Kebijakan.co.id – Wawancara Mendalam
Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#49 Paragraf

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.
Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.
Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.
Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas.
Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.
Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.
Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.
***
“Bagaimana Mas Abdul Rohim menanggapi riset Setara Institute yang menunjukan bahwa Kota Depok merupakan kota dengan toleransi yang terendah? Kebetulan Maarif Institute juga pernah melakukan Penelitian tentang Indek Kota Islami tahun 2016. Dan melihat munculnya fenomena perumahan syariah?”
Penelitian Indeks Kota Islami mungkin udah tidak relevan lagi, sekarang dinamis banget ya, akan tetapi secara garis besar mungkin belum banyak berubah. Saya lupa, Depok itu masuk termasuk kota yang toleran atau intoleran (merujuk kepada Penelitian Maarif Institute tentang Indeks Kota Islami tahun 2016).
Tetapi memang kota yang pada umumnya dipimpin oleh partai tertentu yang mempunyai aspirasi politik keagamaan, punya kecenduruang –bukan intoleran atau belum tentu intoleran— menerapkan kebijakan pada aspek di wilayah otonomi daerah, seperti pendidikan, tata kota, dll, karena itu kebijakan pemerintahan daerah, termasuk di dalam pengaturan tata ruang.
Berkaitan dengan cluster-cluster syariah itu, kaitannya dengan kebijakan tata ruang. Jika dikaitkan dengan Buya (Ahmad Syafii Maarif), pemikiran Buya tidak ada yang lepas dari Al-Quran, dan Buya selalu menekankan Al-Quran tidak pernah mengajarkan kebencian pada siapapun, bahkan Tuhan (melalui firmannya) tidak ada sedikitpun penegasan menciptakan segregasi muslim dan non-muslim, bahkan terhadap pada mereka yang tidak mempercayai Tuhan tidak boleh mengajarkan (melakukan) pembecian, kecuali mereka yang memerangi kita (Islam).
Dan jika memerangi kita, tidak berkaitan dengan agama, karena kebencian tidak pandang agama, orang yang menebar kebencian harus kita lawan, apapun agamanya. Tetapi mereka yang tidak punya salah kepada kita, berlaku ketentuan umum jika kita membunuh mereka sama dengan membunuh seluruh umat manusia, kan ajaran di Al-Quran seperti itu.
Dan perintah di Al-Quran untuk mengenal satu sama lain itu umum, tidak hanya kepada muslim atau sesama islam saja. Dan perintah kita untuk berbuat baik kepada tetangga itu berlaku umum, tidak hanya kepada yang spesifik saja seperti kepada muslim saja, tidak ada. Bahkan, ketika memasak masakan itu diperintahkan oleh Nabi (Muhammad) memperbanyak kuahnya, supaya kamu (yang memasak) bisa berbagi kepada tetangga. Nabi mengatakan juga, tidak beriman seseorang yang kekenyangan, tetapi tetangganya kelaparan. Dan itu tidak ada spesifik tetangganya muslim, non-muslim, bahkan orang yang tidak percaya Tuhan.
Dan Buya memesankan untuk membuka diri, untuk berhubungan dengan siapapun, bahkan dia (Buya) dalam hidupnya tidak pernah merasa canggung, tidak punya hambatan psikologis bergaul dengan siapapun, bahkan kepada orang yang secara pemikiran Buya tolak, seperti Abu Bakar Ba’asir dia temani dan dia kunjungi.
“Melihat Fenomena Perumahan Syariah yang baru muncul akhir-akhir ini, di Kota Bekasi misalnya perumahan syariah muncul di tahun sekitar 2016-2017. Kemunculan ini mungkin juga disebabkan kondisi politik ketika itu (Pilkada DKI) atau faktor pebisnis yang memanfaatkan ceruk pasar muslim sebagai target bisnis?”
