sebesar 216.516; 2013 sebesar 279.688; 2014 sebesar 293.220; 2015 sebesar 321.752; 2016 sebesar 259.150; 2017 sebesar 348.446; 2018 sebesar 406.178; 2019 sebesar 431.471; 2020 sebesar 299.911; 2021 sebesar 338.506.
Terjadi peningkatan cukup signifikan dari tahun ke tahun, sebabnya ialah banyaknya lembaga perlindungan perempuan yang tumbuh di beberapa daerah, di satu sisi kemungkinan besar juga ada banyak perempuan yang mendapatkan kekerasan namun terkendala lembaga perlindungan di daerah. Layaknya ‘fenomena gunung es’, terdapat banyak kasus yang tidak tercatat dan terungkap.
Kemungkinan besar juga ada banyak perempuan yang mendapatkan kekerasan namun terkendala lembaga perlindungan di daerah. Layaknya ‘fenomena gunung es’, terdapat banyak kasus yang tidak tercatat dan terungkap.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan
WCC Jombang dalam hal ini melakukan penanganan kasus dari pengalaman korban, lalu diidentifikasi untuk dicari akar permasalahannya berdasarkan aturan hukum. Namun, tidak semua aspek hukum tersebut membersamai kebutuhan dan akses korban. Pendampingan psikologis juga dilakukan dalam pembimbingan, pelaporan, dan dialog dalam penanganan dan proses hukum.
Tidak hanya sampai di situ, di persidangan WCC Jombang memastikan korban mendapatkan akses trauma healing melalui kegiatan semacam support group—mencegah agar tidak terjadinya pengulangan dengan pelaku yang berbeda—penguatan kepada kepada korban untuk bersikap positif dan asertif untuk menghadapi permasalahan yang dialami.
Penyedia layanan pemerintah dan aparat penegak hukum menginisiatifkan untuk tidak melanjutkan proses hukum—dampak kekerasan seksual berbanding lurus dengan angka perkawinan anak di Pengadilan Agama Jombang. Di 2019—2022, terdapat kenaikan sebesar 300 persen.
Dalam lingkup pengaduan kasus yang diterima WCC Jombang dalam lingkup agama, mereka sudah mendampinginya sejak lama dari 2017. Ana mengungkapkan, kendala yang kerap dihadapi adalah ketika pelaku merupakan tokoh agama yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam masyarakat.
Tidak hanya terjadi di institusi keagamaan, tetapi juga terjadi di persekutuan doa teman Kristen. Sasaran empuknya adalah mereka yang baru saja bertransformasi dalam agamanya. Terdapat dua pesantren yang ditangani oleh mereka, di Kecamatan Ngoro dengan pelaku seorang kiai dan Ploso dengan pelaku seorang anak kiai.
Pesantren Kecamatan Ngoro yang santri menjadi korban mencapai tujuh orang—dengan modus menyampaikan doktrin keagamaan bahwa vagina barang mulia dan dan hanya bisa dimasukkan oleh orang mulia saja. Pesantren Kecamatan Ploso, pelaku menyampaikan bahwa ia seorang mursyid, menggantikan bapaknya sebagai penerus pesantren.
Proses penanganan kasusnya juga berbeda dan terhambat bukan karena ketidakbecusan aparat penegak hukum atau kejaksaan atau pengadilan, tetapi ketidakberanian untuk mengungkapkan fakta di atas asas keadilan—aspek non-yuridis menarasikan, mengeluarkan korban dari pesantren, berlindung atas nama baik pesantren yang besar dan terkenal.
WCC Jombang memberikan pelayanan kesehatan reproduksi, bantuan hukum gratis, pendamping psikologis dengan bermitra dengan lembaga perlindungan saksi ketika korban membutuhkan kehadiran negara dalam perlindungannya.
WCC Jombang juga berharap di Kabupaten Jombang dan seluruh wilayah di Indonesia untuk lebih peka membangun infrastruktur dan sumber daya manusia terhadap permasalahan perempuan dan anak. Untuk konteks pesantren, diharapkan iklim lebih eksklusif, responsif, serta mengedepankan korban untuk bisa survive, kuat, support system, dan tiada penekanan.
