Hitam Bau Menahun Kali Lemahabang


Kebijakan.co.idLiputan Advokatif

Adi Fauzanto-19/09/2023 (23.00 WIB)-#2 Artikel.
LightDark
Kondisi Kali Lemahabang yang Tercemar

Terancamnya kesehatan warga di pinggiran kali yang menggunakan air tercemar, ditambah Pemerintah yang tidak tegas, dan perusahaan nakal ada di baliknya.

***

Baca Serial Liputannya Di Sini

Terancamnya Kesehatan Warga Kali Lemahabang


Kebijakan.co.id Liputan Advokatif

Adi Fauzanto-20/09/23 (17.00 WIB)-#18 Menit

Read in English Language Version

Kesehatan Warga Kabupaten Bekasi Terancam Pencemaran Kali Lemahabang

Terancamnya kesehatan warga di pinggiran kali yang menggunakan air tercemar, ditambah Pemerintah yang tidak tegas, dan perusahaan nakal ada di baliknya.

***

Bekasi, Kebijakan.co.id — Sore hari itu (12/09/2023) setelah bertemu dengan Andre, Petugas Operator Bendungan Kali Lemahabang, Jurnalis Kebijakan.co.id menyaksikan secara langsung, anak kecil mengusap wajah mukanya dengan air Kali Lemahabang yang hitam dan berbau tidak sedap, terlebih beberapa meter di depannya terdapat tumpukan sampah yang menumpuk terhalang jaring.

Terkait dengan anak-anak ini, juga dikonfirmasi oleh Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi –termasuk di dalamnya Kali Lemahabang— di bawah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Sahrudin kepada Kebijakan.co.id (15/09/2023), yang mengaku kasihan dengan kondisi anak-anak di sekitar, “Kami (pengelola bendungan) juga riskan (kasihan), apalagi ada anak-anak yang mandi, dengan kondisi air yang seperti ini.”

Selain itu juga dikonfirmasi oleh Perekayasa Utama Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Ikbal (Dr. Ir. M.Eng) kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023), yang menjelaskan bahaya ikan atau binatang lainnya yang dikonsumsi dari sungai yang tercemar oleh masyarakat sekitar, “Terutama (kepada) anak kecil, yang daya tahan tubuhnya masih kurang, termasuk ibu hamil, ibu menyusui, (mungkin) ibunya tahan (terhadap polutan) tapi anaknya tidak, karena polutan itu bisa tersimpan air susu.”

Selain anak kecil yang mengusap wajahnya dengan air yang tercemar, Jurnalis Kebijakan.co.id juga menyaksikan secara langsung air kali tersebut digunakan untuk menyuci pakaian dan mencuci alat makan yang umumnya dilakukan ibu-ibu.

Warga Kali Lemahabang
Warga mencuci kaki dengan air yang tercemar di Kali Lemahabang (Adi/Kebijakan.co.id)

Mereka adalah bagian dari masyarakat rentan, yang tinggal di desa-desa terdampak tercemarnya Kali Lemahabang. Jika dilihat secara geografis, Kali Lemahabang melintasi setidaknya 4 desa terdampak. Di antaranya, Desa Karangraharja, Desa Waluya, dan Desa Karangrahayu, ketiga desa ini termasuk dalam Kecamatan Cikarang Utara.

Sedangkan 1 desa lainnya berada di utara desa sebelumnya yang juga terdampak yaitu Desa Sukakarya, yang berada di Kecamatan Sukakarya.

Jika melihat Data Badan Pusat Statistik, di dua kecamatan tersebut terdapat kurang lebih (rata-rata) 89.000 anak berumur 0-19 tahun di Kecamatan Cikarang Utara dan 17.000 anak berumur 0-19 tahun di Kecamatan Sukakarya, anak-anak di dua kecamatan tersebut berpotensi terancam kesehatannya.

Secara nasional, menurut riset Save the Children Indonesia berjudul Generation Hope Report (2022) yang mensurvei 54.000 anak dari 41 negara terhadap dampak dari krisis iklim dan kemiskinan. Indonesia menempati urutan ke-9 –paling tinggi, paling riskan– anak yang memiliki ancaman ganda (krisis iklim dan kemiskinan).

Tentu, ini dihitung dari masyarakat yang paling rentan terdampak, yaitu anak. Belum lagi orang tua (ibu dan bapak), termasuk lanjut usia, dan dewasa.

Terancam Kesehatan Masyarakat

Tercemarnya air yang buruk, berpotensi menimbulkan masalah kesehatan. Dilansir dari HelloSehat.com yang telah ditinjau Mikhael Yosia (dr. BMedSci, PGCert, DTM&H) beberapa penyakit yang diakibatkan dari air yang tercemar di antaranya: Diare, Demam Berdarah, Tifus, Kolera, Hepatitis A, Disentri, dan Infeksi Mata.

Beberapa pernyakit tersebut dikonfirmasi oleh Diah Satyani Saminarsih, Direktur Eksekutif CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) –sebuah lembaga riset yang berfokus pada pembangunan sektor kesehatan dan sistem kesehatan— kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023).

Diah mengatakan, “Masyarakat yang terpapar air sungai tercemar bisa mengalami gatal-gatal, kolera, diare, skabies, tipes, demam, hingga hepatitis A.” Itu secara jangka pendek, secara jangka panjang menurutnya, “dapat memicu kerusakan sistem saraf, kanker, infeksi berulang pada anak dapat menghambat pertumbuhan anak dan berkontribusi pada stunting.”

Diah Satyani Saminarsih
Diah Satyani Saminarsih (Desman Mendrofa/Femina.co.id)

Dari beberapa penjelasan tersebut, terkonfirmasi melalui Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi pada tahun 2018 hingga 2022, yang menunjukan penyakit paling banyak diderita masyarakat Kabupaten Bekasi, dipengaruhi oleh lingkungan hidup yang buruk, di antaranya: Infeksi Pernafasan Atas Akut (ISPA), Diare, dan Penyakit Kulit.

Dalam Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi juga tercatat bahwa penyakit diare didominasi oleh kasus yang menimpa balita dibandingkan semua umur. Data tersebut menunjukan bahwa balita merupakan individu paling rentan terdampak diare akibat lingkungan yang buruk.

Hal tersebut tentu ada sangkut pautnya dengan tercemarnya air yang digunakan masyarakat sehari-hari.

Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Alamsyah saat ditemui Kebijakan.co.id (11/09/2023), ketika ditanya terkait pencemaran limbah di Kali Lemahabang, ia sudah mengantisipasi peristiwa ini terkait dengan kebutuhan air masyarakat, “Ini kekeringan (secara umum tidak terjadi hujan) bagaimana penyakit yang bisa muncul kalo masyarakat mengkonsumsi air yang tidak sehat,”

Alamsyah mengatakan dalam hal ini Dinas Kesehatan melakukan, “Minggu yang lalu, di hari kamis, kami mengumpulkan petugas survei kesehatan dan petugas ISPA-Diare terkait dengan bagaimana edukasi sosialiasi terkait kekeringan, terkait dengan konsumsi air yang tidak layak,” ucap kepala dinas yang juga sebagai dokter tersebut.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi
dr. Alamsyah, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi (Yulianto/Warta Kota)

***

Secara umum, diare sendiri secara pengertian dikutip dari Hellosehat yang ditinjau Andreas Wilson (dr.), ialah gangguan pencernaan yang ditandai dengan buang air besar encer tiga kali atau lebih dalam sehari akibat keracunan makanan, infeksi virus, atau pencernaan yang sensitif.

Salah satu penyebabnya menurut Halodoc yang ditinjau oleh Rizal Fadli (dr.), Infeksi Escherichia Coli (E.Coli) atau Salmonella akibat makanan atau minuman yang tidak steril atau telah terkontaminasi.

Beberapa wabah E.Coli juga berkaitan dengan ketersediaan air yang terkontaminasi. Selain itu penyebab lainnya, terjadi di masyarakat yang tidak memiliki sanitasi air dan makanan memadai.

Beberapa faktor yang memperparah ialah terkait usia, bahwa anak kecil dan lanjut usia beresiko tinggi terkena penyakit akibat E.Coli.

Untuk menghindar dari bakteri E.Coli yang menyebabkan diare ini, masyarakat perlu mencuci tangan hingga bersih dengan menggunakan air bersih sebelum memasak, menyajikan, atau mengonsumsi makanan.

Selain itu masyarakat perlu memperhatikan alat masak dan alat makan, dengan menghindari alat yang kotor dengan mengupayakan memakai peralatan masak dan peralatan makan yang bersih. Lalu, dianjurkan masyarakat sering mencuci tangan terutama setelah berada di lingkungan publik yang kotor dan setelah keluar dari toilet.

Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi, gejala diare sering terjadi pada anak-anak, terutama di daerah dengan sanitasi dan kebersihan yang buruk.

***

Penyakit diare tersebut diperparah dengan data Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Tahun 2022 di desa-desa terdampak Kali Lemahabang.

Data tersebut menunjukan masih terdapat keluarga yang memiliki sanitasi yang buruk sebanyak 1419 keluarga. Ditambah masih terdapat kondisi pembuangan akhir masyarakat secara sembarangan, baik yang tertutup berjumlah 483 keluarga, dan yang terbuka 2117 keluarga.

Dalam hal ini diperlukan lagi jumlah tenaga lingkungan atau sanitarian kepada desa-desa terdampak. Kabar baiknya, jumlah sanitarian Kabupaten Bekasi secara keseluruhan meningkat dari tahun 2018 hingga tahun 2022.

Fasilitas dan Program Kesehatan

Dari jumlah kasus diare yang meningkat dari tahun ke tahun tersebut, juga perlu dilihat akses terhadap fasilitas kesehatan di sekitar desa terdampak.

Mulai dari puskesmas, klinik, bidan (kesehatan umum). Kebijakan.co.id mencari tahu akses masyarakat di desa terdampak terhadap jumlah fasilitas kesehatan dengan menggunakan data terbuka Google Maps.

Kebijakan.co.id menemukan ketimpangan akses yang terjadi di antara satu dengan lainnya, perlu diperhatikan pemerintah dan pihak-pihak pemerhati kesehatan. Dalam hal ini secara umum, Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi juga memiliki data terkait fasilitas kesehatan di lingkup Kabupaten Bekasi.

***

Dari akses terhadap fasilitas kesehatan tersebut, selanjutnya diperlukan program khusus terkait dengan kebutuhan kesehatan masyarakat.

Menurut Diah Satyani Saminarsih, Direktur Eksekutif CISDI kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023), mengatakan, “Puskesmas semestinya giat melakukan penyuluhan dan atau memberikan edukasi kepada masyarakat.” Selain itu menurutnya, “puskesmas juga rutin melakukan pemantauan dan pemeriksaan kualitas air bersih di wilayah kerjanya, serta bekerja sama dengan masyarakat mengkampanyekan pentingnya kesehatan lingkungan.”

Pemerintah dalam hal ini melalui Dinas Kesehatan, menurut Alamsyah kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023) saat ditemui langsung menjelaskan, “Ini secara struktur ya, bahwa intervensi yang dilakukan Dinas Kesehatan itu (terhadap masalah lingkungan hidup).”

Di antaranya, pertama, sosialisasi dan edukasi terkait dengan kondisi air yang tidak sehat ketika terjadi kondisi kekeringan, “itu rutin dilakukan Puskesmas, di setiap minggon (rapat mingguan desa) desa maupun rapat mingguan kecamatan,” jelas Alamsyah. Lalu, mengumpulkan petugas kesehatan lingkungan untuk melakukan edukasi ke masyarakat.

Kedua, bekerjasama dan berkoordinasi antar lembaga pemerintah daerah dan lintas sektor yang lain untuk mengajak agar masyarakat menjaga lingkungan. Ketiga, mengadakan puskesmas keliling, untuk memeriksa kesehatan masyarakat secara langsung.

Namun dari ketiga hal tersebut Dinas Kesehatan menurut Alamsyah, hanya berfokus kepada individu baik pencegahan untuk tidak menggunakan air yang tercemar maupun tindakan kesehatan terhadap individu. Tidak sampai kepada limbahnya, “berbeda kewenangan (dengan DLH), akan tetapi tetap satu atap saling berkoordinasi,” ucap Alamsyah.

Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi
Kantor Dinas Kesehatan Bekasi (Adi/Kebijakan.co.id)

Dalam hal ini perusahaan atau industri yang membuang limbah ke Kali Lemahabang juga perlu bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat. Menurut Diah Satyani Saminarsih, Direktur Eksekutif CISDI kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023), “Sektor swasta dapat membantu dalam melakukan skrining kesehatan.”

Hal tersebut juga bisa dilakukan dalam menghitung kerugian warga akibat dari limbah yang ditimbulkan dengan biaya ke berobat ke rumah sakit, klinik, dan puskesmas. Seperti yang dilakukan WALHI Jawa Barat untuk menghitung valuasi ekonomi kerugian yang dialami masyarakat karena pencemaran limbah di anak Sungai Citarum, Sungai Cikijing.

“Kalau kami (WALHI Jawa Barat) sendiri pernah menghitung valuasi ekonomi dari pencemaran limbah industri (di Sungai Cikijing),” kata Meiki, Direktur Eksekutif WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jawa Barat kepada Kebijakan.co.id (6/09/2023) .

Pendidikan Kesehatan Lingkungan

Langkah preventif lainnya yang dilakukan ialah dengan melakukan pendidikan lingkungan kepada masyarakat, khususnya kepada anak-anak.

Menurut Diah Satyani Saminarsih, Direktur Eksekutif CISDI kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023), “Sebagai edukasi kepada masyarakat, pemerintah bisa mencoba menambahkan kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai pelajaran wajib sejak usia dini.”

Hal tersebut juga disetujui oleh Ghina Afifah, Pemerhati sekaligus Praktisi Pendidikan Lingkungan yang juga bergiat di Kader Hijau Muhammadiyah Komite Malang Raya, Ia menjelaskan kepada Kebijakan.co.id (07/09/2023), “Bisa dimasukan ke kurikulum mata pelajaran wajib.”

Ghina Afifah
Ghina Afifah (KHM Komite Malang Raya)

Ia mencontohkan dengan kondisi pendidikan di luar negeri, “Kalau di luar negeri (Australia), materi tentang lingkungan sudah masuk ke mata pelajaran geografi bahkan dari TK melalui praktek sederhana sehari-hari. Kalau untuk SD, salah satu yang dipelajari adalah tentang jejak karbon.”

Jika dilihat kembali ke Indonesia, menurut Ghina, “mungkin kalau mau dimasukan ke kurikulum (Indonesia) butuh waktu lama, jadi bisa dimulai lewat ekskul rutin setiap pekan.”

Untuk penerapan di Indonesia, menurut Shanta Rezkita dan Kristi dalam penelitiannya berjudul Pengintegrasian Pendidikan Lingkungan Hidup Membentuk Karakter Peduli Lingkungan di Sekolah Dasar (2018). Menurutnya, pengintegrasian pendidikan lingkungan hidup dilaksanakan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian intrakulikuler serta ekstrakulikuler, ditambah program-program sekolah.

Hal tersebut juga didukung oleh Kurikulum Merdeka, di mana penerapannya pembelajar melalui kegiatan projek kepada murid untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual, termasuk masalah lingkungan hidup di sekitar.

Selain itu tantangannya dari tenaga pendidik, menurut Ghina, “Mulai menyediakan fasilitas yang memudahkan murid untuk menerapkan aktivitas peduli lingkungan (seperti menyediakan galon isi ulang, tempat pemilahan sampah, kantin bebas kantong plastik, dll).”

Dalam hal ini Kebijakan.co.id, mendata sekolah-sekolah di sekitar Desa terdampak pencemaran Kali Lemahabang menggunakan Google Maps. Kebijakan.co.id juga sudah memohonkan surat wawancara kepada salah satu sekolah di bantaran Kali Lemahabang, namun sampai saat ini surat tersebut belum mendapatkan respon (12/09/2023).

Dalam hal ini Dinas Kesehatan, juga sudah melakukan intervensi kepada kesehatan di sekolah, Alamsyah mengatakan, “Termasuk, ketika di sekolah, (Dinas Kesehatan) melakukan penjaringan di sekolah (melalui Puskesmas) maupun kunjungan UKS (Unit Kesehatan Siswa) dan itu terintegrasi pekerjaannya,” Selain itu, “Di Sekolah itu ada kader kesehatan, ada itu dokter kecil, ada tenaga UKS siswa.”

Selain di dalam kurikulum sekolah, perlu juga pendidikan lingkungan ditanamkan di dalam keluarga atau luar sekolah, menurut Ghina Afifah kepada Kebijakan.co.id (07/09/2023), terkait hal ini, “yang pertama sebetulnya anak-anak harus dipahamkan terkait efek buruk dari lingkungan yang tercemar. (Sehingga menimbulkan pertanyaan) apa yang akan terjadi kedepannya, siapa yang terdampak.”

Selain itu menurut Ghina, “Mereka juga harus dipahamkan, apa yang menyebabkan lingkungan mereka tercemar. Sehingga mereka bisa memulai kegiatan mitigasi.”

Akan tetapi, menurut Syifa Fitriani, dari Save the Children Indonesia dikutip dari Kompas.id (24/09/2023) mengatakan, “Dari kajian Save the Children Indonesia, isu dampak dari perubahan iklim belum banyak dibahas di sekolah maupun lingkungan tempat tinggal.”

Namun, menurutnya masih ada harapan dan tantangan, “Anak-anak tahu bencana alam itu buruk, tetapi mereka belum memahami bahwa mereka bisa membantu mencegah dengan perubahan gaya hidup, misalnya mengelola sampah.”

Setidaknya dengan gambaran pendidikan seperti itu menimbulkan kesadaran dan budaya bersih sejak dini, yang nantinya berefek jangka panjang, baik itu di masyarakat, pemerintah, maupun perusahaan industri.

Infografis Kali Lemahabang

“Kesehatan merupakan aspek penting kehidupan, mereka harus menjadi tanggung jawab seluruh pihak. Tidak terkecuali Pemerintah yang memiliki kewenangan besar untuk memelihara kesehatan warganya dari penyakit yang ditimbulkan limbah perusahaan.”

Kebijakan.co.id

Baca Versi PDF-nya: Terancamnya Kesehatan Warga Kali Lemahabang

Baca Serial Liputan Advokatif "Hitam Bau Menahun Kali Lemahabang" Lainnya:

• Hitam Bau Menahun Kali LemahabangTerancamnya Kesehatan Warga Kali Lemahabang
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 20 September 2023
Pukul: 17.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Shylma Na'imah (ditinjau Mikhael Yosia), Berbagai Masalah Kesehatan Akibat Pencemaran Air di Indonesia, Hellosehat.com, 23 November 2021 Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi, Tahun 2018-2022Karinta Ariani Setiaputri (ditinjau Andreas Wilson), Diare, Hellosehat.com, 23 Maret 2023Rizal Fadli, E Coli, Halodoc.comShanta Rezkita dan Kristi Wardani, Pengintegrasian Pendidikan Lingkungan Hidup Membentuk Karakter Peduli Lingkungan di Sekolah Dasar, Jurnal Trirahayu, Vol. 4 No. 2, 2018Laraswati Ariadne Anwar, Diplomasi Hijau UE untuk Masyarakat Indonesia, Kompas.id, 24 September 2023Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum Merdeka Jadi Jawaban untuk Atasi Krisis Pembelajaran, 11 Februari 2022
Liputan Mendalam

Hitam Bau Menahun Kali Lemahabang


Kebijakan.co.id Liputan Advokatif

Adi Fauzanto-19/09/23 (23.00 WIB)-#18 Menit.

Read in English Language Version

Kondisi Kali Lemahabang yang Tercemar

Terancamnya kesehatan warga di pinggiran kali yang menggunakan air tercemar, ditambah Pemerintah yang tidak tegas, dan perusahaan nakal ada di baliknya.

***

Bekasi, Kebijakan.co.id – Suram. Ialah kata pertama yang pantas menggambarkan kondisi Kali Lemahabang (biasa disebut juga Cilemahabang) di Kabupaten Bekasi. Bertahun-tahun –terhitung sejak 2016— hingga saat ini (16/09/2023) sejauh pengamatan Jurnalis Kebijakan.co.id.

Masyarakat dibiarkan hidup berdampingan dengan limbah yang bau nan hitam pekat di salah satu kali –yang juga menjadi sumber kehidupan akan kebutuhan air— di daerah industri terbesar se-Asean. Perusahaan dan khususnya Pemerintah terkesan lepas tangan membiarkan limbah tersebut ada.

Sore hari (4/9/2023) dengan menggunakan sepeda motor, Jurnalis Kebijakan.co.id menyusuri jalan untuk pertama kalinya menuju Kali Lemahabang, dengan pemandangan yang timpang antara Grand Cikarang City –sebuah perumahan elite beserta jajaran ruko mewah— dan penduduk di sepanjang Kali Lemahabang, tampak seperti cuplikan film Parasite (2019) dengan kondisi yang persis berdampingan di Desa Karangraharja.

Bertemu dengan pemancing –yang memancing di air yang tercemar—, pemuda yang sedang mencuci sepeda motornya memanfaatkan air kali yang tercemar, beberapa masyarakat yang membersihkan diri menggunakan air yang tercemar, terlebih anak-anak yang berlarian di sepanjang jalan pinggir Kali Lemahabang. Pertanyaan yang muncul di benak pertama kali, mulai dari kapan Kali ini tercemar?

Batu Bendungan Kali Lemahabang
Bendung Kali Lemahabang (Adi/Kebijakan.co.id)

Mulai Tercemar

Jurnalis Kebijakan.co.id meilipir untuk membeli makan di sebuah warung, yang tampak airnya untuk mencuci piring, air tanah tersebut bercampur dengan limbah, walau masih terlihat bening. “Ini parahnya sudah 2 tahun terakhir,” cerita Ibu pemilik warung tersebut kepada Kebijakan.co.id (4/9/2023), “dulu sih pernah bersih, kalau itempun tidak lama, mulai parah pas covid-covid itu.” Ibu itu merupakan salah satu warga Desa Karangraharja yang tinggal di bantaran Kali Lemahabang.

Terkait dengan Kali yang sempat bersih, diceritakan juga oleh warga Desa Waluya, Rosiadi, yang sebelumnya juga tinggal di Desa Karangraharja selama 10 tahun.

Ia bercerita sembari melihat motor lalu lalang di samping Bendungan Kali Lemahabang. “Waktu dulu begini (tercemar), sempet didemo,” akhirnya, “sempat bersih pas waktu almarhum (Bupati Kabupaten Bekasi, Eka Supria Atmaja) masih hidup tuh, bersih itu, sampe ada seminggu, sampe bersih bener, nah setelah meninggal (di tahun 2021) (lalu) ganti (kepemimpinan), begini lagi (tercemar sampe sekarang),” cerita Rosiadi kepada Kebijakan.co.id (9/9/2023).

Jika menurut kedua warga dari dua desa –Desa Karangraharja dan Desa Waluya– tersebut terjadi cukup parah dari 2 tahun terakhir, yaitu tahun 2021. Pada tahun 2021 juga tercatat 1217 Desa/Kelurahan yang airnya tercemar di Jawa Barat.

Jika dilihat lagi secara spasial, dari Google Earth mencatat Februari 2019 tidak tercemar dan berwarna coklat dan 2021 mulai menghitam (hijau kehitaman).