Ya memang itu berlaku hukum pasar. Pasar itukan pragmatis ya, sesuai dengan demand kebutuhan masyarakat, ya. Sama dengan ketika muncul gerakan anti riba, maka Bank Syariah itu menjadi lahan bisnis dan bukan hanya mereka yang muslim, katakanlah semua Bank Konvesional karena ada tuntutan dari pasar maka membuka cabang syariahnya. Mungkin juga cluster-cluster (perumahan) syariah seperti itu.
Akan tetapi, jika kita berambisi dalam melakukan riset atau apapun ya, memang semua orang bisa punya aspirasi, termasuk aspirasi politik dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi kalau aspirasi punya potensi untuk menumbuhkan segregasi di tengah masyarakat, kalau bisa sih kita (Maarif Institute) lawan.
Karena apalagi dengan mengatas namakan Islam itu bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam sendiri, seperti yang saya sampaikan tadi, dalam Al-Quran tidak ada segregasi, tidak ada kebencian, tidak ada orang tidak mau bertetangga hanya karena berbeda agama. Yang harus kita lawan itu adalah kebencian, dan kebencian itu tidak pandang agama, orang yang benci kepada kita ya harus kita lawan, apapun agamanya.
Jadi dalam Al-Quran itu, ayat-ayat vital atau ayat-ayat perang itu, selalu diawali oleh perumushan dari pihak lawan, tidak ada perang itu di awali atau inisiatif dari umat islam, itu dalam Al-Quran ya.
Bahwa dalam sejarah itu banyak, kekhalifafan atau kesultanan secara ekspansif itu hal lain, dan itu banyak yang dikritik juga oleh Buya dalam buku-bukunya, soal bagaimana Islam itu di bawah kekuasaan para khalifah Islam yang membuat Islam tidak mencerminkan keanggunan, Buya menyebut itu, ‘daki-daki’ khilafah yang menjadi wajah yang menanggu keanggunan wajah Islam, antaranya karena khalifah melakukan ekspansi secara agresif apakah lawan itu melakukan penyerangan atau tidak, padahal dalam al-Quran itu tidak ada perintah seperti itu.
Cara berdakwah Nabi itu bukan dengan kekerasan, hanya dengan mengirimkan surat, kalau responnya baik dari surat itu, apakah lawan (raja-raja non-Muslim) mau mengikuti ajaranya dia atau tidak, kalau sambutannya baik, Nabi baik juga, seperti kasus raja Mesir ketika itu, raja Mesir mengirimkan hadiah kepada Nabi, respon Nabi juga baik akhirnya berhubungan baik.
Dan jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.
“Malah menunjukan etika berkemajuan, ada juga kisah ketika pedagang lain melakukan hiburan-hiburan, dia berjalan duluan untuk kembali pulang”
Dan ketika Nabi hijrah ke Tha’if, itu kan dilempari batu dan segala macam, Malaikat yang menyertai Nabi, yang kasian kepada nabi, itu minta “gimana kalau kita balas saja”, Nabi gamau kamu (malaikat) membalas itu, karena kata Nabi mereka itu tidak tahu dan tidak paham, kalau mereka sudah paham mereka tidak akan melakukan seperti itu.
“Ini menarik mengenai etika bisnis, berarti untuk pengembang diperumahan-perumahan syariah ini sekiranya apa yang perlu dipahami lebih dalam dari Islam itu sendiri?”