***
Jika kekerasan seksual terjadi pada diri kita, adik, teman, saudara, keluarga, bahkan ibu sendiri, yang harus dilakukan menurut ICJR (Institute or Criminal Justice Reform).
Kedua, bila terjadi luka bawalah ke klinik atau dokter untuk dilakukan rekam medik sebelum melapor ke polisi untuk dijadikan bukti;
Ketiga, mencari bantuan psikolog untuk melakukan konseling dan pemulihan psikis;
Keempat, konsultasi melalui lembaga bantuan hukum atau lembaga lainnya yang dapat dipercaya apabila ingin melapor kepada polisi;
Kelima, diskusi dengan keluarga korban atau langsung melapor ke polisi disertai dengan bukti yang kuat.
Perempuan, Pekerjaan, dan Ancaman Diskriminasi
Selain itu, realita lainnya selain ancaman kekerasan seksual, terdapat adanya ancaman diskriminasi dalam lingkup lingkungan kerja. Menurut Koordinator Pusat Studi Gender dan Anak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iin Kandedes, “Ada beberapa tantangan yang dihadapi perempuan, yakni marjinalisasi dalam bidang ekoonomi. Contohnya perempuan mendapatkan pekerjaan kurang bagus dari segi gaji, jaminan kerja, atau status pekerjaan. Subordinasi anggapan perempuan makhluk lemah, tidak mampu memimpin, serta menggunakan banyak perasaan,” jawabnya kepada Kebijakan.co.id pada Rabu (7/12).
Iin melihat seharusnya perempuan saling mendukung dan memberikan kesempatan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan keluarga, politik, ekonomi, dan publik sesuai posisi sosialnya. Selain itu, menghentikan segala bentuk diskriminasi, kekerasan, pelecehan dan eksploitasi seksual kepada perempuan.
Terkait wanita bekerja dalam perspektif Islam menurut Ratna Dewi dalam jurnalnya berjudul Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Problematika Ketidakadilan Gender (2020) dalam kesimpulannya menyatakan Islam tidak pernah melarang perempuan untuk bekerja, sebab tidak ada ayat dalam Alquran yang melarangnya.
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) melalui Survei angkatan Kerja Nasional (Sakernas), tenaga kerja formal perempuan tercatat tahun 2015 sebesar 37,78 persen; lalu di tahun 2016 sebesar 38,16 persen; di tahun 2017 sebesar 38,63 persen; di tahun 2018 sebesar 38,10 persen; tahun 2019 sebesar 39,19 persen; tahun 2020 sebesar 34,65 persen; tahun 2021 sebesar 36,20 persen.
Sedangkan menurut data BPS melalui Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia tahun 2021, sebanyak 39,52 persen atau 51,79 juta penduduk produktif yang bekerja dari usia 15 tahun ke atas adalah perempuan.
Dari 51,79 juta perempuan yang bekerja di usia produktif, 28,6 persen merupakan pekerja yang menjadi tenaga usaha penjualan. Lainnya, 24,38 persen menjadi petani, nelayan, dan pekebun. 20,51 persen merupakan tenaga produksi, operator alat angkutan, serta pekerja kasar. Sisanya, 10,48 persen merupakan tenaga professional, 8,65 persen menjadi tenaga usaha jasa, 6,56% merupakan tenaga kerja di sektor pemerintahan atau tata usaha. 0,7 persen merupakan tenaga pemimpi, sisanya 0,12 persen ada di jenis pekerjaan lainnya.
Otoritas dan Simbol Islam dalam Ketidakadilan
Salah satu penyebab dari adanya stigma dan diskriminasi terhadap perempuan misalnya, dapat terjadi karena otoritas dan pelanggengan simbol dalam agama yang tidak adil terhadap perempuan.
Otoritas dan simbol Islam terhadap perempuan misalnya dalam hal cara berpakaian. Komisioner dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komnas Perempuan sekaligus dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alimatul Qibtiyah memandang bahwa menilai akhlak perempuan dari cara berpakaian tidaklah sesuai.