Dari keterangan Rosiadi dan keterbatasan Google Earth belum secara jelas menceritakan dan menampilkan awal mula tercemar. Untuk mencari tahu mulai dari kapan, Kebijakan.co.id mewawancarai Pengelola Bendungan Kali Lemahabang di bawah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, “Ini sejak saya dipindahkan ke sini (Bendungan Kali Lemahabang), tahun 2018,” Kata Andre, petugas Operator Kali Lemahabang kepada Kebijakan.co.id (12/09/2023).

Sampai-sampai dia bingung, “Kok bisa seperti ini ya?” kata Andre sambil menceritakan kondisi penempatan operator bendungan sebelumnya yang lebih jernih di Bendungan Walahar, Karawang.

Kekagetan ini juga datang dari atasannya yaitu Sahrudin, Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi –termasuk di dalamnya Kali Lemahabang— di bawah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi. Ia menyampaikan kekagetan tersebut kepada Kebijakan.co.id (15/09/2023) saat pertama kali berkunjung ke Kali Lemahabang setahun yang lalu, “waduh kok Kali hitam begini dibuat mandi, apa tidak gatel?” Sebelumnya Sahrudin ditugaskan di induk pengelola Kalimalang, yang tidak tercemar parah seperti Kali Lemahabang.

Selain kekagetan, Andre juga mengkonfirmasi terkait dengan kondisi tercemarnya Kali Lemahabang, yang sempat bersih, “Waktu itu sempat bersih selama dua minggu sampai seminggu, abis itu balik lagi, yang pas hujan, jadi bau lagi,” dan kondisi parah akhir-akhir ini, “Hanya baru akhir-akhir tahun ini kondisinya terjadi pencemaran yang lama, sebelumnya hanya beberapa kali (waktu),” ucapnya kepada Kebijakan.co.id.

Terkait limbah turun bersamaan dengan hujan, hal tersebut juga dikonfirmasi oleh warga sekitar, Siti dilansir dari Antara (14/6/2023), “Jadi baunya itu pas musim hujan. Jadi kalau hujan, sepertinya limbahnya dibuang.”

Selain Siti, dikonfirmasi juga oleh warga lainnya, Adih, dilansir dari Tribun Bekasi (4/10/2021), “Beberapa hari lalu kan hujan pas malam, nah mulai dari situ besok paginya sudah berbusa.”

Pola yang terjadi selain hujan, ialah ketika malam hari. Salah seorang warga Desa Karangasih, Dien mengatakan yang dilansir dari Tribun Bekasi (4/10/2021), “Itu malam (hari) saya liat sendiri, awalnya ya bersih warna hijau, terus airnya surut, lama-lama air warna hitam datang kecampur.”

Pola tersebut dikonfirmasi oleh Perekayasan Utama di Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Ikbal (Dr. Ir. M.Eng), yang juga ahli dalam teknologi pengolahan air limbah anaerobik, ia menjelaskan kepada Kebijakan.co.id ketika ditemui di Puspiptek, Serpong (11/09/2023). Ia menjelaskan bahwasannya sungai mulai tercemar ketika hujan turun dan pada saat malam hari, “malam dia (industri nakal) buang (limbah), atau lagi hujan (limbah) di gelontorkan,” ceritanya terkait industri yang nakal saat membuang limbah.

Dari hal tersebut belum menjawab kapan pertama kali Kali Lemahabang mulai tercemar?

Pantauan Kebijakan.co.id terhadap pemberitaan yang ada, tercatat berita pertama tercemarnya Kali Lemahabang ialah pada bulan Januari, tahun 2017. Menurut Suwanda Halim, dikutip dari Antara (5/1/2017), selaku Supervisor Sungai dan Irigasi PJT II Lemahabang, mengatakan, “Bau menyengat dan warna hitam pada air itu, diketahui terjadi dalam beberapa bulan terakhir.” Berarti Kali Lemahabang tercatat tercemar sejak dari tahun 2016.

Untuk benar-benar memastikan sejak kapan tercemarnya, dugaan besar tersebut terdapat dalam data Dinas Lingkungan Kabupaten Bekasi. Kebijakan.co.id dalam hal ini sudah mengirim surat permohonan wawancara tertanggal 5 September 2023 untuk memverifikasi hal tersebut.

Tercemar

Untuk mengidentifikasi sungai tercemar, secara ringkas ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) dalam bukunya Memulihkan Sungai Sebuah Panduan Umpan Balik dan Partisipasi Komunitas (2017), memberikan sebuah pertanyaan mendasar untuk mendekteksi bahwa suatu sungai mengalami pencemaran.

  1. Apakah air di sungai berwarna yang tidak wajar (selain berwarna bening)?
  2. Apakah air di sungai berbau (berbau tidak sedap)?
  3. Apakah pernah melihat ikan-ikan atau binatang air lainnya mati dalam jumlah besar di sungai tersebut?
  4. Apakah terjadi penurunan produksi hasil alam (seperti padi) atau penurunan hasil panen perikanan di wilayah sekitar sungai?
  5. Apakah ada peningkatan keluhan kesehatan oleh masyarakat di sekitar sungai?

Sejak 2016, tercatat pencemaran limbah berwarna hitam pekat dan berbau tidak sedap, sama seperti saat Jurnalis Kebijakan.co.id berkunjung pertama kali ke Kali Lemahabang (4/9/2023).

“Ini kalau pegang tangan (dicelupin ke dalam Kali Lemahabang) itu baunya nggak ilang-ilang, sama kaya tangan dicelupin ke lumpur, harus dibilas dulu pake air bersih, kalau orang sini udah biasa,” cerita Rosiadi (9/9/2023) terkait kondisi airnya, sedangkan kondisi baunya, “Kalo orang-orang baru (pendatang), kecium bau banget, kalau kita (masyarakat) mah udah biasa di sini.”

Kondisi Kali Lemahabang
Kondisi Anak Kali Lemahabang (Adi/Kebijakan.co.id)

Terkait kondisi air yang seperti ini, menurut Perekayasa Utama BRIN, Ikbal, menjelaskan kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023), “Untuk mengenal sungai tersebut tercemar sangat sangat mudah sekali dikenali dari warna airnya, yaitu hitam, butek (keruh), berbusa, dan berbau, sudah bisa dipastikan sungai tersebut tercemar, tanpa perlu kita melihat polutan dan tanpa perlu pengujian.”

Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Peneliti ECOTON (Ecological Observation and Wetland Conservation), yang juga pelaku Ekspedisi Sungai Nusantara, Amiruddin Mutaqqin (S.T., M.Si.) yang menjelaskan kepada Kebijakan.co.id (7/9/2023), bahwa secara kasat mata, “air yang di duga mengalami pencemaran akan terlihat perubahan warna menjadi (hitam, merah, putih atau coklat).”

Sedangkan untuk bau yang tidak sedap, “menjadi indikator sungai sedang mengalami pencemaran, karena mikroorganisme pengurai di air tidak mampu menetralisir beban pencemaran yang masuk ke dalam sungai,” ungkap Amiruddin.

Secara kasat mata, terbukti bahwa Kali Lemahabang tercemar. Akan tetapi perlu adanya uji laboratorium untuk membuktikan bahwa Kali Lemahabang tercemar limbah. Di tahun 2019, Perum Jasa Tirta (PJT) II Lemahabang, Suwandi Halim, mengirimkan contoh air Kali Lemahabang kepada Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Bekasi untuk diuji di laboratorium, “Hasil uji lab positif tercemar,” ucap Suwandi dilansir dari Saluran8.com (2/1/2019).

Di tahun 2017 dilansir Antara (5/1/2017), Suwandi Halim juga pernah melakukan uji lab terhadap contoh air Kali Lemahabang di Laboratorium Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Bekasi, dari contoh air yang diuji terbukti mengandung logam, pewarna, dan juga bahan kimia.

Penyebab Tercemar

Setelah mengetahui bahwa sungai tersebut tercemar, lalu apa yang menyebabkan Kali Lemahabang tercemar limbah?

Dari beberapa keterangan narasumber, keseluruhannya hanya bersifat dugaan. Dugaan Andre, Operator Bendungan Kalilemahabang (12/09/2023), yang sudah bekerja di sana selama 5 tahun berjalan, ialah limbah tekstil. Hal tersebut juga diduga oleh Peneliti ECOTON, Amiruddin Mutaqqin (7/9/2023), yang melihat potongan video yang Kebijakan.co.id kirimkan, yaitu limbah tekstil (pakaian), ditambah limbah pabrik kertas.

Selain limbah tekstil, menurut dugaan warga sekitar, menurut Itas dilansir dari Antara  (14/6/2023), menduga ini berasal dari limbah oli, “bau menyengat, sering juga bau oli.”  

Menurut dugaan Perekayasa Utama BRIN, Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih, Ikbal (11/09/2023), yang melihat potongan video yang Kebijakan.co.id tunjukan, dengan melihat secara kasat mata, bahwa itu merupakan limbah organik padat (bahan yang dapat terurai) yang mengendap di dasar sungai, seperti sisa makanan industri, sisa pakaian industri –bukan logam, besi, atau sejenisnya— yang melebihi baku matu mikroorganisme di kali tersebut karena terjadi terus menerus.  

Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi / Puspiptek, Serpong (Adi/Kebijakan.co.id)

Limbah organik yang mengendap di dasar sungai tersebut, lalu mengalami proses anaerob (penguraian oleh mikroorganisme karena tidak mendapatkan oksigen dari matahari yang tertutup hitam pekat warna sungai atau tanpa udara), dari proses tersebut, “menjadi senyawa asam organik, terbentuklah gas yang menghasilkan bau, seperti gas Amonia, gas Sulfida yang berbentuk gelembung-gelembung di permukaan,” ucap lulusan doktoral di negeri matahari terbit tersebut.

Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Peneliti ECOTON, Amiruddin Mutaqqin (7/9/2023), bahwa, “jumlah beban pencemaran jauh lebih besar dari pada mikroorganisme pengurai di dalam sungai.”

Apapun itu, yang pasti ini dihasilkan dari industri. Dugaan tersebut tentu sangat beralasan jika merujuk kepada data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, jumlah pertumbuhan industri besar hingga sedang di Kabupaten Bekasi meningkat dari tahun ke tahun antara 2003 hingga 2014. Di tahun 2003 tercatat terdapat industri besar hingga sedang berjumlah 740 naik signifikan di tahun 2014 sebanyak 1143 industri besar menengah hingga sedang.

Hal tersebut tentu mendukung klaim bahwa Cikarang merupakan kawasan industri terbesar se-Asean. Data lainnya yang mendukung tersebut, data kawasan industri yang dipublikasi oleh Kementerian Perindustrian, yang mencatat total kawasan industri di Kabupaten Bekasi sebesar 7000 Hektare.

Data tersebut diperkuat oleh keterangan Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi, Sahrudin, ia menyampaikan kepada Kebijakan.co.id (15/09/2023), bahwa “pas saya survei ke sana (hulu Kali Lemahabang), dari hulunya (daerah industri Jababeka dan sekitarnya) saja sudah hitam, ditambah sekarang musim kemarau panjang.”

Akan tetapi Sahrudin juga mengatakan, hal tersebut disebabkan karena jumlah debit air berkurang, “dari hulu biasanya 2 kubik (2000 liter per detik) dari hulu, sekarang cuma 400 liter (per detik), tidak seimbang dengan pembuangan masyarakat (dan industri), makanya sudah hitam dari hulu,” jelas pria yang baru 1 tahun dipindahkan sebagai Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi kepada Kebijakan.co.id.

Hal tersebut diperparah beban Kali Lemahabang, yang menurut Andre, petugas Operator Bendungan Kali Lemahabang kepada Kebijakan.co.id, “hampir seluruh industri di (Kabupaten) Bekasi, masuknya (limbah) ke Kali Lemahabang (Cikarang).”

Ditambah keterangan oleh Penjabat (PJ) Bupati Bekasi, Dani Ramdan, “Yang berizin (hanya) ada 13 perusahaan (saja di seluruh Kabupaten Bekasi), lainnya tidak. Maka dari itu, hasil yang berizin ini harus ada uji laboratoriumnya, karena dia harus ada IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah)-nya,” kata Dani saat dikonfirmasi, yang dilansir Tribun Bekasi (2/10/2021).

Hal tersebut dikatakan berdasar kepada rapat koordinasi yang dilakukan jajaran Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu), yang terdiri dari unsur Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, dan Polresta Bekasi. Dari rapat koordinasi tersebut, tercatat hanya 13 perusahaan saja yang mengantongi izin membuang limbah ke sungai.

Mengatasi Kali Tercemar ala Pemerintah

Dari penjelasan sebelumnya tercatat dari sejak tahun 2017, 6 tahun berjalan hingga saat ini, limbah di Kali Lemahabang belum kunjung ditangani secara serius oleh Pemerintah, terlebih kesadaran para Perusahaan. Yang dibuktikan dengan masih hitamnya Kali Lemahabang hingga saat ini (16/09/2023).

Menurut Meiki Wemly Paendong, Direktur Eksekutif WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jawa Barat, mengatakan kepada Kebijakan.co.id (6/09/2023) bahwa, “Pencemaran ini, patut diduga atau besar kemungkinan tidak ada sistem pengendalian, pengawasan (limbah tercemar) yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi.”

Wawancara Adi Fauzanto dengan Meiki, WALHI Jawa Barat
Wawancara Kebijakan.co.id dengan WALHI Jawa Barat (Adi/Kebijakan.co.id)

Terkait dengan tidak adanya sistem pengawasan Pemerintah Kabupaten Bekasi, hal tersebut dibantah oleh Pengawas Operator Bendungan Kali Lemahabang, Sahrudin saat Kebijakan.co.id (15/09/2023) konfirmasi, “Banyak sekali upaya-upaya kami (Operator Bendungan) dengan (Dinas) LH (Lingkungan Hidup), terkait air item begini mengadakan rapat yang dimpimpin oleh Dinas LH Kabupaten (Bekasi), mengumpulkan industri-industri yang ada di hulu (Kali Lemahabang).”

Namun setelah ditanya lebih lanjut oleh Kebijakan.co.id terkait industri apa saja yang terlibat di dalamnya, Sahrudin tidak mengetahui lebih detail.

Selain itu menurut Sahrudin, pengelola bendungan Kali Lemahabang bersama Dinas Lingkungan Hidup berupaya untuk mengatasi limbah padat dari masyarakat, berupa sampah, yaitu dengan melakukan pasang jaring di setiap RT di setiap Desa, “untuk mengantisipasi sampah tersebut mengalir ke belakang (hilir Kali Lemahabang).”

Segala upaya telah dilakukan, seperti sosialisasi kepada warga-warga dan memberikan karung untuk tempat sampah, “yang setiap hari Jumat, diangkut secara khusus oleh Dinas Lingkungan Hidup.” Hal tersebut tentu solusi individual –atau bergantung kepada individu atau masyrakat perorangan.

Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Sekretaris Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi saat ditemui oleh Kebijakan.co.id, yang bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup, BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), Kecamatan, Desa, dan pihak-pihak lainnya, untuk mengangkat sampah Kali Lemahabang, “Waktu malam kita ngangkat sampah, sekitar 2 bulan yang lalu, sampah kan numpuk tuh kita angkut.”

Namun, solusi individual di masyarakat atau pengangkatan sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup bukan solusi jangka panjang dan terstruktur –mulai dari perusahaan, hingga kepada masyarakat.

Usaha-usaha penegakan hukumpun sudah dilakukan, mulai dari memberikan sanksi, “Kami akan berikan sanksi tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena ini merupakan pelanggaran pidana lingkungan,” kata Penjabat Bupati Bekasi, Dani Ramdan dilansir dari Independensi.com, (7/9/2021).

Lalu membentuk Tim Penegakan Hukum Terpadu atau Gakkumdu, menurut Kepala Seksi Penegakan Hukum Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, David, “Sedang disusun keanggotaannya, ada penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, hingga kejaksaan. Kami segera turun, sidak ke lapangan,” ungkap David dilansir dari WestJavaToday.com, (8/9/2021).

Lalu ingin mengumumkan nama-nama perusahaan nakal yang membuang limbah ke Kali Cilemahabang. “Bila terbukti dan dalam beberapakali teguran tidak menggubris maka akan kita umumkan,” ucap Penjabat Bupati Bekasi, Dani Ramdan dilansir dari Pikiran Rakyat, (10/9/2021).

Hingga meninjau langsung atau sidak ke lapangan, “Kami telah menurunkan tim dari bidang penegakan hukum, namun sangat disayangkan saat sampai ke lokasi itu debit air sedang tinggi, arus deras. Dugaan limbah oli yang mencemari drainase tidak bisa ditemukan,” ucap Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Syafri Doni Sirait dilansir dari Antara, (14/6/2023).

Akan tetapi tampaknya hasilnya tidak ada perubahan. Baik dari sanksi yang tegas, hasil pembentukan Gakkumdu, mengumumkan nama-nama perusahaan pencemar limbah, hingga meninjau langsung ke lapangan.

Solusi Lain: Laporan Berkala, IPAL, dan Class Action

Selain solusi ala Pemerintah yang cenderung individual dan ingin menegakan peraturan tersebut tidak berhasil.

Dari ketidakberhasilan tersebut, ada beberapa saran di antaranya, menurut Meiki, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat kepada Kebijakan.co.id (6/9/2023), dalam hal ini memberikan sebuah solusi yang memang sudah diatur, menurutnya, Dicek ulang daftar nama industri yang limbah buang cair ke Kali Lemahabang.”

Setelah dicek ulang, cek laporannya, “ada laporan juga, industri ini seharusnya juga harus melaporkan upaya pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan.”

Dari laporan tersebut apakah dikelola limbah cairnya, “termasuk upaya mereka (industri) dalam mengelola limbah cairnya,” selain itu, “apakah perusahaan ini rutin memberikan laporan? … itu harus memberikan per 6 bulan (semester), ada yang per 3 bulan yang diberikan kepada Dinas Lingkungan Hidup.” Laporan tersebut menunjukan apakah limbah sudah dikelola atau belum, “dengan melakukan pengecekan atau pembuktian langsung di lapangan.”

Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Perekayasa Utama BRIN, Ikbal mengatakan kepada Kebijakan.co.id, “Dalam aturan perusahaan itu selain itu pengelolaan (limbah) ada juga pelaporan berkala, yang 3 bulan sekali, seminggu sekali, dan melakukan analisa air limbah itu sebulan sekali lalu dilaporkan 3 bulan sekali ke DLH,” lalu dari situ DLH bisa melakukan pengecekan, “ada ga yang melanggar (laporan tersebut)? sekali dua kali bisa sanksi teguran atau administrasi. Bahkan bisa juga menutup karena (DLH) memiliki kewenangan,” ujar Ikbal yang juga Komisi Penilai Amdal DKI Jakarta untuk limbah cair.

Berdasarkan peraturan terbaru, Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Izin Lingkungan, pelaporan setiap 6 bulan sekali terdapat pada Pasal 100 ayat (5). Dalam hal ini Kebijakan.co.id merangkum beberapa aturan hukum dari Undang-Undang hingga kepada Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi terkait pelaporan dan pengelolaan limbah cair.

Dokumen Hukum Pengeolahan Limbah Kabupaten Bekasi
Diolah: Adi Fauzan

Terkait dengan laporan, menurut Meiki, Direktur Eksekutif WALHI kepada Kebijakan.co.id (6/9/2023), dokumen laporan itu seharusnya secara serta merta dibuka untuk masyarakat agar bisa dilihat di halaman resmi DLH, “kan dampaknya ke publik (masyarakat).” Sebab, “tanpa diminta harusnya sudah disajikan di website.” Tidak hanya pemerintah, dalam hal ini perusahaan juga, “itu perusahaan-perusahaanpun juga harus menunjukannya pada publik.”

Kebijakan.co.id berusaha mencari dokumen laporan terkait pengelolaan limbah, yang ditemukan dalam Open Data Kabupaten Bekasi hanya ditemukan statistik jumlah pelaporan pengawasan yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi berjumlah 69 laporan. Selain Open Data Kabupaten Bekasi yang terintegrasi, Dinas Lingkungan Hidup tidak memiliki halaman resmi untuk informasi publik lainnya.

Selain mencari dokumen Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Kebijakan.co.id berusaha mencari dokumen laporan terkait pengelolaan limbah yang terdapat dalam Kawasan Industri Jababeka, yang dikelola oleh PT Kawasan Industri Jababeka Tbk dan Kawasan Industri LIPPO Cikarang yang dikelola oleh PT Lippo Cikarang Tbk. Dua kawasan industri tersebut, merupakan yang terbesar di Kabupaten Bekasi mencapai total luas 3.239,97 Hektare.

Kedua kawasan tersebut, secara berkala memberikan informasi publik secara menahun. Akan tetapi, tidak semua laporan menunjukan limbah yang dikeluarkan, tercatat baru pada tahun 2019 yang menunjukan laporan terkait pembuangan limbah secara statistik.

Laporan berkala tersebut, juga perlu didukung oleh teknologi monitoring. Menurut Perekayasa Utama BRIN, Ikbal kepada Kebijakan.co.id, perlu memang ada teknologi yang melaporkan kondisi sungai secara berkala melalui digital online, seperti laporan berkala pada kondisi polutan di udara.

“Misalnya, ada industri yang kita curigai, yang nakal, di tempat pembuang (limbah) itu kita kasih sensor, dipantau itu, termonitor.”  Lalu bisa dilihat melalui waktu tertentu, “oh tanggal (jam tertentu) segini kok melonjak, anda (perusahaan) tanggal segini kok (buang limbah) dari data saya, jadi gak bisa ngelak (berkelit).”

Jadi menurut Ikbal, bisa sesuai antara pengaduan masyarakat terkait limbah yang dibuang ketika hujan atau malam hari atau kondisi tertentu, dengan data sensor pemerintah yang melaporkan secara berkala kondisi limbah di sungai.

***

Itu adalah langkah pertama yang bisa dilakukan. Langkah keduanya ialah memperbaiki IPAL perusahaan industri yang membuang limbah ke dalam Kali Lemahabang.

Menurut Peneliti ECOTON, Amiruddin Mutaqqin kepada Kebijakan.co.id, terkait teknologi IPAL mengatakan bahwa, “Teknologinya harus bagus dan didesign yang benar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik limbah yang di hasilkan oleh industri.”

ECOTON
Peneliti ECOTON (Media Indonesia/Sumaryanto Bronto)

Jika itu tidak bisa dilakukan, yaitu dengan membuat alternatif, “Membuat IPAL komunal,” akan tetapi ada dampaknya, “akan membuat tiap perusahaan industri menjadi tidak bertanggung jawab terhadap limbahnya masing-masing,” serta lepas tanggung jawab dalam pengelolaan, “biayanya IPAL komunal menjadi tanggung jawab siapa?”

Terkait dengan teknologi yang sesuai dengan karakteristik limbah, menurut Ikbal, Perekayasan Utama BRIN kepada Kebijakan.co.id, “Sistem IPAL-nya harus disesuaikan dengan karakteristik limbah cair yang dikeluarkan dari industri.”

Misalnya, “limbah organik itu harus disusun IPAL-nya dengan proses biologi yang alamiah akan mengurai limbah tersebut.” Diperlukan perlakuan khusus, “itu harus dirawat seperti makhluk hidup pada umumnya, (perlu) harus ada divisi khusus.”

Selain itu, “ada limbah anorganik, itu harus diolah dengan proses kimia-fisika dengan proses pengendapan, penyaringan, dan penguapan.” Pada intinya terkait limbah anorganik, “air limbah tersebut harus dipisahkan dari material anorganik seperti besi, logam, dan sebagainya agar tidak tercampur ketika dibuang ke sungai.”

