Akal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota Depok


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-18 Nov 2022 (18.00 WIB)-#54 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

Perumahan Syariah dan Cara Bayar Syariah

Depok, Kebijakan.co.id — Berbeda antara perumahan syariah atau islami dengan cara pembayaran atau metode syariah, seperti murabahah atau pembayaran langsung. Menurut Ade Supriatna, DPRD Kota Depok Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) saat ditemui oleh Kebijakan.co.id (7/11/2022), perumahan ‘syariah’ dalam hal ini dibedakan menjadi 2.

“Pertama, terkait dengan proses jual belinya, ada yang mengklaim developer syariah, kemudian juga karena transaksinya menyesuaikan dengan hukum-hukum syariah.”

Lalu yang kedua, “Nah (jenis) developer yang ke dua memang dia bikin kawasan. Kawasan yang memang diperuntukan untuk muslim dengan nuansa-nuansa religi.”

Hal tersebut menurut Ade Supriatna, mengikut pasar permintaan yang mengingkan lingkungan islami, “Yang memang ternyata pasarnya ada gitu dan cukup banyak, makanya para pengusaha developer inikan ya namanya dagang gitukan, demand (permintaan)nya tinggi, makanya dia create gitu.”

Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS)
Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS) Sumber: RadarDepok.com

Memanfaatkan Ceruk Pasar Islami

Pasar atau ceruk islami dimanfaatkan oleh pengembang perumahan islami untuk meraih pembeli rumah dari ceruk pasar islami tadi. Walaupun secara ajaran Islam maupun etika kebangsaan, bertentangan. Selain itu, secara nilai-nilai Islam juga tidak memenuhi, di antaranya tidak ada masjid, hanya memperkaya simbol-simbol, dan cenderung sama dengan perumahan pada umumnya.

Menurut Abdul Rohim, Direktur Maarif Institute saat ditemui Kebijakan.co.id (31/10/2022), “Ya memang itu berlaku hukum pasar. Pasar itukan pragmatis ya, sesuai dengan demand kebutuhan masyarakat, ya.”

“Mereka (pengembang perumahan) melihat adanya demand (permintaan) pasar. Jadi kalau permintaan pasar itu tidak ada, pebisnis perumahan tidak mungkin kan membangun itu (perumahan syariah).”  

Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute)
Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute) Sumber: Media Indonesia

Abdul Rohim menyamakan dengan munculnya Bank-Bank Syariah –yang sebenarnya juga berasal dari Bank Konvensional yang merupakan Bank berdasarkan Riba—, “Sama dengan ketika muncul gerakan anti riba, maka Bank Syariah itu menjadi lahan bisnis dan bukan hanya mereka yang muslim, katakanlah semua Bank Konvesional karena ada tuntutan dari pasar maka membuka cabang syariahnya. Mungkin juga cluster-cluster (perumahan) syariah seperti itu.”

Abdul Rohim di akhir menekankan untuk mengedepankan etika, khususnya kepada pengusaha –yang utamanya muslim–, “Mestinya, bisnis itu kan tidak liberal dalam pengertian ‘bebas tanpa nilai’ hanya semata-mata berorientasi kepentingan keuntungan materil. Kalau mereka memegang etik, sebagai seorang muslim, maka etika yang dikembangkan etika yang diajarkan oleh Al-Quran dan Hadist, harus baik kepada tetangga.”

Ia menambahkan, “Dan jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.”

“Jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.”

Abdul Rohim Ghazali

Senada dengan Abdul Rohim, menurut Bro Icuk (35), Wakil Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (2/11/2022), menekankan, “Jadinya ya pasar (dan) pengusaha harusnya lebih aware.”

Yang dimaksud ialah, “Dalam artianih jadi pengusaha jangan terlalu pragmatis untuk mendapatkan keuntungan secepat-cepatnya dan sebesar-besarnya dari fenomena yang terjadi.”

Bro Icuk menyarankan pengusaha pengembang perumahan syariah, “Harusnya (pengusaha) juga lebih arif.”

Bro Icuk juga tidak menyalahkan para pengembang perumahan Islami yang pragmatis, “Kalau bilang disalahkan dari jalur hukum juga tidak salah, tetapi secara etika kita bernegara, etika bisnis, ini kayak menunggangi (dan) menggunakan kesempatan polarisasi yang dampaknya akan buruk kepada kehidupan berbangsa, tapi terus dijalankan oleh temen-temen pebisnis.”

Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok)
Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok) Sumber: JabarEkspres.com

Secara prinsip, etika bisnis dalam Islam menurut Sri Nawatmi dalam jurnalnya Etika Bisnis dalam Perspektif Islam terbagi menjadi 5: (1) Kesatuan, (2) Keseimbangan, (3) Kebebasan Berkehendak, (4) Tanggungjawab, (5) Kebenaran.

Dalam prinsip kesatuan misalnya. Menurut Sri, bisnis dalam Islam melihat keterpaduan atau kesatuan dalam hal ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Misalnya tidak diskriminatif kepada seluruh pihak, tidak melanggar hukum agama, dan meninggalkan perbuatan yang tidak beretika.

Menjual Merek Islam

Pragmatisme itu lahir salah satunya dengan menjual merek Islam sebagai cap bahwa perumahan mereka merupakan perumahan syariah. Menurut Loepieanto (82), FKUB Kota Depok, yang sudah tinggal di Depok dari tahun 1992 saat ditemui Kebijakan.co.id (3/11/2022), mengatakan,Kalau di Depok ini ya dibangun perumahan syariah hanya merek saja.”

Selain itu juga menurut Ade Supriatna, melihat, “Kalau saya lihat ini fenomena bisnis Mas, artinya begini (misalkan) saya punya kawasan privat (sendiri) kan swasta ini tanah dia, saya hanya akan menjual kepada yang muslim.”

Sederhana ketika melihat jual-beli barang atau jasa pada umumnya, “Saya belum melihat negara ini bisa intervensi, kalau jual-belikan sesuai yang diinginkan ke duabelah pihak, (prinsip) ridho atau keleraan, kalau yang satu tidak mau menjual nggak bisa maksa, saya lihat juga memang keterbatasan tangan dari pemerintah nih gimana ngaturnya, karena kalau dari perizinan kan gaada sekarang dalam arti dia sama semua, inikan bahasa di pasar.”

Mendukung ungkapan Ade Supriatna bahwasannya negara belum bisa intervensi, dari sisi perizinan, sebenarnya tidak dibedakan antara perumahan syariah ataupun perumahan pada umumnya.

Jadi benar-benar pengembang perumahan syariah memanfaatkan Islam sebagai bahan jualannya. Menurut Meti, Dinas Perumahan Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), “Kalau setahu saya, kayanya hanya label deh Mas. Kaya perumahan Mutiara Darrusalam, mungkin kalau secara nama, ‘oh perumahan Islami nih’ tetapi ngga tau islami atau ngganya ya.”

Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok)
Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok) Sumber: WartaAhmadiyah.org

Tidak ada Izin Khusus

Terkait izin tadi, Meti menjelaskan secara detail tahap-tahap perizinan pembangunan perumahan, lalu kebingungan ketika melihat munculnya perumahan syariah. Meti, “Sebenarnya yang saya mau tanyai malah gini, kriteria perumahan yang dianggap syariah itu apa? makanya saya baca ini kan. Kalau di kita setau saya di PTSP tidak ada pembedaan, perumahan umum (dan perumahan lainnya).”

Meti menekankan, “Ya tentunya kalau rumah tinggil izin, lebih dari 5 kapling itu udah dianggap perumahan, tanpa ada pembedaan syariah (dan) non syariah, begitu kalau di Depok ya.”

Lainnya Meti menduga bahwa perumahan syariah hanya berdasarkan nama saja, “Jadi kalau di sini itu, setau saya ya nggak ada (pembedaan). Mungkin dari nama doang kali ya. Untuk masuk ke dalamnya bukan ranahnya.”

Hal tersebut, didukung oleh pernyataan Supandi Syahrul (Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia Jawa Timur Komisariat Madura) dalam kolomnya Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah di Detik.com, “Hingga saat ini, belum ada satu pun perusahaan real estate yang dinyatakan terdaftar sebagai developer atau pengembang syariah oleh MUI. Jadi, mereka menyebut dirinya developer syariah hanya akal bulus saja untuk mengelabui konsumen.”