“Jikalau seandainya akhlak perempuan dinilai dari jilbabnya, bagaimana jika kita bandingkan dengan laki-laki? Apakah hanya dengan memakai baju koko dan peci juga? Hal tersebut dirasa kurang tepat,” tutur Alim kepada Kebijakan.co.id dalam keterangan tertulisnya pada Senin (5/12/2022).
Sedangkan menurut Direktur Eksekutif Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, Ana Abdillah mengemukakan bahwa perbuatan baik tidak harus dituntutkan kepada perempuan, tetapi harus juga kepada laki-laki. Tubuh dan cara berpakaian perempuan lebih banyak diatur oleh masyarakat ketimbang tubuh laki-laki.
“Apa yang dikenakan tidak mencerminkan ketakwaan seseorang. Kita saleh secara berpakaian, tetapi tidak selalu mengekspresikannya secara sufiah juga. Hal ini bergantung pada cara menghargai sesama individu,” papar Ana kepada jurnalis Kebijakan.co.id melalui keterangan suaranya pada Selasa (6/12).
Senada dengan itu, menurut Nana Nadiya Mahardika, Sekertaris Bidang Immawati Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Malang Raya, menyoroti fenomena saat seseorang melakukan kesalahan, tetapi yang disoroti adalah pakaian atau identitas yang digunakan. Menurutnya, perbuatan salah bisa terjadi kepada siapa saja, baik sengaja maupun tidak—kejadian yang berulang karena dampak dari konstruksi sosial.
“Lingkungan kita terbiasa mengaitkan suatu kejadian dengan identitas yang digunakan, sehingga kerap kali beberapa orang salah kaprah dalam mengkritisi suatu kejadian. Hasilnya adalah bukan bicara akar masalah, namun mencari-cari permasalahan lain,” jelas Nana kepada jurnalis Kebijakan.co.id melalui keterangan tertulisnya pada Rabu (7/12).
Selanjutnya Alim menganggap masih banyaknya fenomena akhlak perempuan dinilai dari cara berpakaian karena keragaman penafsiran yang ada di masyarakat. Tidak hanya itu, tokoh agama di lingkungan sekitar juga berpengaruh dengan memberikan satu jawaban. Dari sinilah, masyarakat menganggapnya menjadi suatu kebenaran tunggal.
“Orang yang memengaruhi atau dakwah yang diikuti tidak menjelaskan keragaman penafsiran. Ada yang menjawab memakai jilbab itu wajib dan ada juga yang tidak. Begitu pula dengan cara menutup aurat. Sayangnya, masyarakat atau tokoh agama hanya menggunakan mayoritas penafsiran sebagai standar kebenaran,” jelasnya pada Senin (5/12/2022).
Selain itu, Alim juga berpikir bahwa bukan persoalan agama yang menjadi perempuan mendapat ketidakadilan, tetapi penafsiran dan pemahaman akan kontekstual agama—tidak menimbulkan substansi asbabul wurud dan asbabun nuzul-nya. Perlunya perhatian terhadap penafsiran yang berpihak pada kesetaraan laki-laki dan perempuan.
“Perempuan harus mempunyai critical thinking dan otonomi terhadap dirinya dan juga kemampuan memilih-memilah penafsiran agama yang ramah perempuan—mengembalikan nilai kesetaraan dan keadilan kepada Al dan Hadis bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari zat, status, hak, dan kewajiban yang sama,” tuturnya pada Senin (5/12/2022).
“Perempuan harus mempunyai critical thinkingdan otonomi terhadap dirinya dan juga kemampuan memilih-memilah penafsiran agama yang ramah perempuan—mengembalikan nilai kesetaraan dan keadilan kepada Alquran dan Hadis bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari zat, status, hak, dan kewajiban yang sama.”
Alimatul Qibtiyah
Untuk menghadapi dan menangani fenomena perempuan yang dituntut lebih dari simbolis agamanya adalah dengan menyampaikan keberagaman dan tidak menjadi penafsiran mayoritas sebagai ukuran kebenaran.