Jenis Limbah
Diolah: Adi Fauzanto

Selain teknologi yang sesuai dengan karakteristik limbah, perlu dilihat juga kapasitas pengolah limbah tersebut, “Kapasitas IPAL, air limbahnya berapa yang dikeluarkan harus disesuaikan dengan kapasitas perancangan, harus juga dipersiapkan (jika terjadi) pertumbuhan industri tersebut, jangan sampai limbahnya bertambah akan tetapi kapasitas IPAL-nya tidak ditambah.”

Terkait dengan kedua hal tersebut, “Banyak teknologi dari konsultan yang ditawarkan akan tetapi tidak cocok dengan limbah industri, itu harus hati-hati dengan pemilihan IPAL, banyak yang gagal dibangun dengan biaya tinggi.”

Terkait dengan biaya tinggi, Direktur Eksekutif WALHI, Meiki kepada Kebijakan.co.id,  dalam hal ini memiliki informasi terkait pengalaman di salah satu perusahaan yang tidak boleh lagi membuang limbahnya ke sungai di salah satu anak Sungai Citarum, yaitu Sungai Cikijing. “Secara teknis jadi limbahnya diangkut, mereka (perusahaan) menyewa pihak ketiga untuk mengangkut.”

Akan tetapi karena biayanya lebih mahal, “mereka membandingkan lebih murah mengaktifkan IPAL mereka daripada menggunakan pihak ketiga untuk membuang limbah.” Akhirnya perusahaan tersebut, “mengajukan izin kembali, mengurus kembali, harus mengikuti peraturan teknis yang diberikan oleh Kabupaten Sumedang.”

Pada intinya, semua pihak termasuk perusahaan harus memiliki komitmen, seperti apa yang disampaikan oleh Ikbal, Perekayasan Utama BRIN kepada Kebijakan.co.id, “Harus ada komitmen, semua air (limbah) yang masuk ke sungai itu harus diolah sampe memenuhi baku mutu (ambang batas pencemaran).”

Perusahaan dalam hal ini, menurut Ikbal, “perusahaan harus memiliki kesadaran bahwa usahanya tidak boleh menggangu orang, jangan sampe gara-gara saya mereka sakit.” cerita dia membandingkan dengan kondisi tempat studi doktoralnya di Jepang. “Jadi mereka (perusahaan di Jepang) tanpa dikontrol Pemerintah, mereka sudah malu kalau ketahuan (membuang limbah), malu berbuat salah.”

Infografis Kali Lemahabang

***

Langkah ketiga yang bisa dilakukan ialah dengan menggugat Pemerintah yang abai karena tidak mengeluarkan tindakan atau kebijakan apapun terkait pencemaran limbah, dan menggugat Perusahaan industri yang mengeluarkan limbah melebihi baku mutu yang menyebabkan tercemarnya sungai.

Itu juga bisa dikatakan sebagai class action atau gugatan dari masyarakat.

Dalam hal ini WALHI memiliki pengalaman untuk menggugat 3 perusahaan yang tidak mengolah limbah cairnya, menurut Meiki kepada Kebijakan.co.id (6/9/2023), “Di tahun 2015, WALHI berkoalisi dengan kawan-kawan organisasi lingkungan yang lain dengan organisasi advokasi hukum bersama dengan kelompok masyarakat yang terdampak itu menggugat ijin pembuangan limbah cair 3 perusahaan.”

Menurut Meiki, “Dari investigasi kami, mereka (3 perusahaan) membuang limbah cair tanpa diolah ke Sungai Cikijing (anak sungai Citarum).” Selain investigasi untuk melihat limbah cair yang dibuang tanpa diolah, WALHI juga menghitung valuasi (total) kerugian yang di alami masyarakat.

“Kalau kami (WALHI Jawa Barat) sendiri pernah menghitung valuasi ekonomi dari pencemaran limbah industri (di Sungai Cikijing).”

Mulai dari menghitung kerugian di sektor pertanian, sektor perkebunan, sektor pertenakan, sektor perikanan, sektor kebutuhan air, sektor kesehatan masyarakat, dengan total kerugian Rp. 3.339.695.473.968 atau sekitar 3 triliun (kurs pada tahun 2015). Dengan valuasi biaya pemulihan lahan atau remediasi mencapai Rp. 8.045.421.090.700 atau 8 triliun (kurs pada tahun 2015).

Terkait kerugian kesehatan masyarakat, menurut Diah Satyani Saminarsih, Direktur Eksekutif CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) –sebuah lembaga riset yang berfokus pada pembangunan sektor kesehatan dan sistem kesehatan— kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023).

Ia mengatakan, “Pihak swasta juga mesti bertanggung jawab atas kegiatan industri masing-masing,” termasuk dalam hal kesehatan masyarakat.

Selain data WALHI, lainnya dari Tim Peneliti Universitas Padjajaran (Unpad). Dikutip dari Mongabay, Tim Peneliti Unpad tersebut, juga membuat laporan valuasi ekonomi dampak pencemaran di kawasan industri yang mencapai Rp. 11.385 triliun.

Dari riset penghitungan kerugian masyarakat tersebut, tentu perlu diawali dengan kesadaran akan pentingnya lingkungan terlebih dahulu di masyarakat. Dengan begitu kondisi suram di awal bisa diatasi.

Kondisi Kali Lemahabang Berbusa
Kondisi Kali Lemahabang Berbusa (Adi/Kebijakan.co.id)

“Pengolahan Limbah Harus Dipandang Sebagai ‘Produk’ Yang Dihasilkan oleh Perusahaan, Begitu Juga Sama Ketatnya dengan Pengawasan ‘Produk’ oleh Pemerintah, dan Agar Masyarakat Tidak Dirugikan.”

Kebijakan.co.id

*Perbaikan (26/09/2023): Peneliti BRIN menjadi Perekayasan Utama BRIN

Baca Versi PDF-nya: Hitam Menahun Kali Lemahabang

Baca Serial Liputan Advokatif "Hitam Bau Menahun Kali Lemahabang" Lainnya:

• Hitam Bau Menahun Kali LemahabangTerancamnya Kesehatan Warga Kali Lemahabang
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 19 September 2023
Pukul: 23.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Donny Iqbal, Kemenangan Perjuangan Panjang Melawan Limbah Rancaekek, Gugatan Dikabulkan PTUN Bandung, Mongabay.co.id, 25 Mei 2016Open Data Kabupaten Bekasi, Jumlah Laporan Pengawasan Terhadap Izin Lingkungan dan Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 21 Februari 2023Pradita Kurniawan Syah, Dinas LH Bekasi Sulit Ungkap Pencemaran Sungai Cilemahabang, Antara News, 14 Juni 2023Heriyanto Retno, Dani Ancam Perusahaan Cemari Kali Lemahabang Diumumkan, Pikiran Rakyat, 10 September 2021Pam, Polres Metro Bekasi Usut Kasus Pembuangan Limbah ke Kali Lemahabang, WestJavaToday.com, 8 September 2021Jonder Sihotang, Pencemaran Limbah B-3 Sungai Cilemahabang Bekasi, Independensi.com, 7 September 2021Rangga Baskoro, Kali Cilemahabang Cikarang Utara Lagi-Lagi Berbusa dan Mengeluarkan Bau Tidak Sedap, Tribun Bekasi, 2 Februari 2022Muhammad Sabiq, Kali di Bekasi Dibiarkan Tercemar Limbah Beracun, Saluran8.com, 3 Agustus 2019Mayolus Fajar, Air Sungai Cilemahabang Bekasi Tercemar, Antara News, 5 Januari 2017Jaffry Prabu Prakoso, Kawasan Industri Terbesar di Asia Tenggara Ada di Cikarang, Bisnis Indonesia, 19 September 2022 WALHI Jawa Barat, Valuasi Ekonomi Kerugian Pencemaran Limbah Kawasan Industri Rancaekek, November 2015 Laporan Tahunan, PT Kawasan Industri Jababeka 2021-2022Laporan Berkelanjutan, PT LIPPO Cikarang 2022 - 2021 Daftar Kawasan Industri, Kementerian PerindustrianIndustri Besar Sedang Kab/Kota Tahun 2012-2014, BPS Provinsi Jawa BaratMargaretha Quina (dkk.), Memulihkan Sungai Sebuah Panduan Umpan Balik dan Partisipasi Komunitas, Penerbit ICEL, 2017
Liputan Mendalam

Buya Hamka I (2023): Tamparan Keras untuk Islam Oportunis, Transnasional, dan Mereka yang Merenggut Kemerdekaan


Kebijakan.co.id Liputan Film

Adi Fauzanto-27/04/23 (15.30 WIB)-#18 Menit

Read in English Language Version

Film Buya Hamka digarap dengan serius dengan modal dana yang tidak sedikit. Bukan tanpa celah, beberapa terdapat di dalamnya, sangat disayangkan untuk film yang mulai digarap tahun 2014 ini.

Selain itu, pesan yang disampaikan seharusnya menampar realitas muslim, mulai dari poligami, organisasi Islam transnasional, hingga merebut kemerdekaan.

***

Cuplikan Buya Hamka Vol I, II, dan III

Kebijakan.co.id — Ibarat sebuah dahaga dari film Islam yang bertajuk cinta-cintaan melulu. Tentang perempuan cantik, tentang perkawinan, perceraian, dan tetek bengek menyek-menyek masalah percintaan dibalut dengan islami dengan cerita yang absrud (tidak jelas) dan jelek. Praktis film Islam ‘tanpa gimik cinta-cintaan’ terakhir — sekaligus film biopik — yaitu Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015)

Film Buya Hamka Vol. I (2023) hadir sebagai fatamorgana film Islam jauh dari hal itu. Walaupun dalam cuplikan (trailer) di awal film terkesan seperti ‘cinta monyet’, dengan menggambarkan istrinya, Sitti Raham (diperankan Laudya Cynthia Bella) sebagai tokoh hayati dalam Roman (Novel) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938), tetapi itu bukan dari cinta menyek-menyek ala film Islam karbitan, itu bagian dari kerja-kerja Hamka (yang diperankan oleh Vino Giovanni Bastian) sebagai sastrawan yang wajar saja perlu membutuhkan inspirasi dalam menulis.

Jadi jangan harap mendapatkan unsur ‘cinta monyet’ dalam film ini. Membayangkan nonton bersama dengan pasangan  — pacar ataupun istri — berharap yang muncul seperti film Ajari Aku Islam (2019), atau yang paling melegenda ialah Ayat-Ayat Cinta (2008)  — dan mungkin karena film itu juga, film bucin (butuh cinta) ala Islam menjadi pasar tersendiri — bahkan film biopik islami lainnya seperti Sang Kiai (2013) juga turut mengikuti unsur ‘cinta monyet’ (cinta anak muda) sebagai penggalan cerita dari tokoh utama.

Tanpa semua itu, film Buya Hamka Vol. I (2023) tetap memikat, karena cerita yang kuat –mungkin karena tokoh Buya Hamka diangkat dari kisah nyata yang juga sangat romantis.

Film ini bukan tanpa cinta, secara definitif ia hadir dalam bentuk yang lain, dengan gaya yang berbeda. Ia hadir, dalam bentuk pengalaman nyata, tentang sebuah cinta terhadap keluarganya, agamanya, pekerjaannya, negaranya yang tidak sempit, tetapi tetap megah, modern, dan yang pasti tidak alay.

Jika dapat merasakan kehadiran unsur cinta tersebut, beruntung. Sebab, jika tidak, maka kalianlah yang mungkin ditampar oleh film ini terlebih dahulu oleh pemikiran Buya Hamka pada zaman itu. Yang jelas tertampar ialah:

Pertama, Islam Oportunis, yang selalu memanfaatkan agama untuk keuntungan material (kekayaan) dan hawa nafsunya atas nama ayat-ayat suci dan simbol-simbol agama. Bentuk cinta yang tulus melampaui kekayaan –memang cukup sulit di dunia kapitalis seperti sekarang — tetapi bukan tidak mungkin.

Bentuk kecintaan ini, ialah belajar bagaimana bersyukur atas apa yang telah dimiliki, termasuk menyangi keluarga yang ada — dengan tidak berpoligami. Tidak menjual ceramahnya dengan tarif — seperti kebanyakan Ustadz jaman ini. Atau menjual simbol-simbol Islam untuk bisnisnya, hanya untuk mengincar ceruk pasar Islam.

Yang Kedua ialah, Islam Transnasional. Yang selalu berikrar dan bersolusi cepat dan tepat atas semua permasalahan komunitas masyarakatnya dengan satu sistem pemerintahan, alih-alih berangkat dari bawah solusi yang kecil seperti budaya komunitasnya, ujuk-ujuk menuju solusi pasti nan absurd juga imajinatif, terlebih ide yang sudah busuk. 

Bentuk kecintaan ini dilambangkan tentu terhadap masyarakat, adat, dan bangsa yang ia perjuangkan, mulai dari melawan penjajah 2 sekaligus serta harus dituduh pembangkang (di volume II). Bentuk lain dari masyarakat, adat, dan bangsa yang Buya Hamka perjuangkan adalah gambaran keinginan tersendiri dan jelas berbeda-beda, beragam, dan mempunyai ‘ciri’ tersendiri.

Terakhir ialah yang Ketiga, Atas Nama Islam yang merenggut Kemerdekaan. Mereka yang atas Islam, merenggut kemerdekaan yang lainnya, juga tertampar dengan film ini. Kemerdekaan yang bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari kemerdekaan beribadah, berpendapat, berpolitik, hingga menentukan nasib sendiri. Mereka yang direnggut juga berangkat dari cinta, cinta atas Tuhannya, cinta akan pilihannya, dan cinta akan bangsanya.

Selain pembahasan ketiga ini, terdapat juga pembahasan mengenai teknis film tersebut, mulai dari ketiadaan musik, kurang naturalnya set lokasi dan properti, hingga naskah.

Islam Oportunis

Ada banyak adegan dari Film Buya Hamka Vol. I (2023) yang menggambarkan ketulusan untuk menyebarkan agama Islam tanpa perlu memanfaatkannya — baik untuk material atau keuntungan lainnya — atau bersikap oportunis. Dalam salah satu adegan di cuplikan (menit 1:02) digambarkan Buya Hamka menolak berlaku adil untuk poligami kepada seorang perempuan muda, “Astagfirullah!,” ucap pemeran Buya Hamka.

Tentu jika melihat kedaan saat ini, film ini juga tidak menjadi tontonan, dan tuntunan, tapi juga menampar mereka-mereka yang berpoligami apalagi dengan mengatasnamakan Agama Islam dan segala omong kosongnya, apalagi poligaminya juga tidak mengikuti Nabi Muhammad yaitu dengan menikahi janda tua yang suaminya telah meninggal, akan tetapi dengan menikah dengan yang lebih muda dan bukan janda.

Seperti yang pernah diliput oleh Narasi TV dengan tajuk Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar (2021). Di mana praktik poligami seenak jidat (seenak hati), tanpa aturan, dan kaidah. Boro-boro (jangankan) mengikuti contoh Nabi Muhammad.

Adegan film Buya Hamka (2023)pun, menjungkir balikan praktik yang sebelumnya diliput Narasi TV. Naskahnya cukup lengkap untuk memberi penjelasan secara ayat disertai konteks tambahan. Penjelasan terkait ayat poligami di An-Nisa ditambah konteks tambahan dalam hal ini tafsir dari seorang Hamka –bahwa keinginan poligami atas kemauan bapaknya dari anak perempuan tersebut. 

Meme Poligami
Meme @sor_awak

Dalam tulisan Hamim Ilyas bertajuk Poligami dalam Perspektif Islam Berkemajuan (2021) menjabarkan ada yang perlu dipahami dari poligami harus melihat sisi historisnya (atau asal usul turunnya ayat). Ada berbagai syarat regulasi turunan dari hal tersebut. 

Pertama, pembatasan jumlah istri —melihat kondisi sebelum Islam yang tidak ada batasan dan tanpa aturan. Kedua, syarat darurat sosial — yang pada saat itu pasukan Islam banyak yang gugur dalam perang sehinga menimbulkan anak-anak yang tidak memiliki ayah. Ketiga, syarat tidak sewenang-wenang — yang hanya berdasarkan nafsu duniawi. Keempat, syarat adil — inilah yang paling berat.

Saya teringat penelitian Remotivi bertajuk Perempuan Tanpa Otonomi (2014) tentang perempuan dalam sinetron Islam di kala bulan ramadhan dengan sampel Anak-anak Manusia (RCTI), Para Pencari Tuhan (SCTV), dan Hanya Tuhanlah yang Tahu (Trans TV). 

Dari ketiga sinetron ini, yang memang digarap secara serius memperhatikan nilai-nilai Islam hingga kepada dialog dan konteks yang ada, ialah jatuh kepada sinetron Para Pencari Tuhan (2014).

***

Selain adegan tawaran untuk poligami, ada beberapa adegan menolak dibayar dalam kegiatan dakwahnya — tidak saya sebutkan secara detail untuk mencegah pembocoran.

Adegan dalam film tersebut juga diberikan penjelasan konteks yang cukup mendalam tentang bagaimana kehidupan Buya Hamka yang sulit di awal kemerdekaan. Pada akhirnya karena melihat kondisi sulit keluarganya, bayaran tersebut harus ditukarkan dengan karya novelnya, sebagai sebuah tanda pertukaran jual-beli — tidak ujuk-ujuk menerima bayaran dakwah tersebut.

Benar-benar jelas 180 derajat dengan kebanyakan ustadz-ustadz yang mata duitan, saat ini, jika melihat tarif yang dibocorkan. Benar atau tidaknya tarif ini, yang pasti ditambah harta melimpah ruah dari bisnis menjual agama. Belum lagi bisnisnya yang membawa unsur atau simbol Islami, mulai dari yang terkecil makanan, pakaian.

Bahkan hingga industri besar sekaliber penambangan batu bara juga perlu dicap halal sesuai apa yang diungkapkan film dokumenter investigatif Sexy Killer (2019) di mana Wakil Presiden saat ini juga ikut terlibat yang kala itu sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sebagai komisaris besar perusahaan Bank Syariah  — dan satu yang pasti industri halal ini menghasilkan cukup banyak pemasukan.

Dalam hal ini saya pernah melakukan liputan mendalam terkait Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman (2022). Yang jelas-jelas benar itu tidak ada aturan dalam Al-Quran untuk membuat komplek perumahan atau perkampungan muslim. Mengada-ada. Terlebih memperlebar jarak antara komunitas muslim dengan komunitas masyarakat lainnya yang bukan muslim. Membuat muslim menjadi eksklusif.

Terlebih dalam situasi bangkitnya Islam Populis — setelah keadaan politik pemilihan umum 2014 dan 2019 — , pengusaha-pengusaha berusaha mengincar ceruk pasar pembeli mereka, untuk apa? untuk mencari keuntungan yang pasti. Layaknya menjual lampion kepada komunitas china atau agama Tionghoa, pasti hanya mereka yang beli.

Aksi 212
Aksi 212 (Antara Foto/Sigid Kurniawan)

***

Bicara tentang rumah. Film Buya Hamka Vol. I (2023) juga menggarap secara serius hingga detail kepada rumah — oleh karena itu dana yang dikeluarkan cukup besar — akan tetapi gambaran rumah dalam film Buya Hamka juga terasa hambar — walaupun sudah disesuaikan dengan kondisinya kala itu. 

Mengapa? terasa sekali ini rumah baru selesai dibangun, bersih, warna cat juga masih cerah. Tidak seperti dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2014) yang memang mengambil rumah Minangkabau asli dengan adegan yang ikonik ketika Hayati melihat Zainnudin untuk pertama kalinya, lebih nyata. Atau setidaknya terlihat kotor sedikit, agar tidak benar-benar terlihat selesai dibuat.

Hayati sedang melihat keluar jendela rumahnya

Mengapa dibuat kotor sedikit? Sebab jika tidak, seperti terlihat sketsa program televisi lawak, Bajaj Bajuri misalnya, yang rumahnya tersusun rapih, bersih, dan tanpa noda. Cara ini sudah seharusnya dibaharui jika di sebuah film dengan modal besar, untuk mendekati kenyataan –bukankah itu esensi film. Bukan plek-ketiplek baru selesai dibangun dipakai syuting.

Atau mungkin juga pengharapan penulis membayangkan menonton Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2014) karena masih terbayang indahnya Batipuh dengan pengambilan gambar alam dan kearifan lokal Minang yang sangat tepat, yang meninggalkan bekas bahwa inilah film dengan latar belakang Minang terbaik. Nampaknya Buya Hamka (2023) –yang juga mengambil latar Minang– tidak mampu mengubah posisi itu, sekalipun lebih mahal biaya produksinya.

Tangkapan sketsa program televisi Bajaj Bajuri
Tangkapan gambar sketsa program televisi Bajaj Bajuri

***

Selain bicara rumah, pada pembahasan ini juga sedikit banyak bicara tentang liputan jurnalistik, mulai dari Poligami oleh Narasi TV, Perumahan Syariah oleh Kebijakan.co.id, hingga Sexy Killer oleh WatchDoc, saya sangat suka sekali ketika film ini banyak memasukan adegan Hamka sedang menulis, baik untuk membuat tulisan untuk di koran, novelnya, maupun buku-bukunya, hampir di seluruh adegan hampir ada. 

Melambangkan bahwa Hamka bukan jurnalis, penulis, novelis (pujangga), atau ilmuwan Islam yang ecek-ecek, gambaran tentang menulis di malam hari ditemani kopi, lalu ketika hari meninggal anaknya untuk tetap menerbitkan koran, dan belajar lagi kepada Ayahnya untuk menulis Tasawuf Modern (1939) juga memperjelas bahwa selain bukan ecek-ecek tetapi juga profesional. 

Secara kualitas tulisan, sebagai pembaca buku Hamka Falsafah Hidup (2015), benar-benar tulisannya membuat pembaca milenial — termasuk saya sendiri — pusing bukan main, sebab bahasanya yang puitis dan bernada melayu, mendayu-dayu, hampir tidak ada penggalan kalimat pendek — seperti yang terjadi saat ini — perlu dibaca 2x untuk memahaminya. 

Akan tetapi juga terdapat pertentangan atau polemik, khususnya kritik terhadap Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang dituduhkan plagiat dari salah satu Novel Sous les Tilleuls (1832) karya Jean-Baptiste Alphonse Karr yang diterjemahkan oleh Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi ke dalam bahasa Arab berjudul Madjdulin (Magdalene: Di Bawah Pohon Tilla).

Dengan pembahasan kritik yang detail hingga kepada kalimat per kalimat, paragraf per paragraf, cerita per cerita oleh Abdullah Said Patmadji pada tahun 1962. Dilanjutan perbandingan dengan gambaran teks detail oleh Pramoedya Ananta Toer.

Namun, dibela oleh H.B. Jassin dalam tulisannya Apakah “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” Plagiat? (1967) yang mendudukan arti dari plagiat.

Pada Hamka ada pengaruh Al-Manfaluthi. Ada garis-garis persamaan tema, plot, dan buah pikiran, tapi jelas bahwa Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri.” 

“Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.” Simpul H.B. Jassin.

Meme Hayati
Meme Hayati Lelah

Genderang perang sastra — dan dibumbui dengan aliran politik era pemerintahan demokrasi terpimpin- ini diulas secara lengkap dalam buku bertajuk Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962–1964 (2011).

Menarik jika ‘suasana’ ini dimasukan dalam film Buya Hamka (2023) Vol. I, II, III akan menjadi lebih kaya dalam sorotannya sebagai penulis sekaliber, namun sepertinya tidak ada — jika melihat cuplikan — , mungkin cakupan polemik sastra kurang menjual, ketimbang polemiknya dengan Soekarno.