Jadi kan gini, ya memang mestinya, bisnis itu kan tidak liberal dalam pengertian ‘bebas tanpa nilai’ hanya semata-mata berorientasi kepentingan keuntungan materil. Kalau mereka memegang etik, sebagai seorang muslim, maka etika yang dikembangkan etika yang diajarkan oleh Al-Quran dan Hadist, harus baik kepada tetangga. Kenapa? Kalau itu dibiarkan memberi ruang kepada segresasi
“Sebagai pemicunya (segregasi)”
Implikasinya apa nanti? sudah pasti mereka yang berpikir seperti itu, pada saat kelompok agama lain saat ingin membangun rumah ibadah, sudah pasti akan ditolak, dan itukan tidak baik. Karena secara etis tidak sejalan dengan nilai nilai yang diajarkan Al-Quran. Dalam konteks keindonesiaan yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, agama, dll, yang sejak jaman dahulu kenapa kita ada? Kenapa kita merdeka? Karena semangat kebersamaan suku dan agama, ya sumpah pemuda (yang baru saja dirayakan). Kalau tidak ada itu, Indonesia akan terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil, ntah didasarkan pada basis suku, ras, atau agama. Dulukan kerajaan kan itu basisnya (..menyebutkan contoh kerajaan..), karena kepentingan bersama kemudian mereka melebur menjadi Indonesia.
“Fenomena ini tumbuh di daerah perkotaan, misal tumbuh Yogyakarta, Bekasi paling banyak secara data statistik, Depok, Jakarta –yang mungkin agak jarang karena rumah dan tanahnya mahal–, (secara umum) yang banyak ya di pinggiran Jakarta. Bagaimana ketika masyarakat perkotaan mengenal agama secara eksklusif, akan sangat berbahaya atau tidak? Dan bagaimana dampaknya ke depan?”
Dalam kondisi normal terlihat biasa saja, tetapi karena ada potensi (berbahaya atau membahayakan) maka potensi itu akan muncul jika ada pemicunya. Apa pemicunya? Permasalahan politik misalnya. Ketika terjadi ada gesekan politik, apalagi politik itu dengan menggunakan isu agama, maka potensi gesekan akan mudah mencuat di permukaan.
Seperti yang terjadi saat Pilkada DKI 2017, mungkin kalau tidak ada pemicunya, potensi itu akan menjadi ‘angin lalu’ atau ‘api dalam sekam’, ‘api dalam sekam’ kalau tidak ditiup angin maka tidak akan berbahaya, kalau tertiup angin dia akan menyala, dan kalau kena hujan bisa mati. Artinya potensi itu bisa hilang pada saat muncul kebijakan politik yang bisa menumbuhkan kebersamaan, bisa mengikis segregasi antar berbagai kelompok beragama.
“Mungkin ini yang terakhir, tadi Mas Rohim sempat membahas sejarah (Islam) panjang lebar, aku juga sempat mengikuti, ada faktor ketika Golden Age Islam ketika abad pertengahan, Islam membuka diri ke semua peradaban, misalkan dari Cina, India, Yunani, dan Romawi (yang berkuasa ketika itu) hasilnya begitu besar dampaknya, terbuka dan membuka diri untuk mempelajari hal lain, yang juga disinggung juga oleh Ahmet Kuru melalui Buku barunya (Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan). Ketika Islam membuka diri, syarat membangun peradaban dengan membuka diri dengan toleransi, dia harus menerima, tidak mungkin mengeksklusifkan diri. Bagaimana sejarah Islam yang sebenarnya sangat mahal dan harus dipelajari kembali?”
Saya bukan ahli dalam sejarah Islam, tetapi memang ada 2 wajah kekhalifan baik dari masa Ummayah maupun Abbasiyah, 2 wajahnya bagaimana? Ada wajah politik ekspansionis, tetapi juga ada khalifah-khalifah tertentu yang punya visi keilmuan, misalnya memerintahkan kepada ahli memberikan gagasan untuk melakuan penelitian, menerjemahkan buku-buku, dan lain-lain. Itu semuanya hancur pada saat penyeburan tentara Mongol ke Baghdad, buku-buku, khazanah keilmuan dibakar habis, sisa-sisanya itu yang ada di Turki Utsmani, awalnya mereka kelompok kecil yang mendirikan kerajaan di sana, dari yang minor (minoritas) sebenarnya, kalau peradaban besarnyakan ada di Baghdad, yang hancur.