Simbol agama sendiri menurut Husein Wahab dalam jurnalnya berjudul Simbol-Simbol Agama (2011) terbentuk atas beberapa sistem: kognitif (berkaitan dengan akal atau proses belajar), moral (berkaitan dengan norma-norma), konstiutif (berkaitan dengan kepercayaan), dan ekspresif (berkaitan dengan penyembahan). Hal tersebut dimungkinkan untuk mempertahankan pola ajaran keagamaan.
Lanjut Alim, “Perempuan muslimah mempunyai banyak pengalaman dalam hidupnya yang ditentukan saat dibesarkan oleh keluarga dan lembaga pendidikannya. Jika itu adalah bentuk pengekspresian keberagaman diri, tidak mengambil hak orang lain, tidak bertentangan dengan konstitusi, serta tidak membawa kemaslahatan maka tidak masalah,” ujarnya pada Senin (5/12/2022).
Alim melanjutkan, agama itu diturunkan untuk kemaslahatan, hanya saja pertanyaannya agama yang ditafsirkan atau dipahami oleh siapa dan bagaimana—sebab konteks agama itu tidak bisa diubah, tetapi penafsirannya bisa berubah.
Dalam Komnas Perempuan, Alim menjelaskan bahwa mereka bekerja sesuai mandat dan berfokus pada implementasi dan pemenuhan hak-hak perempuan—didasari pada keberagaman dan pengalaman. Komnas Perempuan melakukan penelitian dan kajian terhadap peraturan daerah yang diskriminatif—mendiskriminasikan kelompok minoritas yang beda.
“Adanya kewajiban menggunakan jilbab pada instansi negeri—yang pasti di dalamnya tidak semua beragama Islam. Kami (Komnas Perempuan) melakukan advokasi kepada lembaga terkait untuk mencabut kewajiban dan memberikan advokasi kepada kelompok minoritas sebagai upaya untuk menghindari diskriminasi dan kekerasan,” bebernya pada Senin (5/12/2022).
Komnas Perempuan juga berharap hak-hak perempuan sebagai manusia terpenuhi dengan beragam pengalaman yang ada—laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, termasuk dalam mengekspresikan bagaimana ia berpakaian dan agama.
Adanya pemaksaan secara otoritas dan simbol untuk perempuan menyebabkan perempuan terbelenggu akan simbol dan otoritas keagamaan. KUPI hadir sebagai bentuk untuk menghadirkan pandangan keagamaan yang setara antara perempuan dan laki-laki.
Akan tetapi menurut Koordinator Pusat Studi Gender dan Anak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iin Kandedes merasa senang dengan tren positif di kalangan perempuan Indonesia untuk sadar menutup aurat—yang bukan hanya sekadar menaati perintah dan simbol agama, tetapi sudah menjadi suatu kebutuhan.
“Jika kita melihat di mal, bahkan karya perancang busana sudah membuat tren fashion muslimah yang harganya tidak murah. Ibarat sepasang sepatu yang dipakai hanya sebelah, pasti kurang nyaman. Begitu pula dengan hijab, saat keluar rumah pasti terasa janggal,” jawab Iin kepada jurnalis Kebijakan.co.id melalui keterangan tertulisnya pada Rabu (7/12/2022).
Iin menambahkan, fenomena berhijab dan menggunakan pakaian tertutup untuk menghindari terjadinya berbagai tindakan kejahatan perempuan, seperti pelecehan seksual karena terpicu penampakan aurat. Terlebih lagi sesuai dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.
Iin menjelaskan bahwa fenomena perempuan mendapatkan ketidakadilan dari simbol agamanya berkaitan dengan aspek sejarah masuknya Islam di Indonesia. Dengan berbagai kepercayaan yang beragam, salah satunya kasta Sudra dalam Hindu yang tidak memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan kasta lain—paling banyak mengalami diskriminasi.
“Apalagi kalangan perempuannya yang pasrah dengan kondisi ketidakadilan maupun ketidaksetaraan yang dialaminya. Lalu, Islam datang membawa kesetaraan yang tidak ada perbedaan di mata Allah swt. kecuali ketakwaannya. Tiada perbedaan derajat antara bangsawan dan rakyat jelata—diskriminasi laki-laki dan perempuan,” paparnya, Rabu (7/12/2022).