Mungkin juga karena tuduhan terhadap Hamka yang sangat serius dikerjakan dan dibuktikan dengan detail, membuat posisinya dalam hal ini sangat lemah. Dibandingkan dengan tuduhan Soekarno, bahwa Hamka sebagai penghianat — yang jelas sebagai tuduhan politik.

Atau penulis naskah Buya Hamka (2023) beserta pihak-pihak yang terlibat tidak mengetahui keberadaan polemik sastra ini. Ah, yang ini kemungkinan kecil terjadi, terlebih jajaran pembuat film ini sekaliber dua produksi film besar di Indonesia, diisi orang-orang dengan yang tidak sembarangan.

Di balik plagiat atau tidak, terinspirasi oleh suatu karya atau tidak, itulah kekayaan dari kualitas sastra Indonesia, yang sulit ditemukan saat ini. 

Apalagi jika melihat kondisi penulis dan jurnalis sekaliber jadi, khususnya saat ini yang berafiliasi dengan komunitas Islam Populis saat ini macam Gelora.co yang hanya salin tempel tulisan, alih-alih menggambarkan teladan dan profesional media dan jurnalis yang berafiliasi dengan komunitas Islam Populis, malah sebaliknya, memuakkan.

Agenda ini memang disengaja dibantu oleh partai-partai yang berafiliasi dengan Islam Populis seperti yang diliput Tirto.id bertajuk Di Balik Situs Berita Hoax Cerita di Balik Situs Postmetro dan Seword (2019).

Hamka sedang Menulis
Hamka sedang Menulis

Islam Transnasional

Selanjutnya yang tertampar ialah Islam Transnasional, Islam yang menghamba akan solusi pasti cepat tepat akurat yaitu Khilafah atas semua negara-negara. Dalam adegan di film Buya Hamka Vol. I (2023) banyak sekali adegan yang menggambarkan nasionalisme salah satunya di cuplikan ialah ketika menolak kedatangan penjajah pada menit 1:12 dan menit 1:57, “Nasib kita, kitalah yang menentukan.” dan “Kita tunjukan siapa orang Minang sebenarnya.”

Sebagai pembaca biografi H.O.S Tjokroaminoto dalam buku Seri Tempo: Guru Para Pendiri Bangsa (2011), saya tahu betul bahwa kader (murid) Tjokro sudah pasti mewarisi cinta tanah air yang berawal dari gagasan Sosialisme Islam, yang pada saat itu dibawa oleh Hamka ke Minang. 

Sang Ratu Adil (sebutan untuk Tjokro kala itu) itu tak hanya berpengaruh terhadap tokoh politisi baik kanan — yang nantinya menjadi masyumi—, kiri — yang nantinya menjadi PKI —, maupun nasionalis — yang nantinya menjadi PNI — , tetapi juga kepada budayawan sekaligus ulama salah satunya Buya Hamka (walaupun natinya terafiliasi dengan Masyumi), memang benar-benar guru bangsa.

Dokumen Sejarah
H.O.S Tjokroaminoto (Dokumen Sejarah)

Menonton film Buya Hamka Vol. I (2023) sudah seperti suasana menjelang kemerdekaan, hampir setengah diisi doktrin cinta tanah air, tetapi tidak mengapa, sudah cukup jarang yang menghubungkan antara nasionalisme dan Islam dalam taraf yang patriotik, sebab habis sudah setelah Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013)  — yang notabene ulama yang melahirkan organisasi sebagai anti-tesis ulama Islam Transnasional dan pelopor Indonesia juga— , film ulama yang benar-benar serius membangun masyarakat bangsanya, bukan ujuk-ujuk kampanye tentang Khilafah.

Bicara tentang Khilafah, baru sekali tokoh pergerakan sekaligus pengacara Front Pembela Islam (FPI) — yang juga mantan ketua YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) — , Munarman ditangkap dan dihukum 4 tahun karena diduga menyaksikan baiat (pengakuan) kepada Hizbut Tahrir (HT) di Makassar. Walau masih diperdebatkan tetang status organisasi HT Indonesia (HTI) yang seharusnya dalam pembubarannya diadili — tidak ujuk-ujuk dibubarkan. 

Akan tetapi konsep HT sendiri masih tidak jelas, seperti apa sistem pemerintahannya? bagaimana konsepnya? mengapa negara-negara yang mayoritas Islam justru melarangnya? Hal itu abstrak perjuangannya, jika dibandingkan ulama yang tumbuh dari masyarakat, untuk melindungi tanah air tempat dia tinggal, sesederhana itu.

***

Namun secara film jika dibandingkan dengan film biopik dua ulama lainnya, masih lebih menarik Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013), secara cerita, nilai, dan maksud lebih utuh disampaikan — walau kualitas produksi film dibawah Buya Hamka Vol. I(2023) — mungkin juga karena hanya volume pertama yang baru ditampilkan. 

Akan tetapi, itu menjadi kelemahan. Praktis, serba setengah-setengah, mau disorot dari sisi sastrawannya seorang Buya Hamka tetapi juga tidak menyeluruh, mau disorot perjuangannya juga tidak menyeluruh, mau disorot sosok keulamaannya juga tidak menyeluruh, alhasil penonton dipaksa menunggu untuk klimaksnya yang nanti akan ditayangkan.

Alhasil, film pertama belum benar-benar ‘wah’ dan akan berpikir kedua kalinya untuk menonton yang berikutnya — jika ada film yang lebih baik secara kualitas perfilman. Jika nanti Vol. II sepenayangan dengan film setan, jelas tidak perlu berpikir dua kali.

FilmAlurLokasiMusikAktingPesan
Sang Pencerah (2010)Maju (dari kecil hingga dewasa) menyorot perubahan budaya di kauman Yogyakarta: Jelas fokusnyaLatar Yogyakarta 1920an: sangat mendekati karena kondisinya tidak berbeda jauh dengan sekarangTerdapat lagu Lir-IlirTidak diragukanPerubahan budaya masyarakat
Sang Kiai (2013)Maju (ketika usia tua) menyorot perjuangan penjajahan jepang: Jelas fokusnyaLatar Jombang (Jawa Timur) 1940an: mengambil latar belakang kota tua di tempat lainnyaTerdapat lagu Bila Mati-Ungu (Namun tidak cocok)Tidak diragukanPerjuangan masyarakat untuk kemerdekaan
Buya Hamka I (2023)Maju (Dewasa) menyorot perjuangan penjajahan jepang: 50:50 (setengah) dengan kehidupan pribadi Buya Hamka sebagai suami, sebagai senulisLatar Makassar, Medan, Padang 1940an: membuat properti sendiri yang mendekati (mirip namun terlihat sekali tidak pas)Tidak ada lagu identitasTidak diragukanPerjuangan masyarakat untuk kemerdekaan? Edukasi poligami? Pencerdasan masyarakat melalui Pers?

***

Terlebih film ini juga tidak disertai lagu sebagai tanda bahwa film ini pernah ada. Ibarat kata, Ah, saya mendengar lagu ini teringat film Buya Hamka, itu tidak ada. 

Nyanyian Lir-Ilir (Abad Ke-16) — artinya bangunlah dalam bahasa Jawa — yang ditembangkan oleh Sunan Kalijaga, melekat sekali ke dalam Sang Pencerah (2010) setali dua temali dengan melekatnya kepada Cak Nun yang mempopulerkannya kembali. Lalu lagu Ungu dengan judul Bila Tiba (2013), saya tidak sengaja mendengarnya lalu saya teringat kepada suatu film, ternyata film Sang Kiai (2013).

Lagu atau musik dalam film menjadi sangat penting, dalam jurnal penelitian yang ditulis oleh Hery Supiarza berjudul Fungsi Musik di Dalam Film : Pertemuan Seni Visual dan Aural (2022), dia menyimpulkan bahwa peran musik memiliki peran penting dalam sebuah film. 

Pertama, mengintegrasikan (menyatukan) dunia bawah sadar penonton dengan melihat gambar. Kedua, mempengaruhi penonton dalam konteks ekspresi. Ketiga, memberikan pengetahuan perilaku penonton akibat dari mendengarkan musik. Kesimpulan yang menurut saya ada benarnya.

Meme Musik Rumi
Meme Musik Jalaludin Rumi (Sumber Gambar: @knowledgethatyouneed)

Secara teknis hampir tidak mungkin film yang menghabiskan 70 miliar ini melewatkan musik. Apa karena musik haram? Padahal menurut Fatwa MUI tertanggal 3 Desember 1983, dalam pertimbangannya musik (dan karya seni lainnya) boleh-boleh saja asal tidak melanggar dan bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. 

Islam yang Merenggut Kemerdekaan

Dalam film juga terdapat adegan bahwa Hamka menolak secara konfrontatif — dalam cuplikan terbesit dalam (menit 1:18) —  dengan pihak penjajah Jepang terhadap cara mereka membatasi kegiatan-kegiatan muslim seperti beribadah, kemerdekaan pers, dan bahkan membunuh ulamanya.

Film ini menjadi tamparan keras sekali untuk mereka khususnya umat Muslim yang masih mencoba membatasi umat agama lain beribadah, kalian tidak kurangnya dari seorang penjajah layaknya Jepang kala itu. 

Bogor dan Cilegon adalah saksi bisu atas semua masalah yang terjadi saat ini. Yang telah diliput oleh BBC Indonesia dan Tirto.id dengan judul Gereja Yasmin Bogor: Kasus produk hukum intoleran ‘akan selesai’ tahun ini (2019) dan Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme (2022). Atau kejadian baru-baru ini pelarangan ibadah Natal di Cilebut, Bogor.

Gereja Terbakar di Chile (AP Photo/Esteban Felix)

***

Merenggut kemerdekaan juga tak bisa lepas dari nasib penentuan sendiri, yang juga tergambar banyak di film ini, salah satunya menit 1:12, “Nasib kita, kitalah yang menentukan.” Mulai dari ketika awal penjajahan Jepang, hinggga masuknya Belanda saat agresi militer (secara singkat dalam Volume I).

Hal itu juga ditampilkan dengan semangat Hamka untuk mengagitasi masyarakatnya untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dalam film Buya Hamka (2023) juga terdapat adegan yang menjabarkan mengapa penjajah ‘berkunjung’ ke negeri kita, tidak lain tidak bukan, mengeruk kekayaan.

Tetapi pertanyaan apakah Indonesia sudah mampu menjalani itu? Apakah di Indonesia sudah memfasilitasi untuk masyarakatnya untuk menentukan nasib sendiri? Apakah Indonesia bukan penjajah? Dengan mengirim bala tentara dengan segudang senjata, untuk melindungi pengerukan kekayaan-kekayaan di bumi milik masyarakat yang tinggal di sana?

Agaknya sedikit retroris, tetapi kenyataannya memang begitu. Kita belum sanggup menerima kenyataan, bahwa kita juga mengeruk kekayaan untuk elite-elite di Jakarta, dan meminggirkan masyaraka lokal yang tinggal di sekitarnya. 

Penelitian terbaru Kontras misalnya bertajuk Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua (2021), dengan jelas menjabarkan bahwa ada elite tentara yang memang sengaja di tempatkan di Papua untuk melindungi entitas bisnis pertambangan. Lalu dari film ini kita membayangkan bagaimana jika terdapat tokoh agama dari Papua yang berani vokal seperti vokalnya Buya Hamka memperjuangkan Indonesia?

Ejawantah Kehidupan dan Pemikiran Buya Hamka

Membahas ketiga topik sebelumnya, tidak bisa dijauhkan dari tokoh sentral Buya Hamka. Pengejawantahan kehidupannya dalam film Buya Hamka Vol. 1 (2023) benar-benar kurang untuk orang awam yang asumsinya belum sama sekali membaca biografi sejarah Hamka  — karena mungkin masih volume pertama.

Adegan pertama disuguhkan ketika Buya Hamka di penjara lalu melompat ke masa lalu ketika menjadi pengurus Muhammadiyah di Makassar, lalu menjadi pemimpin redaksi di suatu koran di Medan, tanpa mengetahui sebab-sebabnya. Khususnya mengapa dia menjadi seorang pengurus Muhammadiyah Makassar? Mengapa dia punya latar belakang dan menjadi jurnalis? Mengapa dia menjadi pujangga?

Dan mungkin ini strategi bisnis, untuk menciptakan penasaran dan menonton ulang sebelum menonton volume berikutnya. Tapi apakah berhasil?

Akan tetapi secara budaya, Film Buya Hamka Vol. 1 (2023) benar-benar mengejawantahkan secara detail, mulai dari penggunaan bahasa minang, bahasa makassar, hingga logat jepang yang dibuat mendekati, hingga pakaian-pakaiannya. Walaupun ada beberapa sedikit kesalahan kecil seperti anak Buya Hamka ketika kecil atau staff media koran yang tidak fasih bahasa minang — terasa sekali dibuat-buat.

Untuk pengejawantahan pemikirannya juga benar-benar tersampaikan dengan baik, dari sisi keterbukaan terhadap budaya ala Buya Hamka, sisi kemodernan Islam ala Buya Hamka, sisi sufistik (hidup yang tidak mengejar duniawi saja) ala Buya Hamka. Tapi bersifat setengah jadi –alias setengah-setengah, tidak menyeluruh.

Ibarat ada benda untuk dilihat, pilihannya ada melihat keliling secara keseluruhan atau melihat pada satu sisi. Jika melihat secara keseluruhan, tentu kehilangan detail pada sisi. Jika melihat hanya detail satu sisi, tentu akan kehilangan penjelasan singkat sisi lainnya. Buya Hamka Vol. I (2023) memilih ‘jika’ yang pertama. Kebolongan dalam setiap sisi itu yang akan menjadi tanggungan penonton untuk mengenal sosok Hamka.

Film ini layak ditonton jika dibandingkan film setan lainnya —saat penayangan di Bioskop — , umumnya kehidupan ‘setan’ lebih laku dijual daripada ‘malaikat’ itu sendiri. Padahal film setan selama ini — terdekat sebelumnya dengan penonton terbanyak — tak jauh berbeda dengan sifat topiknya yaitu menipu, banyak yang absurd alias film jelek, tak jarang tak layak tonton.

Tapi jangan harap film Buya Hamka (2023) menjadi penyaing penonton film Setan dengan jumlah penonton terbanyak itu, jika masyarakat kita masih kurang kualitas manusianya yang masih suka dunia klenik dan hal-hal yang mistis tanpa penjelasan yang masuk akal, percayalah.

SutradaraFajar Bustomi
ProduserFrederica, H.B. Naveen, Chand Parwez Servia, Dallas Sinaga, dan Dewi Soemartojo
PenulisAlim Sudio dan Cassandra Massardi
Pemeran UtamaVino G. Bastian dan Laudya Cynthia Bella
Penata musikPurwacaraka
SinematograferIpung Rachmat Syaiful
PenyuntingRyan Purwoko
Pemilihan PemeranGilang Numerouno dan Nova Sarjono
Perusahaan
produksi
Falcon Pictures, Kharisma Star Vision Plus, Majelis Ulama Indonesia
Tanggal rilis19 April 2023 (Indonesia)
Durasi106 menit
Buya Hamka
Buya Hamka, Soekarno, dan Oei Tjeng Hien di Konsul Muhammadiyah Bengkulu (dokumen sejarah)
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Kamis, 27 April 2023
Pukul: 15.30 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Roy Thaniago & Yovantra Arief. 2014. Perempuan Tanpa Otonomi. Penelitian RemotiviNarasi TV. 2021. Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar. Youtube, 16 NovemberDandhy Laksono & Ucok Suparta. 2019. Sexy Killer. WatchDocAdi Fauzanto. 2022. Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman. Kebijakan.co.id, 18 NovemberHery Supiarza. 2022. Fungsi Musik di Dalam Film : Pertemuan Seni Visual dan Aural. Jurnal Cinematology, Vol. 2 No.1Baitul Maal Hidayatullah. Mengupas Tuntas Besaran Tarif Penceramah di Indonesia! Berapa Kira-Kira Estimasinya?Haris Prabowo. 2022. Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme. Tirto.id, 18 JuliBBC News Indonesia. 2019. Gereja Yasmin Bogor: Kasus produk hukum intoleran 'akan selesai' tahun ini. BBC News Indonesia, 14 Agustus.Fitria Chusna Farisa. 2022. Jejak Kasus Terorisme Munarman: Divonis 3 Tahun Penjara, Diperberat Jadi 4 Tahun. Kompas.com, 28 JuliOde Rakhman (dkk.). 2021. Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua. Penelitian Kontras, AgustusTempo.co. 2022. Pelarangan Ibadah Natal di Cilebut, Pemerintah Dinilai Gagal Lindungi Hak Masyarakat. 28 DesemberBudi Setyarso. 2011. Seri Buku Tempo: Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa. Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.STEKOM. Daftar Film Indonesia Terlaris Sepanjang MasaGarin Nugroho. 2015. Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Film Produksi PicklockHanung Bramantyo. 2008. Ayat-Ayat Cinta. Film Produksi MD PicturesDeni Pusung. 2019. Ajari Aku Islam. Film Produksi RA PicturesHanung Bramantyo. 2010. Sang Pencerah. Film Produksi MVP PlusRako Prijanto. 2013. Sang Kiai. Film Produksi Rapi FilmsSunil Soraya. 2013. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Film Produksi Soraya Intercine FilmsHamka. 1990. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: Penerbit Bulan-BintangUngu. 2013. Bila Tiba, Album Ruang Hati. Musik Produksi Suria RecordsSunan Kalijaga. Abad ke-16. Lir-IlirFatwa MUI. 1983. Nyanyian dengan Menggunakan Ayat-Ayat Suci Al-Quran. Narasi TV. 2023. Belajar dari Buya Hamka. Talkshow Mata NajwaMustafa Luthfi Al-Manfaluthi (penerj: Nursangadah). 2019.  Madjdulin (terjm: Magdalene: Di Bawah Pohon Tilla). Yogyakarta: Penerbit Spektrum Nusantara.H.B. Jassin. 1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta: Penerbit Gunung Agung.Muhidin M. Dahlan. 2011. Aku Mendakwa Hamka Plagiat. Yogyakarta: Penerbit Scripta Manent.Hamim Ilyas. 2021. Poligami dalam Perspektif Islam Berkemajuan. Suara Aisyiyah, 23 NovemberHamka. 2015. Tasawuf Modern. Jakarta: Penerbit RepublikaHamka. 1984. Falsafah Hidup. Jakarta: Penerbit PanjimasRejat Hidayat. 2016. Di Balik Situs Berita Hoax Cerita di Balik Situs Postmetro dan Seword. Tirto.id, 16 Desember
Liputan Mendalam

Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-25 April 2023 (18.00 WIB)-#3 Artikel

Read in English Language Version

Mengenal film dokumenter mulai dari sejarah, kegunaannya, jenis, hingga tahap pembuatannya. Selain itu, dalam membuat film dokumenter penting sekiranya memahami pendanaan, promosi, dan publikasi film dokumenter. Untuk mengenalnya lebih dalam, perlu sekiranya menonton beberapa film rekomendasi.

***

Baca Serial Liputannya Di Sini

Film Dokumenter: Publikasi, Promosi, dan Pendanaan


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-25 April 2023 (18.00 WIB)-#12 Menit

Read in English Language Version

Baca tulisan liputan sebelumnya Film Dokumenter: Sejarah, Kegunaan, Jenis, dan Tahap Pembuatan

Dalam membuat film dokumenter penting sekiranya memahami pendanaan, promosi, dan publikasi film dokumenter. Lalu, bagaimana Film Dokumenter di publikasikan dan dipromosikan? Dan bagaimana Film Dokumenter bisa mendapatkan sumber pendanaan?

***

Jakarta, Kebijakan.co.idPublikasi Film Dokumenter. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mempublikasikan film dokumenter, ibarat ‘banyak jalan menuju Roma’, ada beberapa pilihan dari yang perlu modal lebih hingga minim modal.

Pertama, melalui Bioskop, cara paling konvensional namun sudah teruji adalah dengan menayangkannya di bioskop-bioskop yang ada. Cara ini dilakukan mulai dari premier (penayangan pertama) hingga penayangan terakhir, akan tetapi ada biaya yang harus ditekan jika menggunakan metode ini. Namun cara ini dihitung mahal, karena harus menyewa studio bioskop, jika penontonnya banyak alhasil dapat diganti, jika sebaliknya maka harus menombok.

Selain cara bioskop konvensional, ada pula bioskop online seperti Netflix, HBO, Bioskop Online, dan lainnya yang memang sengajar dihadirkan sebagai jawaban atas ‘malas’ dan ‘mahal’nya bioskop konvensional. Akan tetapi, biaya yang harus dibayar ialah pembajakan yang efeknya film tersebut akan tersebar di Internet secara gratis pula.

Sumber: Cinemapoetika.com

Kedua, melalui Nonton Bareng. Cara nonton bareng atau biasa disebut dengan nobar ini, biasa dilakukan oleh WatchDoc seperti pada Ekspedisi Indonesia Biru dan beberapa komunitas film lokal di daerah-daerah. Dengan jaringannya di beberapa daerah, WatchDoc melakukan penawaran untuk melakukan nonton bareng dengan komunitasnya.

Nobar seperti ini, juga efektif dengan distribusi ‘dari mulut ke mulut’ yang lebih tepat sasaran. Metode ‘mulut ke mulut’ ini membuat branding WatchDoc di akar rumput semakin kuat dan meluas.

Menurut Ahsan Andrian yang merupakan praktisi pembuat film dalam tulisannya di Cinemapoetica.com, menjelaskan bahwa untuk membuat nonton bareng harus ada tiga faktor yang persiapkan secara benar hingga tak menggangu nonton bareng tersebut.

Pertama, kualitas materi film, di mana memperhatikan besaran ukuran file, hingga kualitas suara. Yang kedua, ialah kualitas tempat pemutaran, apakah di ruangan atau tempat terbuka, seperti apa pintu masuk dan keluarnya, posisi alat pemutarnya.

Dan yang ketiga, ialah kualitas alat pemutar, seperti laptop yang memang sudah dipersiapkan untuk tidak muncul notifikasi, pemutarnya yang tidak bermasalah, hingga layarnya yang harus disesuaikan.

Ketiga, melalui Festival Film. Salah satu menggaet penonton, khususnya secara internasional, terlebih mendapatkan prestasi atas film ialah dengan mengikutkan film tersebut kepada festival film.

Menurut Fanny Chotimah dalam wawancaranya dengan In-Docs, mengatakan, “Festival film menjadi bagian penting dalam distribusi (penyaluran)… untuk menemukan penontonnya secara internasional.”

Fanny Chotimah dalam Wawancaranya dengan In-Docs

Menurut Fanny tipsnya ialah, “Agar bisa tembus festival, kita (harus) rajin-rajin daftar.” Jikapun ditolak, “Sudah biasa. Jadi kalau ditolak ya bikin lagi.”

Tips lainnya datang dari Wregas Bhanuteja sutradara yang memenangi 4 piala citra –non dokumenter. Menurutnya dalam wawancara dengan Studio Antelope, untuk bisa masuk Festival Film khususnya yang internasional ialah, “Berkaryalah dengan hati Mu.”

Keempat, melalui Youtube. Selain itu, cara lainnya yang paling terakhir ialah dengan menguploadnya ke youtube yang bisa diakses semua orang.

Promosi Film Dokumenter

Promosi menjadi penting, sebab sayang seribu sayang jika film dokumenter sudah bagus namun yang menonton sangat sedikit, sehingga salah satu tujuan keberdampakan dari film atau dampak memberi tahu kepada publik dalam isi film tidak maksimal. Ada beberapa cara membuat promosi film dokumenter.