Menurut Supandi, karena memang tidak ada perusahaan berbentuk syariah. Kecuali perusahaan mereka menyatakan penuh dalam AD/ART menggunakan metode pembayaran syariah dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah layaknya Bank Syariah atau Asuransi Syariah.

Selain itu juga tidak adanya peraturan yang membatasi perumahan syariah ini, menurut Ade Supriatna, “Nah, kalau tempat tinggal memang belum –setau saya—belum ada peraturan perundangan yang mengatur, di mana harus tinggal, terus siapa saja yang tinggal di tempat itu, gitu, jadi masih diserahkan ke pasar intinya, gitukan.”

Karena tidak aturan yang mengaturnya, Ade Supriatna hanya memberikan saran kepada pengembang, “Karena belum ada juga cantolan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang bisa melarang ini kita hanya bisa (memberikan saran) kepada pengembang.”

Penyebabnya hanya memberikan saran, “Kita sih, kalau mendorong kebijakan publik yang dalam bentuk peraturan daerah tentu harus ada ‘tadi’ (merujuk pembahasan sebelumnya) cantolan peraturan perundang-undang di atasnya, yang mungkin itu baru bisa kita dorong ya.”

Gedung Pemerintah Kota Depok
Gedung Pemerintah Kota Depok

Kasus-Kasus Perumahan Syariah

Selain itu, urgensi perlunya ada intervensi negara terhadap perumahan syariah, adalah karena banyaknya korban yang sudah berjatuhan. Dari 5 kasus –yang kemungkinan jumlahnya melebihi ini— di antaranya PT Indo Tata Graha (2022); PT Wepro Citra Sentosa (2019); PT Fimadani Graha Mandiri (2021); PT ARM Cipta Mulia (2019); PT Cahaya Mentari Pratama (2020).

No.PengembangKorbanKerugianModus Utama
1.PT Indo Tata Graha805 MiliarMengatasnamakan Agama
2.PT Wepro Citra Sentosa  368040 MiliarHarga Murah dan Tanpa BI Checking
3.PT Fimadani Graha Mandiri155 MiliarTidak ada SOP dan perjanjian tidak di depan Notaris
4.PT ARM Cipta Mulia27023 MiliarTanpa BI Checking
5.PT Cahaya Mentari Pratama32 Orang3,4 MiliarTanah Fiktif
Sumber

Dari ke 5 kasus tersebut, total korban mencapai 4137 orang, dengan kerugian kurang lebih 76,4 Miliar Miliar. Kemungkinan besar masih ada banyak kasus yang belum dimasukan.

Dengan modus di antaranya: Pertama, Jelas mengatasnamakan Agama yaitu Islam; Kedua, Menggunakan simbol-simbol Agama yaitu Islam; Ketiga, Tanpa Riba (Tanpa Bunga Kredit); Keempat, Tanpa Bank Indonesia Checking; Kelima, Tanpa Sita; Keenam, Tanpa Denda; Ketujuh, Tanpa Uang Muka atau DP; Kedelapan, Perjanjian tidak di depan notaris; Kesembilan, Harganya murah atau tidak wajar; Kesepuluh, Kemudahan administrasi.

Dari kasus-kasus dan modus-modus tersebut, setidaknya calon konsumen –khususnya yang masih menginginkan cita-cita tinggal di lingkungan syariah— harus mempelajari modus tersebut.

Menurut Legowo Kusumonegoro (Presiden Direktur, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia)  dalam acara Standard Chartered Academy for Media dilansir dari Republika.co.id, mengatakan calon pembeli atau investor harus memiliki sikap, “Sikap 80 persen tidak percaya, 10 persen takut, dan 5 persen siap ditipu.”

“Sikap 80 persen tidak percaya, 10 persen takut, dan 5 persen siap ditipu.”

Legowo Kusumonegoro

***

Sikap ketidakpercayaan, takut, dan siap ditipu tersebut harus disertai dengan:

Pertama, memastikan izin dan legalitas berupa Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM (SK Kemenkumham) serta Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Nomor Induk Berusaha (NIB), lalu melakukan verifikasi dokumen-dokumen tersebut, atau memastikan nama perusahaan pengembang tidak pernah bermasalah atas penipuan atau tindak pidana lainnya.