“Islam datang membawa kesetaraan yang tidak ada perbedaan di mata Allah swt. kecuali ketakwaannya. Tiada perbedaan derajat antara bangsawan dan rakyat jelata—diskriminasi laki-laki dan perempuan.”
Iin Kandedes
Ia melanjutkan, pada awal masuknya Islam dengan sukarela dan tanpa paksaan, mereka pun berbondong-bondong menjadi mualaf. Hal tersebut juga terjadi saat ini, tiada paksaan bagi Muslimah Indonesia untuk mengenakan hijab dan busana syarinya—pemaksaan semata-mata karena pemahaman keagamaan, nyaman, dan aman.
Negara juga menjamin kebebasan menjalankan perintah agamanya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selain itu, kebebasan beragama dan menjalankan ajarannya termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kita harus menghormati keputusan seseorang yang ingin menggunakan hijab dan berbusana muslimah. Jadi, jangan pernah mengusik hak tersebut jika tidak ingin dicap sebagai orang yang melanggar HAM dan UUD 1945,” tegasnya pada Rabu (7/12/2022).
Iin juga menekankan bahwa bukan agama yang menjadi masalah ketidakadilan perempuan. Salah satu pokok ajaran Islam adalah mengakui persamaan antar manusia, baik laki-laki dan perempuan, suku, bangsa, atau keturunan.
Pendidikan dan Edukasi untuk Kesetaraan
Untuk mengakhiri praktik otoritas dan simbol agama yang menyebabkan perempuan di nomor duakan, Nana Nadiya mengemukakan bahwa lingkungan keluarga dan akses pendidikan sangat membawa pengaruh. Akses sekolah juga tidak cukup, perlunya akses terhadap pemenuhan informasi dan materi lain yang juga dibutuhkan murid sekolah. Pakaian tidak mencerminkan akhlak dan paham bahwa perempuan juga bisa berpendapat dan menjadi pemimpin kelas atau upacara.
“Saya seorang pengajar di taman pendidikan Alquran (TPQ) di Malang. Beberapa murid perempuan sekolah dasar (SD) yang saya ajarkan sering bercerita bahwa mereka sering merasa malu untuk berpendapat, malu saat berolahraga karena laki-laki lebih jago, dan terheran mengapa selalu laki-laki menjadi pemimpin upacara,” ceritanya pada Rabu (7/12/2022).
Nana juga memberikan langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pola pikir masyarakat terhadap fenomena ketidakadilan yang dialami perempuan dalam simbolis agamanya dengan menanamkan ilmu bersosial oleh orang tua dan guru sejak dini—pengajaran ilmu tersebut bukan berdasarkan kebiasaan dan konstruksi sosial turun-temurun
“Selanjutnya meramaikan media sosial dengan konten edukatif, terutama hal yang masih dianggap tabu oleh masyarakat. Dengan upaya menyebar dan mencari ilmu pengetahuan tambahan melalui berbagai media, kelompok muda bisa menyebarkan lebih luas ilmu dan edukasi kepada lingkungan keluarganya,” harapnya di akhir wawancara pada Rabu (7/12/2022).
Nana menyampaikan bahwa Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sudah memasukkan materi pendidikan seksual ke dalam kurikulum. Menurutnya tidak berjalan efektif dikarenakan tidak disediakannya waktu khusus untuk guru menjelaskan kepada muridnya di sekolah.
***
Selain itu, menurut Iin Kandedes, perlunya edukasi dan mendukung serta memberikan kesempatan yang sama untuk memberdayakan perempuan dalam menempuh pendidikan. Islam juga menjaga kaum perempuan dari segala yang menodai kehormatan, menjatuhkan wibawa, atau merendahkan martabatnya.
“Bagai mutiara yang mahal harganya, Islam menempatkan perempuan sebagai makhluk mulia yang harus dijaga. Semua syariat telah ditetapkan Allah swt. untuk menjaga dan memuliakan perempuan—sekaligus menjadi tatanan kehidupan lebih baik dan bersih dari berbagai perilaku menyimpang,” imbuhnya pada Rabu (7/12/2022).