Pertama, melalui Media Sosial. Di tengah informasi beracun dan gak jelas bersliweran di media sosial, informasi dari film dokumenter tentu menjadi fatamorgana. Kecuali memang masyarakatnya dengan kualitas rendah, sehingga informasi mengenai film berkualitas, tidak menjadi makanan utama otak, akan tetapi informasi gak jelas dan beracun.

Strategi media sosial, bisa menggunakan dengan membuat akun tersendiri dengan judul film, dengan membahas seluk beluk atau di balik pembuatan film, cuplikan (trailer) dan sebagainya, sebagai informasi pengail untuk menonton film dokumenter utama.

Atau dengan menggunakan pemengaruh (influencer) yang benar-benar pemengaruh. Biasanya dijalankan oleh satu orang yang mempromosikan film dokumenter. Atau dengan kerjasama dengan akun media sosial yang suka membahas atau mereviu film, itu akan berpengaruh karena ceruk penontonnya jelas yang suka nonton film.

Kedua, melalui Pers atau Media Massa. Selanjutnya dengan Pers Rilis, dengan bantuan media massa. Di mana membuat konfrensi pers dengan mengundang jurnalis-jurnalis yang suka membahas atau mengulas film. Cara ini cukup efektif untuk orang-orang yang ingin benar-benar tahu isi film tersebut, karena terkadang media sosial terkenal racunnya jadi tidak ingin dibaca oleh yang benar-benar ingin menonton.

Selain itu Pers juga membantu untuk mengulas nilai-nilai dalam film tersebut, yang sangat bermanfaat untuk pengail penonton film dokumenter utama. Hal tersebut, bergantung kepada film dokumenternya, jika baik maka ulasannya baik, jika sebaliknya, ya terima saja. Karena jurnalis yang jujur akan mengulas apa adanya.

Ketiga, melalui Penghargaan. Promosi selanjutnya yaitu dengan penghargaan. Penghargaan bukan hanya untuk membuktikan film tersebut bagus atau tidak, akan tetapi juga sebagai ajang promosi bahwa film tersebut masuk ke dalam nominasi, daftar panjang, daftar pendek, hinga memenangkan penghargaan tersebut.

Hal tersebut tentu menjadi pengail yang sangat sulit dilakukan film lain, karena tentu tidak semua film dokumenter mendapatkan kesempatan itu. Dan penonton setidaknya ‘sudah’ terjamin akan menonton film yang bagus, walaupun terkadang selera penonton berbeda-beda.

Jokowi Menghadiri Festival Film Indonesia Tahun 2021
Jokowi menghadiri Festival Film Indonesia 2021 (Kris/Sekretariat Presiden RI)

Keempat, melalui Kontroversi. Film juga bisa dikenal masyarakat dengan tema atau topik yang kontroversial diangkat, seperti pengungkapkan sejarah atau pengungkapan kejahatan yang besar. Hal tersebut menjadi nilai tambah untuk dikenal masyarakat, dengan tujuan masyarakat menjadi penasaran.

Kelima, melalui Masyarakat (Komunitas). Selain itu, film dokumenter juga bisa dipromosikan kepada dan oleh masyarakat. Cara ‘dari mulut ke mulut’ adalah cara yang paling efektif untuk mempromosikan suatu barang, walaupun lambat, tapi inilah cara yang pasti.

Kesan baik dari portofolio sebelumnya atau film dokumenter yang sedang ditayangkan adalah kunci utama dari cara ‘mulut ke mulut’. Hampir sulit dibantah jika keduanya tidak memiliki kualitas.

Lainnya dengan cara masyarakat juga, membuat promo langsung turun ke masyarakat, dengan diskusi atau dengan mengadakan pertemuan-pertemuan, tentu ini tidak mudah, sebab masyarakat belum tentu mau mengikuti jika film dokumenternya tidak menarik.

Keenam, melalui Pendidikan (Sekolah, Kampus). Cara lainnya bekerjasama dengan lembaga pendidikan seperti sekolah dan kampus. Kerjasama tersebut dengan membuat promosi, atau memberikan akses untuk menonton film dokumenter, yang nantinya filmnya akan diulas dan dijadikan pembelajaran atau materi pelajaran. Sehingga dari lembaga pendidikan, akan menyebar terkait nilai atau cerita yang dibawa film dokumenter tersebut. Terlebih, jika menjadi inspirasi untuk tugas-tugas pelajar atau mahasiswanya.

Pendanaan Film Dokumenter

Pembuatan film dokumenter tidaklah mudah dan juga tidaklah murah. Perlu pendanaan awal untuk mempersiapkan film dokumenter, mulai dari alat, akomodasi, hingga sumber daya manusia, dan lainnya. Beberapa cara dilakukan oleh pembuat film dokumenter untuk mencari dana awal dan dana untuk keberlanjutan pembuatan film dokumenter selanjutnya.

Pertama, mencari dana melalui donor. Seperti yang dilakukan oleh Fanny Chotimah dengan karyanya You & 1 (2020) yang mendapatkan pengahargaan FFI tahun 2020 dalam kategori Film Dokumenter Panjang terbaik.

Film You & I mendapatkan donor (grant) dari DMZ Doc Fund pada tahun 2017, selanjutnya pada tahun 2018 juga mendapatkan donor dari Forum Pendanaan Akatara yang diselenggarakan oleh Badan Ekonomi Kreatif.

Selain dari donor -yang biasa mengajukan proposal- bisa juga melalui pitching forum atau pertemuan untuk mempresentasikan ide. Forum ini banyak dihadiri oleh industri film seperti rumah produksi, hingga media besar selain itu juga datang para pendonor baik dari lembaga independen maupun dari pemerintahan dalam dan luar negeri. Film You & I (2020) dalam hal ini mengikuti Pitching Forum Doc by The Sea.

Menurut Fanny dalam hal pendonoran dia menyarankan, “tipsnya rajin-rajin ke lembaga funding dan sering mengikuti pitching forum.” Selain itu, dalam hal mengikuti pitching forum menurut Fanny ialah, “membagi waktu yang tepat (untuk durasi film secara detail) dan juga mempresentasikan informasi (tentang ide, produksi, dsb terkait film) yang tepat pula.”

Serta mengkomunikasikan untuk, “bisa meyakinkan pihak-pihak yang berkepentingan akan relevansi dan urgensi dari project kita.”

Menurut Shalahuddin Siregar, seorang pembuat film salah satunya Negeri di Bawah Kabut (2011) & Pesantren (2019) menuturkan dalam tulisannya di Cinemapoetica.com, untuk menembus pasar internasional –baik itu penghargaan atau donor– dibutuhkan tiga elemen ini:

Pertama, kualitas produser yang mempunyai kemampuan bercerita dan topik atau tema yang baik. Kedua, cerita film yang tidak generik atau umum-umum saja. Ketiga, pengalaman dalam melakukan kerjasama internasional.

Untuk mengikuti forum pendanaan (pitching forum) internasional misalnya, Shalahuddin menyarankan harus mengenal karakter forum pendanaan, “TokyoDocs, misalnya, cenderung dekat dengan dokumenter untuk televisi, sementara IDFA Forum cenderung memilih dokumenter kreatif.”

Tips dari Shalahuddin lainnya untuk mengikuti forum pendanaan, “Pembuat film seringkali pitching dari satu forum ke forum yang lain untuk mencukupi jumlah dana yang dibutuhkan.” Tujuannya ialah, “dengan mendapatkan dana dari beberapa stasiun televisi dari negara yang berbeda, dengan mekanisme co-production (urun dana produksi).”

Selain tips di atas, tips lainnya yang lebih teknis datang dari Jason Iskandar pendiri Studio Antelope, menurutnya ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam proses pendanaan. Pertama, menjaga sikap dan komunikasi rencana film, “usahakan tidak terbata-bata.”. Kedua, berpakaian rapih.

Ketiga, menyiapkan presentasi kreatif atau creative deck. Dalam presentasi ini, coba jelaskan dengan sekomunikatif mungkin, siapa diri dan tim kalian, apa saja yang telah dikerjakan dan apa dampaknya, jelaskan film secara singkat dalam satu kalimat (masalah dan karakter) atau premis film, ceritakan alur film secara detail siapa saja yang diwawancara dan babak-babak dalam film, serta film statement atau pesan apa yang mau disampaikan dalam film dokumenter ini, “tentang visi-misi film tersebut.”.

Selanjutnya bisa tampilkan referensi karya yang menginspirasi film dokumenter tersebut, bisa berupa film sebelumnya, jurnal ilmiah, buku, lukisan, musik, fotografi, atau apapun yang menggambarkan dunia yang sekiranya ingin diwujudkan, “tujuannya untuk calon investor atau yang memberikan dana bisa menerka-nerka.”

Selain itu, desain grafis dari presentasi juga perlu diperhatikan agar menarik, seperti memperhatikan warna selaras, jenis font, dan gambar-gambar pendukung yang mewakili ‘jiwa’ film tersebut.

Keempat, menjabarkan kebutuhan dana atau budget, mulai dari development (pengembangan awal), pra-produksi, produksi, pasca produksi, distribusi, hingga promosi.

Kedua, melalui pendanaan tabungan Tabungan Pribadi. Salah satu contoh yang menggunakan tabungan pribadi, ialah yang dilakukan Dandhy Laksono ketika membuat film dokumenter Sexy Killer, sebagai salah satu film serial Ekspedisi Indonesia Biru.

Dalam wawancaranya dengan In-Docs mengatakan, “Saya menggunakan tabungan (pribadi) dan WatchDoc (perusahaan rintisan Dandhy) juga menggunakan tabungan (selama 5 tahun ke belakang).” Diketahui bahwa WatchDoc merupakan perusahaan rumah produksi video komersial untuk stasiun televisi dan lembaga-lembaga, dari selisih keuntungan rumah produksi tersebutlah ditabung untuk membiayai pembuatan film.

Dandhy Laksono dalam Wawancaranya dengan In-Docs

Menggunakan dana pribadi juga disampaikan oleh Mahatma Putra (Direktur Anatman Pictures) dalam kegiatan di @america. Menurutnya, dianalogikan, hari minggu videoin perkawinan, seninnya meliput yang kita inginkan.

Artinya, minggu bekerja untuk komersial seperti videografer sebuah kegiatan, seninnya bekerja sesuai dengan visi yang diinginkan. Hal yang seperti, yang bisa membuat karya kita menjadi bebas, tanpa diintervensi oleh pendonor, atau pihak-pihak lainnya. Salah satu hasilnya ialah Film Atas Nama Daun (2022), film yang menjelaskan sisi lain dari Ganja, yang masuk nominasi Festival Film Indonesia 2022 kategori Film Dokumenter Panjang.

Ketiga, mencari dana melalui Kerjasama. Kerjasama bisa dilakukan seperti yang dilakukan oleh WatchDoc dengan Kolaborasinya dengan berbagai pembuat film, periset, atau aktivis masyarakat di lapangan yang terdampak langsung. Beberapa film yang bekerjasama dengan pemerintahan, akan tetapi ide ini menyebabkan topik yang diangkat ‘harus selaras dengan pemerintah’.

Kerjasama juga bisa dilakukan dengan pihak Stasiun Televisi atau Rumah Produksi yang ikut urun dana sebagian dalam pembuatan film atau membeli lisensi film kita untuk ditampilkan di bioskop dan penayangan lainnya.

Tips kerjasama dengan TV atau Rumah Produksi, menurut Shalahuddin Siregar dalam tulisannya, “Sebelum mengirim proposal kepada mereka, wajib hukumnya untuk mengetahui program apa yang mereka pegang dan film seperti apa yang mereka cari. Jangan mengirim proposal secara sporadis (asal-asalan) kepada mereka.”

Keempat, mencari dana melalui Kompetisi dan Penghargaan. Selain itu, mengikuti kompetisi dan penghargaan festival film dokumenter juga merupakan salah satu untuk mendapatkan pemasukan dan tentu penghargaan.

Seperti pada kompetisi pada umumnya, mereka akan menyeleksi, jadi tetap pembuat film harus memiliki modal awal untuk membaut film. Hal tersebut yang membuatnya sangat sulit, dan memang harus benar-benar karya terbaik yang harus disiapkan. Serta harus rajin-rajin mengikuti kompetisi dan penghargaan, jika gagal, mencoba kembali.

Beberapa daftar penghargaan film dokumenter yang ada di Indonesia yang bisa diikuti untuk film dokumenter. Pertama, Festival Film Indonesia. Kedua, Festival Film Dokumenter Jogjakarta. Ketiga, Festival Film Dokumenter Solo. Keempat, Festival Film Internasional Bali Balinale. Kelima, Festival Film Malang. Keenam, Indonesia Raja. Ketujuh, Minikino Festival. Kedepalan, Begadang (salah satu sub penghargaan Minikino). Kedelapan, X-Press Indonesia. Kesembilan, Festival Film Lampung. Kesepuluh, Tebas Award. Kesebelas, Festival Film Papua. Terkahir, Festival Film Puskat.

Selain itu ada beberapa juga yang mungkin tidak tercatat. Misalnya kompetisi videografi yang memuat unsur film dokumenter, atau beberapa lomba di universitas.

Kelima, mencari dana melalui Iklan Langsung. Untuk iklan rasanya sangat sulit, karena hampir sulit membedakan antara film yang dibuat-buat dengan film dokumenter yang memang nyata adanya. Sebab, iklan biasanya mengharuskan film menarasikan produk yang diiklankan.

Akan tetapi, jika pihak pengiklan menyerahkan seluruh proses produksi tanpa ada titipan untuk menarasikan suatu produk, hal itu boleh saja dilakukan. Akan menjadi nilai tambah, jika mendukung produk tersebut.

Misal, tentang masalah pendidikan yang coba dinarasikan didukung oleh Kementerian Pendidikan atau perusahaan penyedia jasa pendidikan. Akan tetapi, yang perlu ditekankan ialah pada independensi pembuat film.


Kebenaran membutuhkan wadah. Kejujuran membutuhkan suara. Kenyataan membutuhkan kamera. Film Dokumenter hadir untuk ketiganya.

Redaksi Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Mendalam "Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona" Lainnya:
•Film Dokumenter: Sejarah, Kegunaan, Jenis, dan Tahap PembuatanFilm Dokumenter: Publikasi, Promosi, dan PendanaanRekomendasi Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona

Serial Liputan Mendalam ini dikerjakan independen oleh Kebijakan.co.id, untuk mendukung Liputan Mendalam ini tetap terus dikerjakan oleh Kebijakan.co.id, ayo dukung Kebijakan.co.id di sini.
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 25 April 2023
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Ahsan Adrian. 2013. Mari Memutar Film!. Cinemapoetica.com, 25 DesemberShalahuddin Siregar. 2015. Rupa-Rupa Pendanaan Dokumenter. Cinemapoetica.com, 1 SeptemberIn-Docs Indonesia. 2020. Cerita Fanny Chotimah di Balik Layar YOU & I. Youtube.com, 15 NovemberIn-Docs Indonesia. 2020. Cerita Dandhy Laksono di Balik Layar SEXY KILLERS. Youtube.com, 16 NovemberStudio Antelope. 2019. Tips Lolos Pitching Film. Youtube.com, 14 Mei
Liputan Mendalam

Film Dokumenter: Sejarah, Kegunaan, Jenis, dan Tahap Pembuatan


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-25 Aprl 2023 (18.00 WIB)-#13 Menit

Read in English Language Version

Mengenal film dokumenter mulai dari sejarah, kegunaannya, jenis, hingga tahap pembuatannya.

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — Sentuhan kumpulan gambar yang apik, suara narasi yang baik, suara latar yang menarik, ditambah cerita yang utuh dan narasumber yang mempuni, adalah gambaran film dokumenter yang enak dilihat.

Untuk mempelejarinya tentu tidak semudah membalikkan tangan, ada begitu tahapan dan pembelajaran yang perlu dilakukan. Ada berbagai teknik, metode, dan sentuhan-sentuhan magis — mengarah kreativitas dan keindahan — untuk membuat sebuah film dokumenter.

Secara definisi, film dokumenter bisa dikatakan, “Mendokumentasikan cerita peristiwa yang pernah terjadi, baik yang sudah lampau atau sedang terjadi (faktual), melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung, hingga gambaran kondisi yang terjadi melalui visual.”

Tulisan ini akan membahas segala hal yang berkaitan dengan film dokumenter, mulai dari awal hingga akhir. Akan tetapi penekanannya ada pada kekayaan cerita, kebagusan sinema, dan persona atau ciri khas narasumber

Mengumpulkan beberapa sumber informasi, mulai dari video yang terpeceraya, buku, jurnal penelitian, dan beberapa catatan-catatan lainnya yang tercecer. Tujuannya untuk memperkaya informasi untuk bahan belajar membuat film dokumenter.

Pembahasan film dokumenter di tulisan ini, mulai dari sejarah, kegunaan, tahap-tahap pembuatan, jenis-jenisnya, publikasi, promosi, pencarian dana, beberapa contoh film dokumenter yang menarik, hingga detail-detail lainnya yang membuat catatan ini semakin komprehensif.

Sejarah Film Dokumenter

Dalam perkembangan sejarah film dokumenter, menurut DocsOnline dalam lamannya menyatakan bahwa sejarah film dokumenter dimulai dari akhir 1990, tepatnya 1896 dengan judul film A Train Arrives at Ciotat Station karya Auguste Lumiere.

Film sederhana yang menampilkan sebuah kereta datang, yang dalam film seolah-seolah kereta tersebut datang dan menabrak penotnon, menciptakan efek psikologis nyata.

Namun, film tersebut masih belum dikatakan lengkap karena hanya memberikan gambaran satu peristiwa kedatangan kereta. Adalah lengkap karya yang dibuat oleh Robert Flaherty dengan judul Nanook of the North (1922), yang mengisahkan kehidupan suku pemburu di Eskimo.

Nanook Of The North Poster

Dikatakan lengkap karena dalam film tersebut mengandung unsur footage (gambar panjang), aktualitas, latar gambar pemandangan menjadi satu keutuhan dengan cerita menjadi sebuah film.

Setelah itu, perkembangan film dokumenter berkembang sesuai dengan zamannya, mulai dari kondisi perang dunia hingga kepada munculnya digitalisasi dengan penyedia video sesuai dengan keinginan (video on demand). Hal tersebut, membuat film dokumenter berkembangan sesuai dengan teknologi dan kebutuhan manusia.

Kegunaan Film Dokumenter

Menurut Eric Sasono, salah satu pengkaji Film Dokumenter di Indonesia, mengatakan dalam catatannya Ekonomi Kreatif dan Film Dokumenter (2016), “Film dokumenter punya peran dalam menciptakan ‘publicness’ atau membuat yang tersembunyi jadi bersifat terbuka.”

Terbuka di sini menurutnya, “dibicarakan sebagai bagian dari keterlibatan politik yang diharapkan bisa mempengaruhi kebijakan sosial, politik dan budaya, atau setidaknya mengubah kepedulian orang banyak terhadap suatu persoalan.”

Selain mengungkapkan hal yang tersembunyi, pada dasarnya menurut Eric Sasono, “Film dokumenter seperti halnya bidang seni dan kebudayaan lain, merupakan bagian dari upaya pembentukan opini, pertukaran gagasan dan eksplorasi estetika sendiri.”

Sedangkan menurut Anastasya Lavenia dalam esainya Dokumenter sebagai Medium Advokasi (2021), tidak hanya berhenti pada pembentukan opini dan esetika, lebih tegas Film Dokumenter juga bisa menjadi media perlawanan dan pembelaan atau advokasi.

“Pembuat dokumenter bisa memilih ‘kebenaran’ seperti apa yang ingin mereka hadirkan ke dalam filmnya. Meski tidak ujug-ujug mengubah dunia, pembuat dokumenter harus memiliki kesadaran bahwa karyanya memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi audiens mengenai realita.”

Tegasnya, “upaya-upaya pengarusutamaan film dokumenter yang memantik percakapan dan mendorong perubahan harus selalu diupayakan.”

Sebab menurut Anastasya, mengutip dari Irwanto (2021), “Sejarah produksi dokumenter Indonesia dimonopoli pemerintah dari masa kolonial hingga orde baru dan baru menemukan kebebasan untuk berkembang setelah reformasi (Irawanto, 2012).”

Jelas sudah, dokumenter sejatinya menyampaikan yang ada dengan estetika (keindahan visual) tanpa dibuat-buat. Dalam menyampaikan yang ada tersebut tentu perlu kacamata, jika menggunakan kacamata masyarakat, sampaikanlah yang berkaitan dengan masyarakat dengan segala tetek-bengeknya sosial, politik, ekonomi, dan lainnya. Jika hanya menggunakan kacamata alam, tentu lihat semua yang ada berkaitan dengan alam, termasuk kerusakan yang ada.

Selain untuk media advokasi, lainnya Film Dokumenter juga dapat dijadikan media pembelajaran dan dokumentasi sejarah juga budaya.

Untuk media pembelajaran, menurut Riri Rikarno dalam jurnalnya berjudul Film Dokumenter Sebagai Sumber Belajar Siswa (2015) menyimpulkan bahwa siswa dapat belajar dari Film Dokumenter, yang menekankan pada manfaat kognitif (tentang nalar atas penjelasan di film dokumenter), manfaat psikomotorik (kemampuan bertindak atas pelajaran atau pengalaman tertentu atas yang terjadi di film dokumenter), dan manfaat afektif (yang berhubungan dengan perasaan dan emosi atas rasa atas seni yang terjadi di film).

Sedangkan untuk media dokumentasi sejarah juga budaya. Untuk sejarah, film dokumenter bisa saja menjadi bahan ilmu sejarah, asalkan tetap berdasarkan disiplin seperti fakta, cerita, dokumen, dan realita. Seperti kesimpulan yang dibuat oleh Aan Ratmanto dalam jurnalnya berjudul Beyond The Historiography: Film Dokumenter Sejarah Sebagai Alternatif Historiografi di Indonesia (2018), “Film, khususnya film dokumenter, dipandang sebagai media baru yang sesuai dengan karakteristik sejarah karena sama-sama menghadirkan realitas kehidupan nyata.”

Selain sejarah, film dokumenter juga bisa untuk budaya atau tradisi. Film Dokumenter bisa menjadi dokumentasi atas budaya untuk diwariskan kepada generasi penerus. Seperti kesimpulan menurut Citra Dewi Utami dalam jurnalnya berjudul Film Dokumenter Sebagai Media Pelestari Tradisi (2010), “Film dokumenter merupakan salah satu genre media audio visual yang digunakan untuk memediasi kembali pelestarian tradisi yang pada hakekatnya menjadi warisan besar.”

Pendidikan, sejarah, dan budaya sudah menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan film dokumenter, sebab ini menjadi dokumen penting yang menggambarkan keadaan yang nyata. Dokumen penting ini nantinya bisa dijadikan bahan pembelajaran dan juga warisan yang diturunkan. Oleh karenanya perlu untuk mempersiapkan dengan sungguh dalam pembuatan film dokumenter.

Tahap-Tahap Pembuatan Film Dokumenter

Dalam tahap pembuatan film dokumenter, menurut Wahyu Utami Wati dengan karya filmnya The Unseen World (2017) yang memenangi Festival Film Indonesia kategori Film Dokumenter pendek terbaik, memberikan 3 tahapan dalam pembuatan film dokumenter.

Pertama, tahap Pra-Produksi. Dalam tahap Pra-Produksi, diperlukan pengembangan terhadap 3 hal.