“Sama di Cordova (Cordoba, Spanyol)”
Nah itukan hanya sebagian kecil saja (buku-buku, khazanah) yang terselamatkan, ntah karena dibawa. Itu perjalanan sejarah peradaban, tetapi memangkan sisi-sisi politiknya itukan jauh lebih kuat, kenapa? Karena dari sekian banyak khalifah (baik dari masa Ummayah dan Abasiyah) itukan hanya satu-dua yang punya visi keilmuan membangun peradaban.
“Salah satunya, Harun Al-Rasyid, dan ketika anaknya selesai ya sudah, selesai semua. Ketika peradaban berpindah, eropa membuka diri, menerjemahkan karya-karya Islam. Sebaliknya Islam mengalami ortodoksi (nilai-nilai Agama) kalau menurut Ahmet Kuru, ketika penelitian dan sebagainya mulai turun, akhirnya muncul eropa dengan Renaissance nya.”
“Tetapi yang bisa diambil untuk fenomena perumahan Syariah, mungkin ini awalnya dan tidak akan menyambung ke sana, tetapi ketika ada faktor kecil (lalu) melebar-melebar paham-paham eksklusif akan sulit membangun Indonesia, membangun Islam.”
Dalam konteks Indonesia sebenarnya saya kira Buya juga pernah menyinggung tentang trauma kegagalan Islam Politik, kan dulu ada aspirasi untuk mendirikan negara Islam dan aspirasi itu sempat muncul juga dalam sidang-sidang konstituante, itu dibahas dalam disertasinya Buya, (membahas) siapa yang punya aspirasi itu. Upaya untuk mencari jalan dari munculnya aspirasi itu, menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai kebijakan yang sedikit ambigu sebenarnya. Ambigunya bagaimana? Jadi satu sisi mengadopsi demokrasi, tetapi disisi lain ada aspek-aspek keagamaan yang juga menjadi bagian dari politik di Indonesia. Misalnya dengan munculnya Kementerian Agama, perundang-undangan menyangkut agama, dan implikasi yang paling nyata itu dalam dunia pendidikan, kita mengenal dikotomi sekolah agama dan sekolah umum, padahal sebenarnya semua ilmu itu sesuai dengan aspirasi (agama) dan sepanjang ilmu itu bermanfaat untuk kemanusiaan, jadi itu sesuai dengan semangat Al-Quran.
Jadi tidak ada (perbedaan) ini ilmu agama, ini ilmu umum. Semua ilmu ya sesuai dengan semangat keagamaan. Di situlah mengapa Buya tidak mendikotomikan (memisah) antara Islam dan Kemanusiaan. Kemanusiaan ya Islam, Islam ya Kemanusiaan. Semua ilmu pengetahuan, sepanjang itu bermanfaat untuk kemanusiaan, maka itu sebenarnya ya itu Islam juga.
Tadi ya yang disebut jaman “Renaissance” Islam itukan ketika para ilmuwan, misalkan Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Ibnu Rusyd, pokoknya ilmuwan-ilmuwan pada saat itukan karenai lmuwannya Muslim, (lalu) kita klaim sebagai peradaban Islam, padahal sebenarnya ya kalau dalam kategorisasi yang sekarang ini (termasuk) ilmu umum, makanya kategorisasi Islam itu tidak relevan sebenarnya Ahistoris kalau merujuk kepada masa kejayaan Islam.
Nah dikotomi yang terjadi di Indonesia antara Islam dan Umum kemudian berimplikasi kebanyak hal, awalnyakan bermula dari pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari kita akhirnya dihadapkan pada 2 dikotomi itu. Nah itu sebenarnya yang mencoba dilawan oleh Buya, dikotomi-dikotomi semacam itu, makanya dia (Buya) ada tiga chandra: Keislaman, Kebangsaan atau Keindonesiaan, dan Kemanusiaan. Nah itu satu tarikan nafas, kalau saya sering bilang itu bukan pilihan ganda, ketika kita memilih satu, lalu mengabaikan yang lain, tidak seperti itu. Itukan secara tidak langsung Buya ingin mencoba menghilangkan dikotomi-dikotomi itu, karena sama sekali tidak produktif. Bahkan untuk kalangan tertentu bisa menimbulkan segregasi itu, padahal urusan kemanusiaan itu ya urusan Islam juga, misalnya, berbagi dengan tetangga, bagaimana memelihara lingkungan agar tetap bersih, kalau dalam bidang politik ya bagaimana membangun politik yang berkeadilan, yang bebas dari korupsi, itu kan ajaran Islam sebenarnya, tetapi dalam konteks keIndonesiaan itu dianggap dalam aspirasi umum dan sebenarnya itu aspirasi Islam banget.