Di akhir wawancara, Iin berpesan kepada muslimah untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya karena Allah swt. akan mengangkat derajat orang yang menuntut ilmu—berpeluang untuk mendapat kesempatan yang lebih luas dan sama dalam berbagai bidang kehidupan, juga berdaya secara ekonomi untuk mengantisipasi ketidakadilan dan diskriminasi perempuan.
Komitmen dan Peran KUPI dalam Perubahan Kebijakan Publik
Sumber: Fahmina Institute
Adanya masalah aktual yang terjadi khususnya kepada perempuan, mulai dari simbolisasi agama, diskriminasi, hingga kekerasan seksual. Sejalan dengan tujuan utama kongres KUPI II ini, yaitu merumuskan sikap dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia tentang isu-isu aktual dengan menggunakan paradigma –cara berpikir—dan metode yang diadopsi KUPI, salah satunya berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan.
Adapun rekomendasi hasil KUPI II di Jepara, salah satunya membahas bagaimana, “korban dalam kasus kekerasan seksual dan perkosaan acap kali tersudut, terstigma, dan terdiskriminasi oleh narasi patriarki atau kuasa laki-laki.”
Salah dua misalnya yang dibahas dalam KUPI II ini ialah, (1) perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, (2) perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan, dan (3) perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan.
“Alih-alih mendapatkan bantuan hukum, korban justru semakin terpinggirkan dan dikucilkan di tengah beban psikologis yang dialami. Oleh karena itu, negara harus memprioritasan regulasi yang berpihak pada korban,” Lanjut salah satu rekomendasi KUPI II.
“UU TPKS adalah salah satu perantara untuk merubah cara berpikir kuno dan mulai membuka kesadaran untuk berpihak pada korban. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus terlibat dalam memastikan tak ada lagi korban pemerkosaan dan kekrasan seksual yang terdiskriminasi,” Lanjut salah satu rekomendasi KUPI II.
Terkait UU TPKS misalnya, WCC Jombang juga berpesan kepada masyarakat sipil bersedia mendedikasikan dirinya untuk membantu semua perempuan dan kelompok rentan untuk tidak memulai konfrontasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual—mendukung Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) untuk basis intelektual mewujudkan masyarakat yang berkeadilan gender.
“Adapun jaringan KUPI harus gencar mengkaji nash-nash (naskah) berkaitan dengan kekerasan dan perkosaan dengan perspektif pengalaman perempuan. Karena tak jarang, marginalisasi (peminggiran) korban perkosaan justru dilegitimasi (di dukung) oleh narasi-narasi teks literaris yang tekstual.” Tutup point kedua rekomendasi KUPI II tersebut.
Dari kedelapan rekomendasi KUPI, sektor utamanya ada pada kebijakan pemerintah. KUPI dan Pemerintah harus membangun sinergi untuk membuat kebijakan publik atau regulasi yang berkeadilan gender.
Selain itu bukti sinergi KUPI dan Pemerintah, salah satunya ialah dorongan dari KUPI I di tahun 2017 yang bertempat di Cirebon, menurut Rosidin, Direktur Fahmina –salah satu pihak penyelenggara KUPI II- ialah, “KUPI I berhasil mendorong disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan peningkatan usia perkawinan,” ucap Rosyidin saat konfrensi pers (24/11/2022).
Selanjutnya KUPI juga akan mendorong dan mengadvokasi disahkannya RUU (Rancangan Undang-Undang) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sudah ada di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) sejak tahun 2004, namun tak kunjung disahkan. “Maka para ulama perempuan perlu merefleksikan sejumlah titik lemah dalam advokasi RUU PPRT,” ucap Rosidin.
Senada dengan itu, menurut Pera Sopariyanti, Direktur Rahima –salah satu penyelenggara KUPI II—mengatakan pekerja rumah tangga sangat rentan terhadap kekerasan seksual, oleh karenanya ulama perempuan bersepakat perlindungan terhadap pekerja rumah tangga adalah hal yang penting.
Perempuan harus berani lantang. Bersuara atas praktik yang lancang. Merubah budaya yang usang. Untuk masa depan perempuan yang lebih terang.