Hal yang pertama ialah pengembangan ide. Menurut Utami dalam penjelasannya, “Ide Pembuatan Cerita Dokumenter bukan dari hal yang imajinatif, tetapi dari fakta (realita)”, dari keadaan yang nyata tersebut, ide dikembangkan menjadi gagasan, gagasan tersebut menurut Utami, “kita perlu menguji gagasan tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan.”

Pertanyaan pertama, apakah saya memiliki pengetahuan yang besar tentang gagasan tersebut?

Pertanyaan kedua, apakah saya memiliki ikatan emosional yang besar terhadap gagasan itu dibandingkan dengan hal lain?

Pertanyaan ketiga, apakah saya memiliki opini terhadap gagasan itu? mampukah saya berpihak? kepada siapa saya berpihak?

Pertanyaan keempat, apakah saya memiliki dorongan kuat untuk mempelajarinya?

Ide tersebut harus disesuaikan dengan ketiga hal ini. Pertama, Film dokumenter jenis apa yang akan dibuat. Kedua, bagaimana gambaran kemasan film dokumenternya. Ketiga, kepada siapa target penontonnya. Ketiga hal tersebut harus sinkron dengan ide yang akan dikembangkan.

Pengembangan yang kedua adalah melakukan riset awal. Menurut Wahyu Utami Wati, dalam melakukan riset ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab.

Pertanyaan pertama, seberapa besar pengetahuan kita terhadap persoalan-persoalan yang ingin dijadikan film?

Pertanyaan kedua, seberapa jauh pengetahuan kita terhadap tindakan-tindakan subjek dalam persoalan yang ingin diangkat?

Pertanyaan ketiga, apa hubungan subjek yang ingin diangkat dengan tokoh lain yang terlibat?

Pertanyaan keempat, bagaimana subjek yang ingin diangkat menghadapi persoalan tersebut? apa saja yang dia lakukan?

Selain itu, menurut Yuda Kurniawan yang memenangi Festival Film Indonesia tahun 2020 dalam kategori film dokumenter terbaik dengan karya Nyanyian Akar Rumput (2020).

Menurut Yuda dalam satu wawancarannya oleh Siasat Cinema, salah satu hal yang dipertanyakan sebelum membuat film ialah. Pertama, ketertarikan terhadap isu dan subjek. Kedua, Memiliki kegelisahan terhadap isu dan subjek.

Sedangkan menurut Search for Common Ground ada beberapa yang perlu dipersiapkan di awal ialah pesan utama apa yang ingin disampaikan.

Pengembangan yang ketiga ialah Pembuatan Langkah-Langkah (treatment). Di dalam pembuatan treatment susunan adegan yang akan divisualkan dilengkapi dengan alur cerita yang jelas. Seperti, penemapatan narasi, penempatan wawancara, unsur audio sudah ditempatkan dengan baik. Semua hal tersebut sudah harus disusun.

Kegunaan Treatment dipakai sutradara untuk acuan pengambilan gambar. Dalam tahap ini sutradara membuat shot list, daftar apa saja yang ingin diambil gambarnya secara rinci melalui dua pembagian video dan audio. Setelah itu, skenario (narasi) dibuat setelah pengambilan gambar dalam bentuk editing script (Video-Audio).

Tak kalah penting, ialah menyusun metode perekaman, baik itu merekam langsung atau rekonstruksi peristiwa. Selain itu dengan apa cara pengambilan gambar, apa dengan pengambilan gambar dekat, menengah, atau jauh.

Selain itu persiapan untuk wawancara, mulai dari cara pendekatan kepada subjek, hingga daftar pertanyaan, dan sekiranya apa saja kegiatan yang akan diikuti subjek tersebut.

Dan jika diperlukan ialah turun ke lapangan untuk melakukan survei, baik dari pengambilan gambar, lokasi wawancara, hingga hal-hal teknis lainnya selama produksi.

Hal teknis lainnya yang perlu dipersiapkan untuk menunjang treatment menurut Search for Common Ground ialah: pertama, tantangan apa yang sekiranya akan dihadapi selama proses produksi? siapkan plan A, plan B, plan C. Kedua, menulis pertimbangan teknis saat syuting, seperti akomodasi, administrasi, kendaraan, penginapan, perijinan, kondisi cuaca, dan lain-lain.

Kedua, Tahap Produksi (Proses pengambilan gambar). Dalam tahap produksi, ada dua tahap besar yang dilakukan yaitu wawancara dan pengambilan gambar sesuai daftar yang dipersiapkan atau shot list.

Hal pertama yang dilakukan ialah proses wawancara terhadap subjek. Proses wawancara tidak terbatas hanya tanya jawab, akan tetapi observasi kegiatan-kegiatan subjek dan keadaan kondisi di sekitar.

Selain itu, yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan wawancara ialah lokasi atau setting tempat wawancara diambil menjadi penting untuk kita perhitungkan. Dengan mempertimbangkan kualitas cahaya dan tidak bising dengan suara-suara yang kemungkinan menggangu.

Hal Kedua yang dilakukan ialah juru kamera membuat dan melaksanakan shot list, dipersiapkan dan dilaksanakan detik per detik selama waktu yang ingin difilmkan sesuai dengan rencana yang telah ditulis. Dalam hal ini tidak hanya daftar gambar, juga daftar suara yang sekiranya bisa diambil.

Perlu diingat, pembuat film juga jangan terlalu terpaku dengan rencana, dia perlu mengambil kesempatan untuk mengambil gambar sesuai dengan ide yang sekiranya berguna. Hal tersebut untuk memperkaya film nantinya, dan jika bisa menjadi ide cerita tersendiri.

Dari sisi teknis, kamera yang perlu dipersiapkan setidaknya untuk mengambil gambar jarak dekat (close up) biasanya wawancara, medium shot (jarak menengah), dan jarak jauh (wide shot).

Ketiga, Pasca Produksi. Dalam tahap pasca produksi, agenda yang terlibat ialah tentu mengedit kumpulan video tersebut menjadi suatu film, menambahkan narasi cerita, hingga menyatukan suara, hingga menjadi satu kesatuan yang indah.

Hal pertama yang dilakukan adalah editing. Ialah tugas editor, mengedit video sesuai dengan editing script atau alur film sesuai dengan rencana di awal atau dengan kesepakatan pembuat film dilapangan yang mengetahui kondisi cerita subjek paling dekat.

Beberapa yang perlu dipertimbangkan. Ialah, menghitung detail durasi sesuai dengan target apakah film dokumenter panjang (1 jam lebih) atau pendek (30 menit kurang).

Hal kedua yang dilakukan ialah, pembuatan dan perekaman narasi oleh narator. Narasi dibuat setelah sekiranya sudah di tetapkan alur cerita yang disepakati, dari situlah narasi dibuat sesuai kebutuhan cerita. Hal lainnya yang dipersiapkan adalah juga memasukan riset dan grafis yang menunjang narasi sehingga mudah dicerna oleh penonton.

Hal ketiga yang perlu dilakukan ialah, menempatkan dan mengatur musik agar sesuai dengan visual. Hal tersebut dibutuhkan untuk membuat film menjadi lebih menarik selain dialog dari wawancara subjek atau narasi oleh narator. Kebutuhan musik juga harus disesuaikan dengan film dokumenter yang dibuat.

Hal lainnya ialah pembuatan kredit film di akhir, seperti pihak-pihak yang terlibat hingga keterangan-keterangan lainnya yang perlu dicantumkan.

Jenis-Jenis Film Dokumenter

Dari beberapa film dokumenter yang ada, beberapa pembagiannya jelas terlihat.

Pertama, film dokumenter investigatif. Jenis film dokumenter ini isi ceritanya mengungkapkan sesuatu yang tersenyembunyi dengan pendekatan latar gambar (kerusakan lingkungan, pembunuhan, dan lainnya) sebagai bukti akan adanya kecurangan.

Ditambah dengan karakter umumnya sebagai orang pertama atau orang ketiga serba tahu yang mencari bukti, baik itu gambar langsung, pengakuan, wawancara, dan lainnya yang mendapatkan gambar.

Umumnya kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis, karena merupakan keahlian dalam mengungkapkan kejahatan, tetapi bukan tidak mungkin dikerjakan oleh selain jurnalis, khususnya orang yang ingin mengungkapkan sesuatu yang menurutnya penting.

Contoh dari film dokumenter investigatif ini seperti film Collective (2020) karya Alexander Nanau, yang berkisah tentang kondisi pelayanan kesehatan di Romania yang buruk, dibuktikan dengan korban kebakaran di Cafe Collevtive yang bukannya sembuh justru meninggal. Selain itu ada Citizenfour (2014) karya Laura Poitras, yang berkisah tentang penyadapan oleh pihak keamanan USA yang dibocorkan oleh satu orang yang mengaku Citizenfour kepada jurnalis The Guardian.

Kedua, Film Dokumenter Penjelasan (Expository). Film ini menjelaskan sesuatu cerita yang kompleks kedalam film, dengan sebuah cerita. Kelemahannya memang, tidak semua terungkap dan terjelaskan, akan tetapi mendapatkan gambaran secara utuh. Biasanya akan dibagi ke dalam beberapa bab untuk beberapa topik penjelasan.

Contoh dari film dokumenter penjelasan ini seperti Atas Nama Daun (2022)karya Mahatma Putra, yang menjelaskan sisi positif dari ganja, mulai dari membahas kesehatan, efeknya pada korban, legalisasi pengaturan, hingga lainnya.

Ketiga, Film Dokumenter Observasional (Direct Cinema). Film jenis ini menjelaskan satu peristiwa, atau satu kejadian, atau satu subjek secara detail dan mendalam, mulai dari kesehariannya, kegiatannya apa, dan apa saja yang dilakukan. Hal tersebut membuat film ini akan terasa membosankan, akan tetapi jika dibalut dengan tangkapan gambar sinematografi yang baik dan disusun atas alur penceritaan yang tersusun menjadi sangat menarik.

Contoh dari film dokumenter penjelasan ini All That Breathes (2022) yang akan dijelaskan lebih lanjut pada akhir tulisan ini, karena memang salah satu favorit.

Keempat, Film Dokumenter Sejarah atau Perjalanan. Film jenis ini menjelaskan rangkaian peristiwa yang panjang, dan memang tidak mudah, harus benar-benar dipersiapkan sejak dari awal untuk mendokumentasikannya.

Contoh dari film ini ialah Fire of Love (2022) yang mendokumentasikan perjalanan dua sejoli vulkanologi mengunjungi beberapa gunung berapi, dibuatkan film dokumenter dari file-file yang mereka rekam bertahun-bertahun jauh setelah dua sejoli ini meninggal. Penjelasan lanjutannya akan ada di bawah karena merupakan film dokumenter favorit.

Selain itu ada beberapa pendekatan menurut Wahyu Utami Wati, ada Issue Driven (pendekatan berdasarkan isu) dan Character Driven (pendekatan berdasarkan subjek tokoh).


Kebenaran membutuhkan wadah. Kejujuran membutuhkan suara. Kenyataan membutuhkan kamera. Film Dokumenter hadir untuk ketiganya.

Redaksi Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Mendalam "Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona" Lainnya:
•Film Dokumenter: Sejarah, Kegunaan, Jenis, dan Tahap PembuatanFilm Dokumenter: Publikasi, Promosi, dan PendanaanRekomendasi Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona

Serial Liputan Mendalam ini dikerjakan independen oleh Kebijakan.co.id, untuk mendukung Liputan Mendalam ini tetap terus dikerjakan oleh Kebijakan.co.id, ayo dukung Kebijakan.co.id di sini.
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 25 April 2023
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Docs Online. History Of Documentary FilmEric Sasono. 2016. Ekonomi Kreatif dan Film Dokumenter. Medium.com, 2 MayAnastasya Lavenia. 2021. Dokumenter sebagai Medium Advokasi. Remotivi.or.id, 8 SeptemberRiki Rikarno. 2015. Film Dokumenter Sebagai Sumber Belajar Siswa. Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 17 No. 1Aan Ratmanto. 2018. Beyond The Historiography: Film Dokumenter Sejarah Sebagai Alternatif Historiografi di Indonesia. Jurnal Sasdaya, Vol. 2 No. 2Citra Dewi Utami. 2010. Film Dokumenter Sebagai Media Pelestari Tradisi. Jurnal Acintya, Vol. 2 No. 1Film Musik Saya PMMB. 2018. Video Tutorial Film Dokumenter. Youtube.com, 25 DesemberSearch for Common Ground. 2013. 10 Langkah Membuat Film Dokumenter. Youtube.com, 1 AgustusStudio Antelope. 2019. Bikin Dokumenter Ala Yuda Kurniawan. Youtube.com, 7 Agustus
Liputan Mendalam

Rekomendasi Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-25 April 2023 (18.00 WIB)-#12 Menit

Read in English Language Version

Baca tulisan liputan sebelumnya Film Dokumenter: Publikasi, Promosi, dan Pendanaan

Beberapa film dokumenter yang direkomendasikan oleh Kebijakan.co.id untuk ditonton.

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — Dari beberapa film dokumenter yang Kebijakan.co.id tonton, dilihat dari kualitas penceritaan, filmografi, permasalahan, dan karakter (persona) yang kuat beberapa di antaranya dibahas secara singkat dalam bingkai cerita, sinema, dan persona.

Senyap / The Look of Silence (2015) karya Joshua Oppenheimer.

Dengan mengangkat cerita sejarah di balik peristiwa tahun 1965 di Indonesia yaitu pembantaian mereka yang dituduh komunis, tanpa diadili, dengan melibatkan negara, preman (freeman), dan komunitas agama. Dokumenter ini dibalut dengan perjalanan pencarian akan hal yang sangat pribadi, pencarian pembunuh sang Kakak.

Poster Film Senyap

Dari sisi sinematografi, pengambilan gambar sangat reflektif dengan alunan nada piano yang menyedihkan, dengan latar gambar yang menyeramkan menggambarkan keadaan ketika itu, dengan nada warna yang sedikit gelap.

Dari sisi karakter (pesona), film ini sangat otentik. Perjalanan subjek atas masalah pribadi yang penasaran dengan apa yang terjadi di masa lalu terhadap sang Kakak, membawanya ke beberapa tempat dan orang, mewawancarinya, bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

All That Breathes (2022) karya Shaunak Sen

Kedua, cerita dari India tentang bagaimana kedua orang, adik-kakak, yang membuat tempat konservasi untuk burung-burung karnivora seperti elang. Kegiatannya mengambil burung-burung yang sakit, lalu disembuhkan dengan cara operasi, lalu dirawat yang nantinya dilepasliarkan ketika sembuh.

Film All That Breathes Poster

Tidak hanya tentang konservasi, tetapi bagaimana menggambarkan keseimbangan alam, utamanya udara tempat semua mahluk hidup membutuhkan ruang hidup, dari tempat tinggal, bernapas, hingga cuaca. Dengan penceritaan sederhana akan tetapi begitu kuat, menjadikannya mendalam dan sangat reflektif. Disertai bumbu-bumbu masalah toleransi di India.

Secara sinematografi, pengambilan gambar yang sangat menawan, dengan latar gambar langit, burung, dan kota di India yang benar-benar menghipnotis penonton — walaupun sederhana seperti gambar burung, akan tetapi begitu menghipnotis. Selain itu, penempatan potongan video per video juga sangat tepat dalam film, itu juga yang menjadikan penonton terhipnotis. Seakan begitu sangat dekat berada di dalam film.

Dari sisi karakter, sang kakak dan adik ini begitu sangat kuat pendiriannya, walaupun pada awalnya kegiatan konservasi ini tidak menghasilkan — mereka mempunyai bengkel untuk mencari tambahan — akan tetapi mereka mencari sebuah makna bahwa burung — elang khususnya — mengajarkan mereka tentang kehidupan dan membuat mereka menjadi hidup.

The Elephant Whisperers (2022) karya Kartiki Gonsalves

Yang ketiga film dari India, sepasang suami-istri yang bekerja sebagai perawat gajah di salah satu taman nasional di India, mendapatkan tugas merawat gajah kecil yatim-piatu. Tidak semua perawat di sana bisa karena sulitnya merawat gajah kecil yatim-piatu, dengan kasih sayang yang begitu tulus merawatnya, mereka berhasil membesarkannya, hingga mendapatkan tugas kembali untuk merawat gajah kecil yatim-piatu lainnya.

The Elephant Whisperes

Di India (mungkin seluruh dunia), merekalah yang pertama yang berhasil merawat anak gajah yatim-piatu hingga besar, umumnya gajah dirawat oleh perawat ketika dia sudah besar, jadi tidak sulit untuk merawat, memberi makan, mengajarkan cara hidup, dan hal-hal lainnya.

Cerita sederhana tetapi begitu menyentuh, tentang merawat mahluk hidup dan binatang, disuguhkan dengan sinematografi alam yang begitu menawan ditambah alunan suara tenang yang enak didengar menjadikan film ini begitu komplit, walaupun ceritanya sederhana akan tetapi begitu dalam untuk konservasi.

Secara karakter, pasangan suami istri begitu personal merawat gajah kecil yatim piatu, karena mereka baru saja kehilangan anaknya sebelum merawat gajah kecil itu, mereka menggangap merawat gajah kecil tersebut, seperti merawat anaknya yang telah meninggal. Karena ketulusan inilah mereka berhasil dan yang menjadi pertama merawat gajah kecil yatim piatu.

My Octopus Teacher (2020) karya Craig Foster

Film selanjutnya ialah My Octopus Teacher. Sebuah film yang menggambarkan kehidupan dan segala seluk beluk tentang gurita kecil, dibalut dengan penceritaan yang apik begitu menarik dari subjek utama pemeran utama — yaitu orang yang bertemu dengan gurita kecil tersebut.

My Octopus Teacher

Segala bentuk kekaguman atas binatang pintar tersebut disampaikan oleh Sang Narator, menghabiskan 1 tahun penuh dengannya, mulai dari cara mendekati (berkenalan), ‘bermusuhan’, berburu, diburu, perkawinan, hingga kematian.

Secara cerita sebenarnya sangat sederhana, akan tetapi balutan bercerita secara mendalam yang begitu menarik, ditambah sinematografi yang apik. Mengambil gambar detail tentang kehidupan hutan bawah laut selama 1 tahun, memang harus dikerjakan oleh kameramen berpengalaman dan penyelam yang berpengalaman.

Dari sisi karakter Sang Narator, begitu sangat dekat personal, dia mendapatkan dirinya galau (ntah karena apa penyebabnya), lalu bertemu dengan hewan yang begitu ‘canggih’ Sang Gurita, mengobati kegalauannya dengan berteman, sekaligus belajar darinya, mencari seluk beluk kehidupannya.

Sang Narator lalu mengambil satu pelajaran yang didapat dari siklus pendek Sang Gurita Kecil, ia belajar bagaimana menyangai kehidupan, mulai dari keluarga hingga alam — yang dalam hal ini laut.

Seaspiracy (2021) karya Ali Tabrizi

Film selanjutnya masih tentang binatang dan lautan. Berkisah tentang seseorang yang dari kecil menyukai wahana hiburan lumba-lumba, dari situ dia menelusuri bagaimana bisa lumba-lumba itu bisa terdapat di sana, yang mengantar dia kepada negara dengan penangkapan lumba-lumba terbesar yaitu Jepang.

Seaspiracy Film Poster

Jepang menjadi pintu masuk untuk menelusuri dunia gelap ‘ekonomi’ laut. Mulai dari penangkapan hiu, paus, dan lumba-lumba untuk menguntungkan ‘ekonomi’ dari ikan tuna dan beberapa ikan lainnya yang merupakan rantai makanan dari binatang puncak rantai makanan seperti hiu, lumba-lumba, dan paus.

Praktik-praktik ini, disertai dengan praktik pengambilan ikan seperti pukat harimau yang merusak terumbu karang, dan beberapa pengakapan yang sia-sia seperti sirip hiu.

Ditambah menelusuri ‘aktivis lingkungan’ yang tidak bersuara dari pengangkapan besar-besaran, akan tetapi malah membicarakan tentang dampak plastik terhadap laut. Setelah ditelusuri lagi, ternyata pendonornya merupakan perusahaan penangkapan ikan. Dan menurut temuan, bahwa dampak plastik terhadap kotornya laut, tidak seberapa dibandingkan dengan dampak sampah pukat atau jaring dari pengambilan ikan secara besar-besaran.

Ditambah praktik ini, juga melibatkan perbudakan modern salah satunya terhadap pekerja Indonesia, dan beberapa dampak kemisikan di Afrika akibat ketiadaan ikan akibat pengangkapan besar-besaran.

Selain itu tercemarnya laut juga karena praktik medomestifikasi ikan di dalam jaring, mengakibatkan kotoran bercampur dengan kehidupan air di sekitar. Hal tersebut menyebabkan kualitas daging ikan yang tidak sehat.

Secara sinematografi, dengan pendekatan ‘jurnalisme investigatif’ yang sangat asik, dan penggambilan gambar dan latar tentang ikan dan lautan, menyajikan pemandangan biru yang apik. Disertai musik yang menegangkan untuk bagian tertentu dan nada alami khas lautan.

Secara karakter sang aktor utama jelas sangat kuat untuk mencari tahu di balik bisnis lautan ini, membuat film memiliki karakter yang kuat. Selain itu karakter juga memiliki keberanian untuk menyelundup hingga praktik-praktik yang dilakukan oleh aktor ekonomi lautan hingga sangat dekat. Tak jarang berusuan dengan pihak berwenang yang melindungi. Juga berkonfrontasi dengan aktor tertuduh di balik ekonomi lautan ini.

The Game Changers (2018) karya Louie Psihoyos

Dari beberapa film yang ada, inilah yang saya sukai. Menceritakan bagaimana kebangkitan seorang atlet MMA dan pelatih tentara USA yang cedera. Dari cedera tersebut, dia menyelidiki bagaimana agar cedera bisa cepat pulih, belajar bagaimana fisiologis tulang dan tubuh manusia.

The Game Changers

Dari situ dia menjelajah hingga belajar tentang Gladiator yang merupakan petarung pada abad pertengahan awal yang diketauhi merupakan memakan makanan berbasis sayuran dan kacang-kacangan (tumbuhan). Dari situ dia mempelajari atlet yang menggunakan metode makanan sejenis, mulai dari pelari, petarung, football, sepakbola, perenang, pesepeda, hingga pengangkat berat.

Selain itu juga menyelediki dampak kesehatan terhadap pemakan daging, terhadap darah tinggi dan lainnya. Hingga penyebab-penyebab dari industri daging yang merusak lingkungan, seperti pembukaan lahan.

Dari sisi sinematografi menghubungan antara bercerita secara personal, wawancara yang khas, disertai dengan sinematografi ala olahraga di setiap cabangnya. Ditambah gambaran tentang sains dan animasi yang berhubungan dengan kesehatan dan fisiologis tubuh.

Dalam penggambaran karakter, aktor utama begitu kuat untuk mencari tahu mempercepat kesembuhannya dari cedera, hingga merubah gaya hidup untuk kembali pulih. Menekankan bahwa dirinya serius terhadap gaya hidup pola makan berbasis tumbuhan. Ditambah ayahnya mengedap penyakit jantung akibat pola makan daging sedari kecil.

Stranger at The Gate (2022) karya Joshua Seftel

Film yang menceritakan tentang seorang veterang perang tentara marinir Amerika yang berperang di Afganistan melawan pemberontak muslim bersama Uni Soviet di tahun 1990. Setelah beberapa kasus, khususnya peristiwa 2001 di WTC memicu trauma atas muslim, hal ini disebabkan oleh pengalamannya berperang di Afganistan yang bisa disebut PTSD (gangguan pasca trauma).