Karena Al-Quran itu sangat menekankan kepada keadilan, kebersihan, integritas, kejujuran, dll.
“Kata terakhir dari Mas Abdul Rohim untuk fenomena perumahan syariah, jika ada”
Fenomena itu muncul karena ada kepentingan politik dan ekonomi, tentu saja. Nah kepentingan politik berkaitan dengan aspirasi ‘Islam’ dalam tanda petik, yang dimaknai secara sempit. Karena Islam yang sebenarnya tidak mengenal adanya segregasi-segregasi seperti itu. Islam itu menawarkan keadilan, menawarkan kebersamaan kepada semua orang, tidak terbatas pada (umat) Islam. Bahkan kata Buya, kepada mereka yang tidak percaya Tuhan, itu kita harus berbuat baik.
Nah yang berkaitan dengan ekonomi, mereka (pengembang perumahan) melihat adanya demand (permintaan) pasar. Jadi kalau permintaan pasar itu tidak ada, pebisnis perumahan tidak mungkin kan membangun itu (perumahan syariah).
Nah yang kedua, dalam konteks keIndonesiaan, sebenarnya fenomena ini harus kita ‘kalau kita tidak lawan’ setidaknya menjadi tantangan bagi kita untuk memberikan pemahaman yang lebih subtantif tentang Islam di Indonesia, (Islam) yang orisinil dalam pengertian Islam yang adil, toleran. Karena banyak juga orang yang mengartikan orisinil mengembalikan Islam ke abad 7, itu juga tidak benar.
Orisinalitas islam justru pada semangat kontekstualnya, karena ayat-ayat al-quran itu turun sesuai dengan konteks zamannya, artinya apa? artinya kita tidak bisa melepaskan ayat-ayat atau hadist itu dengan konteks zamannya. Kita tidak bisa menafsirkan sesuai dengan pada saat itu (abad ke-7) karena kehidupan kita (saat ini) sudah berbeda. Karena ada dua (hal): karena ada sesuatu yang Qot’i yang tidak bisa diubah kapanpun dan di manapun, dan itu ajaran. Ada yang kontekstual, bagaimana mengamalkan ajaran itu. Sebagai contoh misalnya, tentang ajaran Sholat, Sholat itu mutlak, wajib, di manapun kapanpun harus kita lakukan, tetapi bagaimana kita melaksanakan sholat itu kontekstual, kalau kita dalam perjalanan bisa kita jama’ bisa kita gabungkan antara waktu yang satu dengan yang lain.
Makanya saya pribadi dalam menafsirkan ayat-ayat tentang menutup aurat juga sama, menutup aurat itu betul ajaran Islam yang mutlak, tetapi bagaimana menutup aurat itu kontekstual, karena dalam ayatnya sendiri, dalam Al-Quran itu kan kontekstual juga, kita harus menutup aurat itu di hadapan siapa, boleh membuka aurat itu di hadapan mahram kita, anak, istri, sodara-sodara, ibu, bapak, itu kan boleh, artinya tidak mutlak dong. Kemudian kepada orang lain pun boleh, seperti apa? orang tua dan anak.
Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya: • Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman • Akal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota Depok • Wawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground


Diterbitkan: Rabu, 16 November 2022 Pukul: 18.00 WIB Jurnalis: Adi Fauzanto