Kedua, surat kepemilikan tanah dan bangunan fisiknya, berupa akta notaris dan akta jual-beli dengan pemilik tanah sebelumnya, lalu melakukan verifikasi atas akta notaris atau jual-beli tersebut, dengan mendatangi notaris atau melakukan verifikasi kepada pemilik tanah sebelumnya.

Ketiga, melihat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan instansi resmi pemerintah daerah, yang dilakukan dengan bertanya legalitas dokumen IMB tersebut kepada Dinas Perumahan terkait.

Keempat, mencatat detail proses pembangunan dan dokumen-dokumen pembangunannya, seperti siapa penyedia jasa dan alat konstruksinya. Hal tersebut agar dapat dipastikan kepada jasa kontraktor nantinya, baik orang-orangnya dan kantornya.   

Kelima, melakukan pengecekan terhadap bank yang bekerjasama dengan pengembang tersebut berupa Perjanjian Kerjasama dengan Perbankan (PKS), baik cara pembayaran konvesional dengan bank-bank konvensional atau cara pembayaran syariah dengan bank-bank syariah seperti murabahah.

Keenam, untuk yang tidak menggunakan lembaga ketiga –dalam hal ini percaya terhadap adanya Riba– pastikan dalam setiap pembayaran sepeserpun, harus disertai bukti dan diperjanjikan di depan Notaris atau diatas materai dengan identitas lengkap. Hal tersebut dimaksudkan untuk keamanan. Jika tidak berani, maka patut dicurigai. Hal tersebut memang bertujuan –untuk pengembang licik—untuk menghindari Perbankan Syariah, lalu pengawasnya yaitu Otoritas Jasa Keuangan, dan izin-izin terkait di Dinas, seperti IMB, dan sebagainya.

Calon-Calon Korban Penipuan Rumah Syariah

Menurut Supandi Syahrul (Ketua DPD REI Jawa Timur Komisariat Madura) mengatakan dalam kolomnya Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah di Detik.com, menurutnya korban penipuan tidak hanya calon pembeli (masyarakat umum) tetapi juga kepada:

Pertama, pemilik tanah. Pemilik tanah atau lahan biasanya petani atau pekebun yang biasanya tidak paham betul bisnis perumahan –apalagi bisnis perumahan syariah yang menabrak banyak aturan. Pemilik lahan tersebut diimingi-imingi lahan tersebut akan dibeli dan digunakan untuk perumahan. Hal tersebut ditunjukan untuk memastikan kepada calon pembeli kepastian lahan untuk dibangun perumahan. 

Kedua, pemilik modal. Umumnya pengembang perumahan syariah tidak memiliki modal awal yang cukup, untuk memenuhinya maka mereka mengajak kerjasama kepada pemilik modal. Dana tersebut tidaklah sedikit, biasanya digunakan untuk dana awal pembebasan lahan, pembangunan kantor, biaya karyawan, dan pemasaran.

Target pemilik modal tersebut –untuk pengembang yang nakal—mengincar para pemilik modal yang tidak mengerti betul bisnis perumahan syariah beserta hukum-hukum bisnis syariah. Tentu dengan iming-iming bagi hasil keuntungan yang besar dan janji surga.

***

Untuk mencegah terjadinya korban yang berjatuhan –terlebih segregasi–, baiknya semua pihak pengusaha, pembeli, pembuat aturan, dan masyarakat pada umumnya mempelajari dulu  konsep berusaha dan konsep hidup islami dengan seksama dan mendalam, agar kasus dan terlebih ‘ujung hidung’ perumahan khusus muslim tidak terlihat lagi.

*(26/11/2022): Ada perbaikan nama dari Meta menjadi Meti dari Dinas Perumahan Kota Depok dan tambahan keterangan waktu saat ditemui Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Jumat, 18 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Supandi Syahrul. 2020. Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah. Detik.com, 14 FebruariNashih. 2020. Masyarakat Diminta Tak Asal Tergiur Rumah Berkedok Syariah. Republika, 18 FebruariSri Nawatmi. 2010. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Jurnal Fokus Ekonomi, Vol. 9 No. 1
Liputan Mendalam
Berlangganan
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
Lihat Semua Komentar