Stranger at The Gate Film Poster

Hal ini menyebabkan dia merencanakan untuk mengebom muslim center di kotanya, akan tetapi setelah masuk dan melihat, tentara ini merasakan damainya muslim menyambut mereka. Akhirnya luluh untuk melakukan pemboman.

Secara sinematografi, mayoritas penggambaran wawancara tatap muka yang begitu orisinil dan menawan. Selain itu latar pengambilan yang begitu eksestik menggambarkan kondisi kota yang sepi. Dan beberapa gambaran masa lalu sang tentara yang begitu bahagia dengan anak dan istrinya, sebelum menderita PTSD. Betul-betul menggambarkan sebuah cerita yang utuh, dengan jatuh bangunnya sebuah manusia dengan PTSD-nya.

Sang tentara dan beberapa orang disekitarnya (utamanya anak) karakter yang sangat kuat. Sang keluarga yakin ayahnya adalah orang baik, dan mereka bersama menghadapi penyakit PTSD tersebut. Selain penggambaran komunitas muslim yang damai dengan kegiatan-kegiatannya dan sejarahnya yang juga menjadi korban akibat perang.

Sexy Killers (2019) karya Dandhy Laksono

Film dokumenter yang meliput penjuru daerah di Indonesia, khususnya yang terdampak PLTU, mulai dari kesehatan, ekonomi, masyarakat, politik, dan tentunya lingkungan.

Selain itu juga meliput proses dari hulu hingga hilir juga tak luput diliput, mulai dari penambangan batubara, distribusi batubara, hingga proses pembangkitan listriknya, menjadikan film ini komprehensif pembahasannya. Dua orang jurnalis memang sengaja berkeleling Indonesia untuk melihat langsung daerah-daerah yang terdampak PLTU. Mulai dari Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sulawesi.

Sexy Killer Film Poster

Secara sinematografi film ini begitu menawan, menggunakan alat rekam yang terbaru pada masanya, seperti Go Pro, Drone, dan Kamera dengan resolusi tinggi menghasilkan gambar dan latar gambar yang menawan.

Belum lagi soal suara atau lagu yang memang khusus diproduksi untuk film dokumenter ini, yang sangat tepat menggambarkan kondisi yang terjadi di lapangan. Dengan bantuan animasi dan grafis yang menunjang memberikan informasi tambahan yang penting. Dengan alur cerita yang naik-turun agar tidak membosankan, membuat dokumenter ini begitu sempurna.

Secara karakter dua jurnalis ini cukup kuat dalam hal ekonomi-politik (yang memang sebagai tugas jurnalis mengawasi kekuasaan), dengan bingkai ekonomi-politik inilah yang menjadikan film dokumenter ini berbeda dengan film dokumenter lingkungan lainnya — yang umumnya hanya menyatakan dampak. Tentu ini membutuhkan skill khusus seperti jurnalisme investigasi, yang juga 2 jurnalis ini ahli dalam hal tersebut.

Fire of Love (2022) karya Sara Dosa

Film dokumenter yang terakhir, ialah film yang menceritakan kisah perjalanan dua orang peneliti vulkanologi yang menjelajah dari gunung berapi ke gunung berapi. Meneliti dari batuan hingga seluk-beluk gunung berapi. Film dokumenter diambil dari berkas-berkas yang disimpan, keduanya meninggal dalam letusan gunung berapi di Jepang.

Tidak hanya soal gunung berapi, kisah ini juga perjalanan kisah seorang yang saling mecintai hingga akhir hayat yang berdedikasi untuk ilmu pengetahuan.

Fire of Love Poster Film

Indahnya pemandangan gunung tidak perlu dihiraukan lagi dalam kualitas sinematografi walaupun dokumen-dokumen dari tahun di bawah 2000-an. Dengan narator yang ulung dengan suara yang indah menjelaskan begitu detail perjalanan dua sejoli yang jatuh cinta akan api. Benar-benar menghipnotis semua penonton akan kegigihan, jatuh cinta, dan cerita-cerita di baliknya.

Karakter dua sejoli ini benar-benar menunjunkan keteguhan akan hal yang diminatinya, meneliti hingga harus ‘mengorbankan nyawa’. Dua sejoli ini benar-benar menginspirasi apa yang harusnya dilakukan oleh seorang ilmuwan.

***

Dari beberapa film yang Kebijakan.co.id tuliskan di atas, bisa disimpulkan bahwa benang merah, film tersebut dikatakan bagus ialah pertama dari kualitas penceritaan, kualitas penggambaran sinematografinya, hingga karakter yang kuat. Mereka harus disamakan, dalam arti tidak boleh timpang antara satu dengan lainnya.


Kebenaran membutuhkan wadah. Kejujuran membutuhkan suara. Kenyataan membutuhkan kamera. Film Dokumenter hadir untuk ketiganya.

Redaksi Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Mendalam "Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona" Lainnya:
•Film Dokumenter: Sejarah, Kegunaan, Jenis, dan Tahap PembuatanFilm Dokumenter: Publikasi, Promosi, dan PendanaanRekomendasi Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona

Serial Liputan Mendalam ini dikerjakan independen oleh Kebijakan.co.id, untuk mendukung Liputan Mendalam ini tetap terus dikerjakan oleh Kebijakan.co.id, ayo dukung Kebijakan.co.id di sini.
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 25 April 2023
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
Liputan Mendalam

KTH ALAS Trawas: Ide Besar Mengelola Perhutanan Sosial dengan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-14 Mar 2023 (16.00 WIB)-#36 Paragraf

Melihat rekam jejak konflik antara Perhutani (Badan Usaha Milik Negara) dan masyarakat di Penanggungan, akhirnya berkesudahan setelah Forum Rakyat Trawas (Foras) mengajukan Perhutanan Sosial (PS) yang nantinya dikelola oleh Foras dengan nama KTH (Kelompok Tani Hutan) ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) Trawas.

Dalam rencana dan pengembangannya, KTH ALAS Trawas akan dibangun dengan menyatukan antara Komunitas Pertanian Organik Brenjonk dan Kelompok Wanita Tani Desa Penanggungan, selain itu juga menyatukan ide antara wisata edukasi ekologi dan agroforestri yang berkelanjutan.

Ide besar tersebut tidak bisa terwujud, jika inisiatif gerakan masyarakat dan program perhutanan sosial tidak dijalankan.

Tim Kolaborasi —Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com— turun mengobservasi langsung di Desa Penanggungan, Mojokerto. Mengamati KTH ALAS Trawas dan Kampung Organik Brenjonk. Bertemu dengan Inisiator Kampung Brenjonk, Inisiator KTH ALAS Trawas, Anggota Kelompok Wanita Tani, dan Masyarakat Desa Penanggungan.

***

Mojokerto, Kebijakan.co.id – Setelah mendapatkan legalitas akan pengelolaan hutan secara agroforestri. Tantangannya untuk KTH ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) ialah, bagaimana mengelolanya agar bisa bermanfaat untuk masyarakat desa.

Seperti yang diungkapkan Ani Adiwinata, Peneliti CIFOR (Center for International Forestry Research), tantangan utama dari Perhutanan Sosial ialah pada tingkat lapangan, yang pada paradigma (cara berpikir) dan kerja konkret yang ada.

Senada dengan itu, Presiden Republik Indonesia dalam pidatonya di Blora, “Tolong betul-betul tanahnya dibuat produktif, jangan diterlantarkan, nanti bisa dicabut,” ucap Joko Widodo (10/03/2023).

Akan tetapi, kembali lagi kepada inisiatif masyarakat seperti yang dilakukan KTH ALAS yang sudah ada jauh sebelum Program Perhutanan Sosial hadir, berbentuk Foras (Forum Rakyat Trawas).

Jokowi sedang membagikan sertifikat Perhutanan Sosial (Dokumen KLHK)

Dua Pondasi Utama: Ide Agroforestri dan Brenjonk

Karena memang KTH ALAS memiliki embrio Foras yang sudah memiliki gerakan awal, akan dibawa kemana hutan yang nantinya akan dikelola oleh masyarakat –walaupun waktu itu secara diam-diam. Arahnya yaitu akan dibawa untuk menanam pohon-pohon agroforestri.

Selain karena melindungi ekologi lingkungan hutan tersebut, juga bermanfaat untuk ekonomi masyarakat. “Salah satu kegiatan di ALAS itu, kan ijinnya kayu, tapi bukan kayu (untuk ditebang) tapi agroforesti buah-buahan,” ucap Slamet –tokoh yang menginisiasi Foras dan KTH ALAS— kepada Tim Kolaborasi (10/03/2023) –jurnalis Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com.

Dalam hal peningkatan ekonomi, penelitian di salah satu kecataman Kab. Kulon Progo, Yogyakarta yang dilakukan Suroso (Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta) berjudul Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry memberikan kesimpulan bahwa dampak ekonomi terhadap adanya Agroforestri:

Pertama, adanya diversifikasi hasil yaitu hasil non kayu memberi keuntungan berupa pendapatan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek (mingguan, bulanan, tahunan);

Kedua, peningkatan nilai per satuan luas; Ketiga, memberi kontribusi dalam penyediaan tenaga kerja bagi masyarakat.

Agroforestri sendiri secara kata dalam bahasa inggris berarti agroforestry, yang terdiri dari agro berarti pertanian dan forestry yang berarti kehutanan.

Sedangkan menurut ICRAF (International Centre for Research in Agroforestry) dalam Buku Pengantar Agroforestri (2003) mengartikan agroforestri sebagai sistem pengelolaan sumber daya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi semua pengguna lahan.

***

Selain gambaran awal akan dibawa kemana hutan tersebut. Masyarakat Desa Penanggungan, khususnya Dusun Penanggungan, juga suduh cukup berpengalaman bagaimana mengelola organisasi masyarakat dengan adanya Komunitas Petani Organik Brenjonk, yang memang, dikelola dengan baik oleh masyarakat itu sendiri.

Komunitas Petani Organik Brenjonk berdiri ini tidak lama setelah hadirnya Foras pada tahun 2000. Menurut Yuli Astuti, salah satu masyarakat sekitar yang tinggal di dekat Kantor Komunitas Petani Brenjonk, sekitar tahun 2004, embrio pertanian ini muncul, yaitu mulai dibagikannya Mini Greenhouse beserta bibitnya kepada warga.

Sedangkan menurut Rini Sudarti, salah satu pengurus Komunitas Pertanian Brenjok dan KWT (Kelompok Wanita Tani), mulai dirintis tahun 2007 dan efektif bisnisnya di tahun 2008. Sampai saat ini anggota Komunitas Petani Organik Brenjonk berjumlah 104 KK (Kartu Keluarga).

Menurut Slamet, dia menghitung produk pertanian organik, “Tak hitung produk organik Brenjonk, totalnya 140 ton sing metu (yang keluar), padahal hanya diproduksi kecil-kecil skala rumah selama 14 tahun (tahun 2008).”

Selain menjual produk pertanian, Komunitas Petani Organik Brenjok juga menyiapkan jasa lingkungan, seperti pelatihan atau penelitian terkait pertanian organik untuk peneliti (dosen), petani, dan universitas (mahasiswa), “Ada juga KKN (Kuliah Kerja Nyata),” ucap Slamet, selain itu disewakan juga penginapan di rumah-rumah warga.

Dengan adanya Komunitas Petani Organik Brenjonk, yang juga anggota merupakan anggota KTH ALAS, “Pengurusnya Brenjonk ya pengurusnya KTH, karena gabisa dipisahkan, karena satu area,” ucap Slamet yang juga inisiator Komunitas Pertanian Organik Brenjonk, merupakan sumber daya yang tidak terbentuk dalam satu dua hari ataupun dengan modal uang sekalipun.

Perlu bertahun-tahun membangun dan menjalankan Komunitas Pertanian Brenjonk. Menurut Winda Nurul dalam penelitiannya yang melihat peran Komunitas Petani Organik Brenjonk, bermanfaat dalam:

Pertama, promosi mengenai Pertanian Organik; Kedua, menjalin kemitraan dengan petani dengan mengatur struktur organisasi dengan petani;

Ketiga, melakukan penggerakan budidaya tanaman organik; Keempat, melakukan pembinaan dan pelatihan pada teknik budidaya tanaman organik;

Kelima, melakukan monitoring dan pendampingan lanjutan untuk mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat dengan budidaya tanaman organik.

Dua hal tersebutlah yang menjadi pondasi utama, yaitu Foras dengan Agroforestrinya dan Komunitas Petani Brenjonk mengapa KTH ALAS memiliki persiapan yang matang dan organisasi masyarakat yang kuat.

Kampung Organik Brenjonk
Gapura Kampung Brenjonk (Adi/Kebijakan.co.id)

Pengembangan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri

Dalam rencananya, KTH ALAS akan menyiapkan dua sektor utama, yaitu wisata edukasi ekologi dan agroforestri. Nantinya keduanya akan menciptakan satu kesatuan yang saling menghubungkan satu dengan lainnya.

Hal itu digambarkan oleh Slamet, “wedusnya makan rumput daun-daunan pohon, nele’, lalu disimpan, dikasih untuk mupuk jeruk, duren. Kambingnya beranak-pinak, anaknya dijual, ekonomi petani terangkat. Hutan tetap subur dan utuh, daunnya tumbuh terus, lahan tetap subur.”

Seluruhnya, sudah disiapkan dalam Rencana Kerja Usaha (RKU) untuk periode 10 tahun yang dikirim kepada KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).

Rencana Pengembangan KTH ALAS Trawas (Dokumen KTH ALAS)

Pertama, penanaman agroforestri. Rencananya KTH ALAS menyiapkan 30.000 bibit kopi siap tanam, selain itu menyiapkan lahan seluas 45 hektare untuk merica. 10 hektare untuk tanaman pohon. Pohon-pohon tersebut di antaranya, pohon petai, pohon kluwek, pohon alpukat, pohon kemiri, pohon durian, pohon nangka, pohon matoa, dan pohon buah-buahan lainnya.

Bukan tanpa dampak, agroforestri memberikan beberapa catatan yang perlu dicegah dampaknya. Penelitian Konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai) UGM, menyimpulkan agroforestri yang kurang optimal menyebabkan pendangkalan sungai akibat erosi, penurunan kualitas air, serta yang paling besar adalah terjadinya longsor. Diperlukan pemahaman mengenai faktor-faktor terjadinya sedimen untuk keberlanjutan fungsi dari lahan untuk kehidupan sehari-hari.

Selain itu tantangannya, menurut CIFOR (Center for International Forestry Research) dalam penelitiannya, menekankan agar agroforestri berhasil, petani perlu belajar pohon mana yang cocok untuk jenis lahan mereka dan bagaimana mengelola pohon-pohon itu, selain itu bagaimana memasarkan produk-produk agroforestri.

Kedua, wisata edukasi ekologi. KTH ALAS menyiapkan 7,7 Hektare untuk wisata edukasi ekologi ini. Menurut Slamet, nantinya dalam KTH ALAS terdapat beberapa kegiatan, “Itu kegiatannya kita ada workshop, ada pelatihan, misalnya analisa vegetasi, analisa pengamatan burung, biotilik pengamatan sungai, itu akan kita lakukan.” Selain itu ada ternak kambing, yang dapat dipelajari.

Kegiatan edukasinya nanti untuk semua level untuk belajar tentang hutan, mulai dari, “Kampus, kelompok tani, instansi, pemerintah.” Selain itu, dipersiapkan juga di tengah hutan nanti akan terdapat tempat camping dan makanan organik.

Konsep desa wisata juga bukan tanpa dampak. Beberapa hal yang perlu dimitigasi ialah terkait keselarasan lingkungan dengan konsep wisata yang nantinya dibangun, agar tidak terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Selain itu, dampak sosial-budaya yang dapat terjadi, karena perbedaan antara wisatawan nantinya dengan penduduk sekitar.

Jika ditarik lagi, kegiatan multiusaha kehutanan, menurut Hermudananto (Dosen Kehutanan UGM) dalam kolomnya di The Conversation (07/10/2022) menekankan, “kunci keberhasilan implementasi Multiusaha Kehutanan harus memperhatikan beberapa hal, antara lain, kesesuaian tipologi hutan dan karakteristik dari biografis, biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya dari suatu kawasan hutan.”

Selain itu, “Penyusunan rencana pengelolaan hutan juga harus tepat dalam menentukan jenis komoditas unggul untuk kebutuhan produksi.”

KTH ALAS Trawas
Pembangunan tempat pendaftaran KTH ALAS Trawas (Adi/Kebijakan.co.id)

4 Langkah Kunci: Penguatan Organisasi, Kelestariaan Lingkungan, Pencarian Dana, dan Kampanye

Untuk mewujudkan wisata edukasi ekologi dan agroforestri tadi. Diperlukan usaha agar KTH tetap beroperasi baik dari sisi organisasi, pemasukannya, dan utamanya lingkungan. Menurut Slamet, “Kita kan udah (membuat) rencana strategis itu, ada 4 output. Pertama itu, penguatan kapasitas organisasi. Kedua, kelestarian lingkungan. Ketiga, kegiatan fundraising (mencari dana). Keempat itu, kampanye.”

Pertama, penguatan kapasitas organisasi dan sumber daya manusianya. “Bagaimana temen-temen paham berorganisasi, paham soal buat perencanaan, implementasi dan monitoring,” buka Slamet menjelaskan manajerial organisasi yang terlihat sudah berpengalaman.

“Termasuk latihan bikin proposal, latihan (teknik) lobby, latihan buat laporan keuangan. (Memang) ribet dan besar, tapi nggak ada gajinya, tapi ya resiko kerja-kerja sosial,” tutup Slamet sambil tertawa.

Selain itu penguatan terhadap manusianya, juga diadakan pelatihan edukasi. “Ya itu edukasi, eduakasi ini yang kita pelajari, karena itu tidak gampang,” menurut Slamet yang berbicara terkait edukasi wisata memerlukan pemahaman terkait objek wisatanya.

Kampung Organik Brenjonk
Rini sedang memegang hasil pertanian organik Brenjonk (Adi/Kebijakan.co.id)

Menurut Rini, pengurus Komunitas Petani Organik Brenjonk yang juga KTH ALAS, mengatakan bahwa KWT nantinya juga dilibatkan, “Jadi Kelompok Wanita Tani ini, sebagian ada yang masih muda nah itu sebagian ada yang ikut KTH ALAS,” jelas Rini kepada Tim Kolaborasi (11/03/2023).

Tambahnya, pelatihan edukasi untuk wisata tidak mudah, karena harus mengetahui apa yang harus dijelaskan, “Kemarin kan ada pelatihan itu edukasi, (seperti) pengamatan sungai, (observasi) burung. Jadi kita diajarin gak cuma pengamatan sungai aja, yang ada di sungai itu apa aja, itu termasuk sungai tercemar atau setengah tercemar. Jadi kita bisa tau. Nah nantinya sebagai tour guidenya.”

Kedua, menjaga dan merawat kelestarian lingkungan. “Kita aksi terus, setiap musim hujan turun, itu kita (sudah bersiap) bikin gerakan untuk menanam, alhamdullilah sudah tertanam semua,” ucap Slamet sambil menunjuk salah satu bibit yang ditanam, “tahun 2020 kita dipercaya buat KBR (Kebun Bibit Rakyat) targetnya 35.000 pohon, terealisasi 46.000 bibit, itu contohnya (pohon) matoa.”

Ketiga, pencarian dana. Menurut Slamet, dirinya tidak mengandalkan funding (donor pendanaan) sepenuhnya, akan tetapi mengintegrasikan antara jasa lingkungan wisata dan hasil agroforestri, “itu sudah kita praktikan di Brenjonk itu,” tutup Slamet.

Akan tetapi, “funding tetep kita ambil kalo ada, funding kan gak selalu ada ya.” Salah satunya Dana Nusantara yang diinisiasi oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), dan KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), “kita minta dana dari Dana Nusantara itu dalam rangka supaya kita menjaga ALAS ini semakin bagus,” tutup Slamet.

Sejauh ini, sudah terdapat bantuan dari program KLHK yaitu Bantuan Pengembangan Perhutanan Sosial Nusantara (BangPeSoNa) itu untuk tanaman 50 persen dan ternak kambing 50 persen, selain itu program bantuan KBR (Kebun Bibit Rakyat).

Selain bantuan Slamet juga menyiapkan beberapa pendanaan yang berasal dari, “workshop, ada pelatihan, misalnya analisa vegetasi, analisa pengamatan burung, biotilik, itu sudah kita lakukan, dalam rangka supaya kita paham soal ekologi.” Selain itu di dalamnya terdapat, “Di dalamnya kita membuat kuliner organik dalam rumah edukasi.”

Salah satu targetnya ialah universitas, “Besok rencananya kita mau ketemu dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, dari yang kehutanan (agroforestri), kita ajak untuk Program Merdeka Belajar di sini” ucap Slamet.

Keempat, terakhir ialah kampanye. “Kita baru sedikit diliput media,” ucap Slamet, “kemarin ada Thoriq, dari Times Indonesia.” Akan tetapi ke depannya KTH ALAS akan memanfaatkan sosial media untuk memberitahu kepada masyarakat luas.

Selain kampanye program, KTH ALAS juga melakukan kampanye advokasi, “kemarin (09/03/23) kita baru audiensi dengan bupati (Mojokerto).” Audiensi tersebut berkaitan dengan percepatan Izin Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang dikeluarkan oleh KLHK, termasuk KTH ALAS Trawas yang mengajukan izin tersebut.

Izin Hutan Kemasyarakatan tersebut, ditunjukan untuk pengelolaan hutan secara mandiri atau sepenuhnya oleh masyarakat, bukan bentuk kemitraan dengan Perhutani (Perusahaan Umum Perhutanan Negara) –seperti yang terjadi saat ini.

KTH ALAS Trawas
Slamet sedang menunjukan bibit yang baru saja ditanam (Adi/Kebijakan.co.id)
Baca Serial Liputan Konstruktif "KTH ALAS Trawas: Menggagas dan Mengemas Perhutanan Sosial untuk Lingkungan Berkelanjutan" Lainnya:
•	KTH ALAS Trawas: Dari Forum Rakyat Trawas hingga Was-Was dengan PerhutaniKTH ALAS Trawas: Ide Besar Mengelola Perhutanan Sosial dengan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Liputan Kolaborasi antara Idenera.com dan KabarTrenggalek.com dalam Program Wilayah Kelola Rakyat (WKR) didukung Dana Nusantara yang diinisasi oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 14 Maret 2023
Pukul: 16.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Editor: Fayza Rasya
Daftar Bacaan:
• Kurniatun Hairiah. 2003. Pengantar Agroforestri. Penerbit ICRAFWALHI Jatim dan AP2SI. 2021. Wilayah Kelola Rakyat: Suara Petani Hutan dan Masa Depan Perhutanan Sosial yang Berkeadilan. Buletin, 30 JuniSuroso. Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry. Dinas Kehutanan Provinsi YogyakartaNabhan Aiqani. 2020. Menilik Arah Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia. Opini Mongabay, 24 AgustusPers Rilis KLHK. 2023. Presiden Joko Widodo Serahkan SK Perhutanan Sosial Di Blora. 13 MaretWinda Nurul Khasanah. 2019. Peran komunitas organik Brenjonk dalam memberdayakan masyarakat Desa Penanggungan Trawas Mojokerto. Skripsi UMKonservasi DAS UGM. Agroforestri, Alternatif Solusi Pertanian BerkelanjutanRahman (dkk.) 2017. Facilitating smallholder tree farming in fragmented tropical landscapes: Challenges and potentials for sustainable land management. Journal of Environmental Management Vol. 198 No. 1, CIFOR
Liputan Mendalam

KTH Alas Trawas: Dari Forum Rakyat Trawas hingga Was-Was dengan Perhutani


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-13 Mar 2023 (15.00 WIB)-#16 Menit
KTH ALAS Trawas

Melihat rekam jejak konflik antara Perhutani (Badan Usaha Milik Negara) dan masyarakat di Penanggungan, akhirnya berkesudahan setelah Forum Rakyat Trawas (Foras) mengajukan Perhutanan Sosial (PS) yang nantinya dikelola oleh Foras dengan nama KTH (Kelompok Tani Hutan) ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) Trawas.

Dalam rencana dan pengembangannya, KTH ALAS Trawas akan dibangun dengan menyatukan antara Komunitas Pertanian Organik Brenjonk dan Kelompok Wanita Tani Desa Penanggungan, selain itu juga menyatukan ide antara wisata edukasi ekologi dan agroforestri yang berkelanjutan.

Ide besar tersebut tidak bisa terwujud, jika inisiatif gerakan masyarakat dan program perhutanan sosial tidak dijalankan.

Tim Kolaborasi —Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com— turun mengobservasi langsung di Desa Penanggungan, Mojokerto. Mengamati KTH ALAS Trawas dan Kampung Organik Brenjonk. Bertemu dengan Inisiator Kampung Brenjonk, Inisiator KTH ALAS Trawas, Anggota Kelompok Wanita Tani, dan Masyarakat Desa Penanggungan.

***

Mojokerto, Kebijakan.co.id – Siang itu (10/3/2022), suara dan ekspresi keceriaan masyarakat terdengar jelas di jalan-jalan Dusun Ngembes, Desa Penanggungan, Mojokerto. Kebahagiaan tersebut terpancar karena sedekah bumi. Perayaan yang diadakan setahun sekali sebelum bulan Ramadahan, atau bulan syakban, spesialnya pada tahun ini merupakan yang pertama dalam 3 tahun terakhir, karena ditidiakan oleh pandemi.

Sedekah bumi di kaki Gunung Penanggungan itu merupakan sebuah bentuk rasa syukur dan bentuk penghormatan terhadap leluhur. Walaupun hasil buminya yang terlihat sudah berganti, bukan lagi hasil pertanian atau perkebunan akan tetapi produk-produk olahan dibungkus plastik. Akan tetapi, guyub warga desa tidak bisa disangkal lagi, antara satu dusun dengan dusun lain saling berinteraksi.

Dalam kegiatan sedekah bumi itu, Tim Kolaborasi –Jurnalis Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com— diajak oleh Cak Met –sebutan akrab dari Slamet— yang merupakan inisiator Komunitas Petani Organik dan Kampung Organik Brenjonk.

Sebab Tim Kolaborasi diperkenalkan dan diajak ke Dusun Ngembes, karena merupakan salah satu dusun di Desa Penanggungan –lainnya di Dusun Penanggungan, Dusun Sendang, Dusun Kemendung. Keempat dusun tersebut, nantinya terlibat dalam pengembangan KTH (Kelompok Tani Hutan) ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) Trawas.

Desa Penanggungan
Sedekah Bumi di Dusun Ngembes Desa Penanggungan (Adi/Kebijakan.co.id)

Sejarah Foras dan Selisih dengan Perhutani

KTH ALAS, ada cerita di balik nama dan mula-mula tidak seperti ini, butuh usaha panjang dari masyarakat untuk mengelolanya. Tahun 1999 menjadi bukti, bahwa terdapat penebangan besar-besaran terhadap hutan yang dikelola Perhutani (Perusahaan Umum Perhutanan Negara) kala itu.

“Penebangan secara sistematis ya, dan terorganisir. Ya waktu itu, masyarakat petani yang disalahkan, kalau riil (secara kenyataan itu) mereka buruh tebang. Di belakangnya tuh (ternyata) ada pihak-pihak besar yang ingin kayu itu,” buka Slamet yang pernah menempuh pendidikan di PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup) selama 4 tahun itu menceritakan kondisi kala itu.

Dia menduga, ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari pembalakan tersebut. “Awalnya itu ambil (pohon) jati kan paling mahal, yang kedua, setelah tadi habis, (pohon) mahoni. (pohon) Mahoni abis, (pohon) pinus. Terakhir akarnya,” lanjut cerita Slamet kepada Tim Kolaborasi. Slamet menghitung pembalakan tersebut seluas 300 hektare atau sekitar 300 lapangan bola.

Untuk mencari luas keseluruhan luas Perhutani di Penanggungan. Kebijakan.co.id mencari data terbuka terkait Perhutani. Wilayah hutan yang sekarang dikelola KTH ALAS, masuk ke dalam wilayah Perum Perhutani Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Trawas, sedangkan RPH Trawas di bawah Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Pasuruan.

Dalam Data Perhutani KPH Pasuruan, Bagian Hutan (BH) Penangunggan masuk ke dalam perusahaan pinus yang memiliki luas Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) 3.513,50 Hektare atau sekitar 3500 lapangan bola.

Untuk melihat data pembalakan hutan secara nasional pada tahun itu (tahun 1999). Menurut buku Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003 yang dikeluarkan Center for International Forestry Research (CIFOR). Temuan berdasarkan kasus pembalakan dari tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 di sektor kehutanan di seluruh Indonesia cenderung meningkat cukup tajam.

Jumlah konflik meningkat hampir 4 kali lipat pada tahun 1999, dibandingkan dengan tahun 1997. Pada tahun 2000, jumlah konflik melonjak drastis sampai 153 kejadian. Angka ini mengalami penurunan kembali pada tahun 2001 dan 2002.

Atas keprihatinan tersebut, ditambah pada waktu itu Slamet merupakan anggota WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) sebuah organisasi non-pemerintah yang diinisiasi oleh beberapa organisasi yang fokus pada lingkungan hidup, “Saya waktu itu aktif di Walhi, sedikit prihatin karena, dampak dari itu debit air turun. Terus hama meledak, karena tikus yang biasa ke situ udah nggak kerasan (betah) lagi, akhirnya ke sawah. Pokoknya gak enak lah.”

Akhirnya Slamet dan masyarakat Desa Penanggunan, Kecamatan Trawas pada tahun 2000, membentuk Foras (Forum Rakyat Trawas), “Kita punya gerakan kita namakan Foras, Forum Rakyat Trawas.” Sederhana keinginan masyarakat Trawas, “yang dikerjakan (yaitu) tolak (pohon) mahoni, jati, sama pinus, (untuk) diganti tanaman (pohon) buah-buahan agroforestri.”

Pada awalnya, “Singkat cerita, terjadi ketidaksepemahan antara Foras dan Perhutani. Foras mengingingkan hutan yang digunduli sebelumnya (hutan produksi) itu ditanami bibit kayu dan sebagainya, akan tetapi tidak perlu ditebang,” cerita Slamet kepada Yasir (30/06/2021) salah anggota Walhi Jawa Timur.

 Alasannya sederhana agar tidak gundul hutannya. Akan tetapi Perhutani tetap ingin membibit kayu dan menebang di kemudian hari. “Kami jalan sendiri-sendiri aja. Itu lebih baik,” cerita Slamet kepada Yasir (30/06/2021).

Sedangkan, untuk membuktikan bahwa Perhutani benar menanam pohon yang disebutkan, dan sebaliknya tidak menanam pohon agroforestri. Kebijakan.co.id menelusuri data persemaian tahun 2012-2016 Perum Perhutani KPH Pasuruan, terbukti tidak ada tanaman agroforestri. Tercatat hanya pohon pinus (897.113 bibit), mahoni (471.972), kayu putih (4.354.265), sengon (91.902), dan damar (8796) yang disemai bibitnya.

Jika dilihat dari data tersebut, maka Perhutani mengarahkan kepada Hutan Tanam Industri (HTI). Hasil penelitian CIFOR terkait HTI memberikan analisis bahwa, kontribusi masyarakat seharusnya difasilitasi lebih dini dalam tahap perencanaan, yang diterapkan pada:

Pertama, terhadap klaim lahan; Kedua, pada organisasi buruh; Ketiga, pada distribusi spasial hutan tanaman dalam meninggalkan area yang bernilai lokal; Keempat, pada opsi berbagi lahan.

Cak Slamet dan Syukur sedang berdiri di depan pohon yang ditanamnya 20 tahun lalu (Adi/Kebijakan.co.id)

Bukti Nyata untuk Menjaga Hutan

“Dulu itu ya Bupati (Mojokerto) sampai datang, ya tapi hanya lip service (kata-kata manis), hanya setuju-setuju saja. Tapi ya akhirnya Perhutani tetap membuat bibit mahoni,” cerita Slamet menggambarkan kondisi kala itu. “Nah, saya membuat bibit agroforestri, jadi sama-sama bikinnya,” ceritanya dengan semangat kepada Tim Kolaborasi.

Dokumentasi
Bupati Restui Warga Selamatkan Hutan (Dokumentasi Slamet)

“Jadi kita nanem (pohon buah) petai, nanem (pohon) kluwek, nanem (pohon) alpukat. Nah, mereka (Perhutani) nanem (pohon) mahoni. Alhamdullilah sekarang (pohon) kluweknya sudah berbuah, (pohon) kemirinya berbuah, (pohon) duren-duren juga berbuah, (pohon) nangka udah berbuah,” lanjut Slamet.

Pohon yang ditanam Foras dan Perhutani tumbuh bersama, “(pohon) mahoninya juga tetep besar,” tutup Slamet (10/3/2022) hari itu menceritakan sejarah Foras dan Perhutani kepada Tim Kolaborasi.

Esok harinya (11/03/2022) Tim Kolaborasi diajak langsung menuju lokasi KTH ALAS Trawas, lokasi nya berselebahan dengan Desa Ngembes yang diadakan sedekah bumi hari sebelumnya. Jalannya tidak sulit, jalannya juga bagus, terdapat sungai, dan hutan yang tidak padat vegetasinya, namun masih tertutup.

Slamet bersama Syukur –yang juga salah satu anggota Foras kala itu– mengantarkan kami ke bagian yang nantinya akan dikelola untuk edukasi observasi atau pengamatan. Sambil menceritakan sejarahnya, “Ini (pohon) kemirinya kita tanam tahun 2002,” tepat 20 tahun sebelumnya ucap Slamet sambil menunjuk batang pohon yang mencapai 2 kali lipat tubuh orang dewasa.

Di lain pohon yang ukurannya 4x lebih besar tubuh manusia, “usianya 20 tahun,” cerita Slamet sambil menunjuk kondisi di sekitar, “dulu ini gundul semua 300 hektare. Ya kira-kira sepanjang (jalan hutan tersebut) 6 kilometer gundul total, se akar-akarnya itu nte’ (habis).”

“Faktanya di sini aman (hutannya setelah penggundulan),” tegas Slamet sambil menunjukan hutan sekitar yang tidak terjadi kegundulan setelah peristiwa 1999 itu. “Siapa yang merusak? bukan rakyat,” ucap Slamet sambil tertawa, justru menurutnya pihak-pihak tertentu yang merujuk Perhutani.

Dalam penelitian di salah satu kecataman Kab. Kulon Progo, Yogyakarta yang dilakukan Suroso (Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta) berjudul Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry. Memberikan kesimpulan bahwa dampak ekologi atau lingkungan terhadap adanya Agroforestri:

Pertama, penutupan lahan yang semakin luas yang efektif mencegah bencana alam; Kedua, siklus hara alami terjamin dengan tersedianya seresah yang cukup;

Ketiga, membantu sistem perakaran dalam menahan air sehingga proses hidrologi dapat berjalan normal;

Keempat, menghasilkan O2 dan mengikat CO2 sehingga pencemaran udara terkendali; Kelima, berkontribusi dalam pelestarian alam.

KTH ALAS
ALAS: Aman, Lestari, Adil, Sejahtera (Adi/Kebijakan.co.id)

Konflik dengan Perhutani

Pun, setelah diberikan Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial, Slamet menduga Perhutani tidak senang dengan hal tersebut, “Perhutani pasca ijin KULIN KK (Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan) ini dia itu memang, gak ikhlas gitu, akhirnya naro orang di situ untuk (menciptakan) buat konflik di situ, dan saya tau itu preman ditaro situ, bikin warung di ALAS itu, modalnya sampe ratusan juta.”

Bahkan, “Dia (pemilik warung) cerita sama saya, awalnya 30 juta itu setelah itu bangun terus di situ, di pasca ijin. Saya tau itu untuk buat konflik,” ucap Slamet kepada Tim Kolaborasi (11/03/2023).

Menurut Wahyu Eka Setyawan, Direktur WALHI Jawa Timur mengatakan dalam kolomnya (30/06/2021), “Di bawah kelola Perhutani selama berpuluh-puluh tahun, telah terjadi konflik beragam antara masyarakat sekitar hutan dengan Perhutani. Hal tersebut didasarkan pada ketimpangan pengelolaan, yang berimbas pada tidak sejahteranya masyarakat hutan.”

Wahyu mencontohkan terkait pembagian hasil panen pohon yang tidak adil berdasarkan pengakuan masyarakat, “sebesar 25% untuk warga dan 65% untuk perhutani,” tulis Wahyu meski menurut masyarakat bahwa Perhutani memberikan bibit akan tetapi yang menanam dan merawat hingga besar tetap masyarakat. Selain itu juga, masalah persoalan sewa lahan.  

Untuk mengkonfirmasi kebenaran tersebut kepada Perhutani KPH Pasuruan, Kebijakan.co.id telah berusaha mengirimkan surat permohonan wawancara beserta beberapa pertanyaan melalui email resmi KPH Pasuruan pada 13/03/2023. Namun hingga tulisan ini terbit, belum respons dari KPH Pasuruan.

Setelah adanya PS, skema pembagian tersebut menurut Slamet dilansir dalam Times Indonesia (14/01/2022), “secara eksplisit sudah diatur di SK KLHK. Untuk kayu kita KTH ALAS dapat 70, persen Perhutani 30 persen. Untuk non kayu KTH ALAS dapat 80 persen, Perhutani 20 persen. Untuk tanaman istilahnya buah-buahan dan seterusnya itu 90 persen. Untuk jasa lingkungan itu 90 persen.”

Ditilik secara teoritis, konflik tersebut termasuk dalam konflik vertikal, menurut Maftuh dalam bukunya Pendidikan Resolusi Konflik (2008) ialah pertentangan antara dua pihak yang memiliki kedudukan sosial yang berbeda. Jelas berbeda, yang satu Negara melalui BUMN-nya Perhutani dan satunya masyarakat desa.

Terkait dengan hal tersebut sudah seharusnya perhutanan dikembalikan kepada warga untuk dikelola baik secara ekologis maupun ekonomis yang berkelanjutan, “Masyarakat harus menjadi unsur utama dalam upaya mengembalikan fungsi hutan seperti semula, yaitu sebagai pelindung dari sisi ekologi maupun ekonomi,” kata Samedi, Direktur Program Tropical Forest Conservation Action-Sumatera pada Webinar Perbaiki dan Pulihkan Hutan: Jalan Menuju Masyarakat Desa Hutan Sejahtera (18/03/2021).

Di satu sisi, KPH Pasuruan dalam dokumennya mengklaim melakukan pengelolaan terhadap perekonomian desa dengan cara:

Pertama, membantu pembentukan dan melakukan kerja sama dengan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan); Kedua, pemberian dana sharing; Ketiga, pemberian akses pemanfaatan lahan;

Keempat, pemberian bantuan berupa pinjaman bunga lunak PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan); Kelima, peningkatan kapasitas MDH (Masyarakat Desa Hutan).

KTH ALAS
Cak Slamet dan Syukur berfoto di depan pohon yang ditanamnya 20 tahun lalu memegang plank legalitas pengelolaan KTH ALAS Trawas (Adi/Kebijakan.co.id)

Awal Mula KTH

Konflik dan sembunyi-bunyi untuk mengelola hutan oleh Foras di bawah Perhutani tersebut akhirnya secara sah resmi dikelola oleh Foras yang berganti nama menjadi KTH ALAS.

“Ini harus saya formalkan, karena memang harus formal, ngajukan ke KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) semua harus formal, sehingga teman-teman sudah punya akses legal kan. Jadi ada perlindungan, ada legalitas,” cerita Slamet kepada Tim Kolaborasi (10/03/2023).  

***

Program tersebut ialah Perhutanan Sosial (PS). Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 mengartikan:

“Perhutanan Sosial ialah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.”

Program PS ini menurut Nabhan Aiqani (Komunitas Konservasi Indonesia Warsi) dalam kolomnya di Mongabay (24/08/2020) mengatakan, “skema (perhutanan sosial) ini pun sekaligus menjadi upaya akhir untuk menutup peluang bagi pihak lain yang ingin menangguk untung dari ketidaktahuan masyarakat terkait pengelolaan kawasan.”

Hal tersebut disetujui juga oleh Usep Setiawan (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia) dalam kolomnya di Kompas (19/02/2023), “Terjaganya kualitas lingkungan dan terhindarnya hutan dari tindakan pembalakan liar yang merugikan ekonomi negara dan merusak kualitas lingkungan. Meningkatnya kesadaran warga penerima akses perhutanan sosial terhadap kewajiban melestarikan hutan dan mitigasi perubahan iklim.”

Catatan kritis terkait Perhutanan Sosial datang dari KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), dalam catatan tahun 2017 tersebut, “Bisa jadi salah satu model dari Reforma Agraria adalah Perhutanan Sosial.”

Akan tetapi, “penting menjadi peringatan bersama, bahwa ada banyak model dan implementasi perhutanan sosial sejak masa lalu hingga saat ini justru bertentangan dengan tujuan dan prisip dasar reforma agraria itu sendiri.” Contohnya, ialah mewajibkan tanaman komoditas tertentu, bagi hasil yang tidak adil, legitimasi monopoli atas hutan.

Selain itu, “PS tentu lah bukan reforma agraria jika diberikan kepada masyarakat karena pemerintah (melalui BUMN-nya) enggan mengakui kesalahan masa lalu bahwa penetapan kawasan hutan telah menjarah tanah-tanah masyarakat.”

***

Berkat PS ini, “Akhirnya ada PS (Perhutanan Sosial) itu kita mendaftar (tahun 2017), syaratnya harus KTH itu,” cerita Slamet. “Saya tampung Foras dengan LPMD (Lembaga Pembedayaan Masyarakat Desa), LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan), Kelompok Wanita Tani (KWT) yang ada. Jadilah KTH (Kelompok Tani Hutan).”   

Secara legal keluar di tahun 2018 oleh Menteri KLHK, Surat Keputusan (SK) Menteri keluar tahun 2018 dengan luasan lahan 114 Hektare. Termaktub dalam Surat Keputusan Perhutanan-Sosial/Sertifikat-TORA/SHM:SK.6973/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019. Awalnya dipetakan sebesar 222 Hektare, namun yang disahkan hanya 114 Hektare.

Menurut KPA dalam Catatan Akhir Tahunnya di 2017, permasalahan mendasar pada pengelolaan lahan (hutan) kepada masyarakat ialah kecilnya kepentingan masyarakat dalam keputusan terkait kehutanan, salah satunya penentuan dan penetapan tata batas seperti di atas.

Namun, Slamet tidak ambil pusing dengan penentuan batas tersebut. Selain status, nama perlu ditetapkan, “Kita namakan ALAS, (yang disingkat) Aman, Lestari, Adil, dan Sejahtera.” Menurutnya kepada Yasir, “Cita-cita kami, KTH ALAS ialah bagaimana menciptakan kesejahteraan di lingkungan masyarakat Desa Penanggungan, Trawas,” tujuan besarnya. Tujuan sederhananya, “Harapannya tidak muluk-muluk. Orang-orang yang terlibat dan mau bekerja mereboisasi hutan yang telah digunduli itu.”

“Hutan itu dapat menopang keberlangsungan hidup di lingkungan keluarganya sendiri,” ucap Slamet kepada Yasir. Sementara ini, anggotanya mencapai 313 Kartu Keluarga (KK). Nantinya 313 KK ini yang mengelola, merawat, dan merasakan hasil dari hutan yang dikelolanya sendiri. Baik itu hasil dari produk agroforestri, jasa, hingga manfaat ekologi, juga manfaat sosial masyarakat.

Sampai tahun 2020, “Kita dipercaya buat KBR (Kebun Bibit Rakyat) targetnya 35.000 pohon, terealisasi 46.000 bibit, itu contohnya (pohon) matoa,” cerita Slamet kepada Tim Kolaborasi. Dan target selanjutnya ialah tahun 2023, “kami mengajukan Hutan Kemasyarakatan (HKM) kepada KLHK.”

Sampai dengan di sahkannya KTH ALAS mendapatkan haknya atas pengelolaan hutan. Menurut Fanny Tri Jambore, WALHI Nasional dalam tulisannya mengatakan, “bahwa Perhutanan Sosial bukanlah tujuan utama dari perjuangan wilayah yang dikelola oleh masyarakat, tetapi hanya salah satu strategi untuk mendapatkan akses.”

Tambahnya, “Karena untuk menuju kelola hutan secara mandiri oleh masyarakat dibutuhkan perjuangan yang panjang, yakni dengan menyiapkan organisasi masyarakat yang kuat dengan kesadaran politik yang mumpuni.”

Foras ‘Duduki’ 500 Hektare Hutan (Dokumentasi Slamet)
Baca Serial Liputan Konstruktif "KTH ALAS Trawas: Menggagas dan Mengemas Perhutanan Sosial untuk Lingkungan Berkelanjutan" Lainnya:
•	KTH ALAS Trawas: Dari Forum Rakyat Trawas hingga Was-Was dengan PerhutaniKTH ALAS Trawas: Ide Besar Mengelola Perhutanan Sosial dengan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Liputan Kolaborasi antara Idenera.com dan KabarTrenggalek.com dalam Program Wilayah Kelola Rakyat (WKR) didukung Dana Nusantara yang diinisasi oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Senin, 13 Maret 2023
Pukul: 15.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Editor: Fayza Rasya
Daftar Bacaan:
• WALHI Jatim dan AP2SI. 2021. Wilayah Kelola Rakyat: Suara Petani Hutan dan Masa Depan Perhutanan Sosial yang Berkeadilan. Buletin, 30 JuniYahya Cahya Wulan (dkk.). 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. CIFORSuroso. Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry. Dinas Kehutanan Provinsi YogyakartaBunyamin Maftuh. 2008. Pendidikan Resolusi Konflik. UPI Press: BandungNopri Ismi. 2021. Potret Perhutanan Sosial Indonesia Hari Ini. Berita Mongabay, 22 MaretNabhan Aiqani. 2020. Menilik Arah Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia. Opini Mongabay, 24 AgustusUsep Setiawan. 2023. Perhutanan Sosial di Tahun Politik. Opini Kompas, 19 FebruariKPA. 2017. CATAHU 2017: Reforma Agraria di Bawah Bayangan Investasi (Gaung Besar Di Pinggiran Jalan).Thaoqid Nur Hidayat. 2022. KTH Alas Trawas Tanam 46 Ribu Pohon di Lokasi Hutan Produksi Penanggungan. Times Indonesia, 14 JanuariProfil KPH PasuruanRomain Pirard (dkk.). 2016. Dampak Hutan Tanaman Industri di Indonesia: Analisis Persepsi Masyarakat Desa di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. CIFOR 
Liputan Mendalam